Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Mengklarifikasi Pemberitaan Yang Tidak Benar, Terkait Mahasiswi Memakai Cadar di Kampus UIN Sunan Kalijaga
Dr. Waryono mengklarifikasi berita kampus kepada reporter media massa
Pemberitaan yang tidak benar terkait larangan bercadar atau berpakaian ala Arab di kampus UIN Sunan Kalijaga, petikan dari materi dialog Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN Sunan Kalijaga, Dr. H,. Waryono, M. Ag., pada Forum Dialog melibatkan Lembaga Dakwah Kampus (LDK), yang ditulis salah satu wartawan berinitial SAM dari media online RMOL, telah menimbulkan polemik di kalangan Dosen dan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Mungkin juga menimbulkan polemik di kalangan akademisi kampus lain dan umat Muslim.
Untuk mencegah polemik yang semakin meluas dan berdampak pada suasana akademik yang kurang kondusif, Dr. Waryono bermaksud mengkarifikasinya, dengan membuat siaran pers untuk dikirim ke berbagai media. Tetapi belum sampai Tim Humas UIN Sunan Kalijaga bertemu Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama ini, untuk merancang materi siaran pers, telah banyak wartawan dari berbagai media datang ke Humas meminta dipertemukan dengan Dr. Waryono untuk meminta klarifikasi pemberitaan tersebut. Karena memang hanya satu media yang memberitakannya.
Maka Kami (Tim Humas) bersama dengan para wartawan dari berbagai media menemui Dr. Waryono di ruang kerjanya dan melakukan dialog. Di Hadapan Tim Humas dan para Wartawan, Wakil Rektor III menyampaikan klarifikasi sebagai berikut;
Saya lumayan kaget karena ternyata beritanya tidak utuh, dan judulnya pun sangat provokatif. Seolah-olah saya dengan tegas melarang tanpa konteks. Padahal saya menjelaskan waktu itu tentang pembinaan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga.
Di tahun pertama, penguatan spiritualitas. Maka saya cerita kemarin, untuk tahun 2017 pembinaan pertama adalah shalat dhuha, dan penguatan kapasitasnya diisi oleh Pak Rektor. Di tahun kedua adalah pengenalan mahasiswa terkait dengan kemantapan pengetahuan, agar mahasiswa tidak berpikir untuk pindah. Karena biasanya sudah kuliah tapi belum mantep. Di tahun ketiga adalah enterpreneurship. Ini menjadi unggulan kita dan saya memperkenalkan CENDI. Yang keempat adalah kesiapan hidup. Kita tinggal di Indonesia, negara Bhineka Tunggal Ika, tapi dalam konteks UIN Sunan Kalijaga kita punya tata tertib mahasiswa.
Di situ diatur tentang bagaimana berpakaian. Saya juga waktu itu menyampaikan bahwa kita ini Indonesia, sehingga pakaian pun tidak harus mengikuti pakaian dari luar. Dalam konteks agama, pakaian itu yang terpenting menutup aurat. Dan bagaimana ketika berkomunikasi bisa saling mengenal. Tidak ada yang disembunyikan. Dari situlah tercetus kata “cadar”. Jadi cadar itu sebagiannya membuat orang tidak mengenali secara utuh, lawan bicaranya itu siapa.
Dari pihak UIN sendiri sampai sekarang kan ada mahasiswa yang diterima dan memakai cadar. Karena memang di tata tertib tidak dijelaskan secara eksplisit tentang pelarangan memakai cadar. Itu tidak ada. Pada konteks yang kedua, dipaparkanIslam Wasathiyaholeh K. H. Ahmad Mufid. Ketua MUI DKI Jakarta, yang salah satunya adalah berpakaian.
Waktu itu ada dialog, dan salah satu dialog itu ada pertanyaan dari mahasiswa. Ia menyampaikan, “Saya pernah di LDK, tapi saya juga aktif di IMM”. Dia bercerita tentang dinamika di LDK tentang pengutipan hadits. Kata dia, yang semoga tidak mengurangi dan tidak menambahkan, “Sering kali kami diberi hadits tetapi tidak diberi asbabul wurudnya seperti apa. Tiba-tiba, “Ini lho, dalilnya memakai celana itu begini, memakai baju itu begini.”, Tapi begitu saya di IMM, saya mendapatkan sesuatu yang lain dan itu lebih cocok menurut saya dengan konteks ke-Indonesiaan.” Menurut Pak Mufid, karena ada asbabul wurudnya. Nabi juga berbicara sesuai dengan audiensnya. Yang kurang, kita menyampaikan hadits itu tidak melihat audiens. Kemudian saya nambahi, saya mengutip Pak Rektor bahwa melihat Muhammad itu ada dua konteks, yakniMuhammad al-‘araby dan Muhammad an-nabi,dan waktu itu contohnya adalah makan. Kalau kita makan pakai tiga jari terus kita makan sup, apa kemudian kita mengatakan bahwa kita tidak memakai sunnah nabi? Karena kalau memakai tiga jari kan seperti kita makan permen, begitu kan? Itu contohnya.
Tentang statement yang melarang keras mahasiswi UIN Sunan Kalijaga memakai cadar, Dr. Waryono menyampaikan tidak mengatakan seperti itu. Ia juga pernah menjelaskan kepada ARENA, bahwa kutipan langsung itu bisa dimanipulasi. Kecuali misalnya direkam, lalu ditayangkan, itu masih bisa diedit. Dalam hadits ada yang namanyahadits mudraj, yakni diselipi kata-kata yang bukan berasal dari nabi. Boleh saja, “seperti ditegaskan.” Cuma saat itu saya menyampaikan begini, “Ini sudah menjadi pembahasan WR bidang kemahasiswaan. Karena di berbagai PTKIN ada indikasi semakin banyak mahasiswa yang memakai cadar. Dan dengan tidak menggeneralisir, dikatakan bahwa perilakunya eksklusif, tidak membaur dan seterusnya. Nah ini kan patut menjadi perhatian, ini kenapa, begitu. Karena kita ini berasal dari berbagai daerah. Saya tadi sudah menyampaikan bahwa kita punya tata tertib, tetapi mengenai cadar belum diatur. Tapi konteks makronya adalah, kita ini Indonesia. Yang artinya UIN tidak melarang mahasiswa untuk memakai cadar, jelasnya.
Dr. Waryono menduga, pemberitaan keliru yang beredar adalah salah kutip wartawan ketika dirinya menjadi salah satu narasumber dalam pembukaan kegiatan Dialog Pelibatan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan Birokrasi Kampus dalam Pencegahan Terorisme di kampus UIN Sunan Kalijaga, Rabu (11/10).Kegiatan tersebut diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Yogyakarta.
“Waktu itu saya menyampaikan bahwa kita ini kan Indonesia, saya menjelaskan kembali konteks Islamwasatiyyah(Islam moderat). Tercetuslah cadar, nah saya sampaikan bahwa cadar itu membuat orang secara umum tidak mengenali kita itu siapa, itu konteksnya. Saya mengingatkan bahwa baik berpakaian Islami maupun berpakaian Indonesia itu yang tidak boleh adalahtruth claim(klaim yang paling benar). Inilhoyang paling Islami, inilhoyang paling Indonesia, tidak boleh begitu,” demikian jelas Dr. Waryono.
Meski tidak melarang pakaian cadar atau jilbab besar, namun kampus UIN Sunan Kalijaga berkomitmen mendukung deradikalisasi. Hal yang dilarang, demikian ungkap Warek III adalah sikap radikalisme dalam konteks sosiologis politik sebagaimana yang menjadiconcernBNPT,
“Tapi dalam konsep berpikir seperti di (fakultas)ushuludinmisalnya, harus berpikir radikal, berpikir mendalam. Mohon maaf yang berpakaian Islam ataupun tidak, kita harus berpikir radikal, sebenarnya Rasulullah SAW itu mengajarkan apa sih yang substantif berkaitan dengan pakaian?” tukasnya.
Dijelaskan, cara berpakaian mencerminkan sikap seseorang karena melalui pergulatan intelektual. Apalagi, bagi orang beragama Islam, di dalam berpakaian harus ada niat dan motivasi sebagaimana yang diajarkan Rosulullah SAW. Standar berpakaian yang dianjurkan Rosulullah menurutnnya sebagaimana yang dijelaskan Imam Muhammad Ali As-Shobuni, yaitu; menutup aurat, tidak transparan dan tidak ketat. MengutipRawa’iul Bayan, Dr. Waryono mengatakan Ali As-Shobuni menyebut adanya fenomemakasiyatun ‘ariyatun, yang artinya berpakaian tapi telanjang, karena ketat dan transparan.
“Tapi di sisi lain ada yang menurut beliau (Ali As-Shobuni) berlebihan, sampai mohon maaf ada yang sampai nyeret tanah, jilbabnya besar banget. Oleh karenanya Saya lebih setuju Islamwasatiyyah.
“Kita ini punya tata tertib. Sebaiknya ikuti tata tertib dan sewajarnya saja. Ada pepatah dimana langit dipijak di situ langit dijunjung. Tidak ada larangan memakai cadar karena di tata tertib memang tidak melarang. Tapi konteks makronya kita ini Indonesia, PTKIN nya di Indonesia, jadi bagaimana sebisa mungkin menjalankan Islam yang ala Indonesia. Islam Indonesia itu dalam konteks makro orang memahaminya sebagai kontekswasatiyyah, Islam yang moderat, Islam yang bukan ekstim kanan ekstrim kiri,” tandasnya.
Dalam dialog yang digelar BNPT dan FKPT kemarin, menurut Dr.Waryono, ia juga menyampaikan bahwa di UIN itu tidak ada Lembaga Da’wah Kampus (LDK) yang ada adalah Korps Da’wah UIN Sunan Kalijaga (Kordiska).
“Di acara itu kan ada saran membentuk LDK, tapi di UIN Sunan Kalijaga tidak ada. Saya dulu juga pernah aktif LDK antar kampus yang menudian menjelma menjadi salah satu partai, itu kecenderungannya kok tidak nasionalis, ingin mendirikan negara, ingin merongrong negara, itu yang saya alamilhoya. Makanya saya bilang untuk di UIN Sunan Kalijaga itu Kordiska, bukan LDK,” tegasnya.
“Jadi saya tidak membantah,wongsayanggakmengatakankok, saya juga tidak pernah ngomong kafir-mengkafirkan, bisa dicek nanti rekamannya kalau memang ingin tahu kebenarannya, demikian tegas Dr. Waryono (Tim Humas UIN Sunan Kalijaga/foto Khabib).