UIN Sunan Kalijaga Kukuhkan Prof. Dr. Sekar Aryani, M.Ag., sebagai Guru Besar

Prof. Dr. Sekar Ayu Aryani, M.Ag dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Psikologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Prof. Sekar Ayu Aryani dikukuhkan oleh Ketua Senat Prof. Dr. H. Siswanto Masruri, M.A. dihadapan Rektor dan Wakil Rektor, para Guru besar, anggota senat, dan keluarga besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di Gedung R.H.A Soenarjo (28/05/2021) dengan tetap mematuhi protokol kesehatan dan membatasi jumlah hadirin. Sidang senat terbuka pengukuhan guru besar Prof. Dr. Sekar Ayu Aryani, M.Ag tersebut dihadiri tamu undangan secara virtual melalui live streaming di YoutubeUIN Sunan Kalijaga.

Kunjungi :Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Sekar Ayu Aryani, M.Ag.

Dalam pidato pengukuhannya yang berjudul “Menjadi Religius tanpa Harus Sektarian,” Prof. Dr. Sekar Ayu Aryani, M.Ag, menjelaskan bahwa Psikologi Agama yang deskriptif bukan berarti sama sekali tidak memberi manfaat dan keuntungan bagi Islam. Kontribusi Psikologi Agama bagi Islam, sebagai mana juga bagi agama-agama yang lainnya adalah dalam konteks memberi kontribusi akademik, berupa temuan-temuan ilmiah empirik yang sangat bermanfaat bagi kepentingan dakwah khususnya bahkan agama secara luas. Jika agama diumpamakan benih yang akan kita tabur, maka Psikologi Agama adalah ilmu yang berguna untuk menyuburkan tanah yang gersang, sehingga mengggunakan jasa Psikologi Agama, agama dapat tumbuh dan berkembang dengan subur.

Lebih jauh Prof. Sekar Ayu Aryani menjelaskan, meskipun Psikologi Agama sekarang ini masih terkesan merupakan rimba yang misterius bagi sebagian besar sarjana muslim karena belum dieksplor, namun sesungguhnya perkembangan di dunia sudah sangat menggembirakan. Baik konten maupun metodologi sudah sangat berkembang dengan pesat. Penelitian-penelitian dan artikel di jurnal bereputasi di bawah American Psychology Association (APA) berkembang dengan sangat subur didukung penyandang dana yang sangat kuat John Templeton Foundation. Tema terakhir yang dikembangkan adalah tentang Religion dan Spirituality.

Seiring semangat islamisasi ilmu pengetahuan di era 1950an, Psikologi juga menjadi ilmu yang ramai-ramai “diislamkan” oleh para akademisi Muslim. Ada banyak permasalahan yang muncul. Pertama, belum adanya satu istilah yang secara konsensus digunakan. Kedua, aspek metodologi. Psikologi Islam masih terbawa nuansa keilmuan Islam periode kemunduran Islam, yaitu sufisme dan literalisme. Hadirnya Psikologi Islami yang sedikit banyak merupakan sanggahan, atau setidaknya ekspresi ketidakpuasan, terhadap Psikologi Barat tentunya tidak dapat diabaikan. Secara epistemologis, kritisisme yang muncul dari ilmuwan muslim pantas dipandang sebagai realita yang mendobrak struktur keilmuan psikologi yang dibangun bersamaan dominasi positivisme di Barat.

Psikologi Islami secara umum ingin mengatakan bahwa kekayaan sumber-sumber Islam sudah lebih dari cukup untuk membangun struktur ilmu Psikologi. Oleh karenanya pengalaman Barat tidak terlalu dibutuhkan bahkan jika perlu dihindari karena adanya potensi negatif di dalam psikologi Barat. Tentu sikap self-confidence di kalangan ilmuwan muslim ini positif. Akan tetapi ada resiko yang tidak kecil untuk pilihan ini, yakni mengabaikan perkembangan Psikologi Barat yang saat ini sudah kaya akan Psikologi Agama dan Psikologi Lintas Budaya. Padahal Psikologi Agama yang tidak terbatas pada agama tertentu adalah pintu masuk yang sangat baik dalam membangun psikologi suatu agama.

Membangun Psikologi Islami dengan berangkat dari Psikologi Agama bukanlah suatu yang tabu. Justru hal tersebut bentuk mawas diri dan keterbukaan dalam keilmuan, yaitu menerima bentuk-bentuk keilmuan yang obyektif sesuai dengan standar ilmiah. Enam cara membangun keilmuan dapat ditempuh dengan cara, pertama, memperluas horizon Psikologi Islami. Kedua, koreksi aksiologi keilmuan. Ketiga, melengkapi epistemology. Keempat, mensinergikan pendekatan. Kelima, memperbarui sikap keilmuan, dan keenam, memperkaya teori. Psikologi Islami harus digerakkan sebagai Psikologi yang utuh, yaitu sebagai teoritis sekaligus terapan, demikian Prof. Sekar ayu aryani. (Weni/Ihza)