Prof. Ali Sodiqin Dikukuhkan Sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Ushul Fiqih
, Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga mengukuhkan Prof. Dr. Ali Sodiqin, M. Ag. Sebagai Guru Besar
Bersamaan dengan pengukuhan Guru Besar Prof. Imam Machali, Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga juga mengukuhkan Prof. Dr. Ali Sodiqin, M. Ag. Sebagai Guru Besar Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga, bertempat di gedung Prof. R.H.A Soenarjo, S.H., 7/3/3024. Prof. Ali Sodiqin dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Ushul Fiqih berdasarkan SK. Menteri Agama RI Nomor 091307, Tanggal 7 September 2023. Hadir pada agenda pengembangan akademik kali ini Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. H. Al Makin, para Wakil Rektor, Ketua Senat, Prof. Kamsi dan jajaran Senat Universitas, para pimpinan Dekanat, para kepala lembaga, unit dan pusat studi, Civitas Akademika UIN Sunan Kalijaga, serta keluarga dan kerabat Prof. Ali Sodiqin.
Pada pidato Guru Besarnya, Prof. Ali Sodiqin. menyampaikan hasil risetnya berjudul “Teori Maudhu’i Nuzuli Sebagai Dasar Pengembangan Fiqih Maqasidi,” Mengawali pidatonya, Prof. Ali Sodiqin mengungkapkan kalimat bijak; hidup itu harus mampu beradaptasi, mampu menginspirasi, tanpa harus menonjolkan diri, dan tidak bolehkehilangan harga diri. Sementara pada intisari orasi ilmiahnya Prof. Ali Sodiqin antara lain menyampaikan bahwa, prinsip dasar pengembangan fikih maqasidi adalah dengan menjaga hubungan fungsional antara wahyu (nash), akal, dan realitas (al-waqi’). Kedudukan nash adalah sebagai sumber ajaran Islam yang kandungannya harus terus digali dan didialogkan dengan realitas.
Dijelaskan Bapak 2 putra putri dari istri Ririn Budiharti, dialog teks dengan realitas sudah terjadi sejak masa pewahyuan melalui proses adopsi, adaptasi, dan integrasi. Pola dialektika ini perlu untuk terus dijaga melalui ijtihad yang memadukan antara pendekatan keilmuan Islam, sosial, humaniora, dan sains modern agar tidak terjadi kesenjangan antara nash dengan realitas. Aturan-aturan hukum dalam nash didesain bukan hanya menjadi tool of social control, tetapi juga sebagai tool of social engineering atau tool of social development. Oleh karena itu, kajian maqasid syari’ah sangat penting karena menjadi dasar sekaligus tujuan dari penetapan hukum Islam. Penggalian maqasid syari’ah dari nash Alquran dan Hadis harus terus dilakukan untuk menghadirkan kemaslahatan yang menjadi tujuan dari seluruh ajaran Islam.
Menurut Prof. Ali Sodiqin, dalam kajian hukum qisas, melalui analisis teori maudhu’i nuzuli dapat disimpulkan bahwa penetapan hukum qisas dalam Al Quran mengandung aspek continuity (hukum qisas berasal dari tradisi hukum lokal Arab), change (Al Quran mengubah paradigma pemberlakuannya, dari balas dendam menjadi keseimbangan) dan development (penyelesaian hukum qisas bertujuan memelihara kehidupan). Bentuk aturan hukumnya (qisas, diyat, pemaafan) berkedudukan sebagai wasilah/medium atau sarana untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan konteks sosial-budayanya (social control), sedangkan ghayah/tujuan atau maqasid syari’ahnya adalah mengarahkan masyarakat untuk menghargai kehidupan yang merupakan hak asasi manusia (social engineering).
Kontekstualisasi hukum qisas pada masa modern berpijak pada pencapaian nilai fundamentalnya (maqasid/ghayah), sedangkan bentuk aturan hukumnya dapat disesuaikan dengan hukum yang berkembang di masyarakat. Melalui hukum qisas, Al Quran mengenalkan paradigma baru penyelesaian kasus hukum dengan model restorative justice, dengan mempertemukan para pihak (pelaku, keluarga korban, masyarakat) untuk menetapkan solusi atau penyelesaiannya. Fokus restorative justice adalah pemulihan konflik dan pengembalian keseimbangan dalam masyarakat, melalui penggantian kerusakan atau kerugian. Tindak pidana dipandang sebagai suatu konflik yang terjadi dalam hubungan sosial masyarakat yang harus diselesaikan dan dipulihkan oleh semua pihak secara bersama sama. Model restorative justice memberikan keseimbangan akses dan kewajiban kepada para pihak serta mewujudkan keadilan hukum (legal justice) sekaligus keadilan sosial (social justice, demikian tegas Prof. Ali Sodiqin.
Mengakhiri orasi ilmiahnya, Prof. Ali Sodiqin menyampaikan kalimat bijaknya lagi bahwa “Hidup itu pilihan, antara mengambil manfaat atau memberi manfaat. Mengambil manfaat membuat kita merasa menang dan senang, sedangkan memberi manfaat membuat kita merasa tenang dan bahagia, “ ungkapnya.
Prof. Dr. Ali Sodiqin, M. Ag., lahir di Jepara, 12 September 1970. Lulus PGA N Kudus tahun 1983, kemudian melanjutkan S1 di IAIN (UIN) Walisongo Semarang. Prof. Ali Sodiqin mengawali kariernya sebagai Dosen Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga. Melanjutkan Program Pascasarjana di IAIN (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, dan lanjut S3 di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Aktif menjadi pengurus dan penulis jurnal ilmiah di Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga. Prof. Ali Sodiqin juga aktif menulis buku pembelajaran, aktif melakukan penelitian dan menjadi narasumber dalam seminar-semiar nasional dan internasional.(Tim Humas)