Efek Bumerang Baliho Politik
Oleh: Thoriq Tri Prabowo, M.IP.
Dosen Program Studi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya,UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(Artikel telah dimuat di kolom Opini SKH Kedaulatan Rakyat edisi Sabtu, 28 Agustus 2021)
Baru-baru ini baliho politik dari para politisi mulai terpasang di mana-mana. Publik dengan mudah dapat membaca maksud dari menjamurnya baliho tersebut yang tidak lain ialah persiapan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada tahun 2024 mendatang. Melalui baliho tersebut, terlihat jelas bahwa para politisi tersebutkebeletuntuk berkuasa. Pasalnya, Pilpres 2024 sebenarnya masih tiga tahun lagi. Waktu yang cukup lama untuk kondisi politik Indonesia yang sangat dinamis.
Untuk memasang baliho dengan jumlah yang begitu banyak tentu para politisi harus merogoh kocek yang tidak sedikit. Dengan biaya yang begitu fantastis tersebut, tidak heran apabila publik kemudian mempertanyakan mengapa uang tersebut tidak digunakan untuk membantu penyintas dan terdampak COVID-19 saja? Hal tersebut justru merupakan kampanye yang efektif dan sudah tentu bermanfaat, mengingat banyak sekali yang terdampak oleh COVID-19 ini.
Panjat Sosial
Lebih lanjut, biaya yang fantastis tersebut ternyata tidak lantas membuat kampanye otomatis menjadi efektif. Di tengah penetrasi internet di Indonesia yang semakin tinggi, terlebih dampak dari COVID-19 yang mengharuskan banyak hal dilakukan secara daring, membuat publik lebih banyak menghabiskan waktu untuk menatap gawainya. Penerapan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) juga membuat mobilitas publik terbatasi. Dampaknya, hal tersebut tentu akan menurunkan peluang bagi publik untuk melihat baliho-baliho tersebut.
Kampanye melalui medsos sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para politisi. Salah satu strategi yang cukup banyak diterapkan ialah dengan cara ‘mendompleng’ sebuah peristiwa. Peraihan medali dari para atlet Indonesia pada gelaran Olimpiade 2020 di Tokyo, Jepang juga tak luput menjadi ajang ‘panjat sosial’ (pansos) para politisi. Pasca para atlet meraih medali, spontan para politisi membuat ucapan selamat dengan mencantumkan nama dan foto mereka. Hal tersebut tentu tidaklah keliru, namun publik mengetahui betul bahwa hal tersebut tidaklah lebih darigimmicksemata lantaran jarang sekali prestasi yang dapat mereka hasilkan sendiri.
Kendati baliho dan poster tersebut memiliki visibilitas yang cukup, namun implikasinya belum tentu menghasilkan elektabilitas yang tinggi. Saat ini, tidak berlebihan apabila COVID-19 dikatakan sebagai masalah utama bangsa ini. Kontribusi nyata tentu lebih diperlukan ketimbang pembangunan citra diri semata. Dihamburkannya uang untuk memasang baliho dan bukan untuk membantu masyarakat, mempertegas bahwa para politisi hanya menganggap masyarkat tidak lebih dari angka semata. Mereka bersedia menggadaikan apapun untuk sebuah kemenangan, termasuk dengan keselamatan rakyatnya.
Polusi Visual
Pemasangan baliho berukuran jumbo yang dilakukan secara masif tersebut sudah tentu menjadi polusi visual. Hal tersebut memperburuk kondisi arsitektur informasi di ruang publik yang sudah carut-marut. Selain mengurangi keindahan, masifnya pemasangan baliho tersebut juga dapat membatasi jarak pandang yang dapat membahayakan keselamatan. Sangat mungkin sisa dari baliho tersebut akan menjadi sampah yang mencemari lingkungan di kemudian hari.
Memasang baliho sebagai sebuah strategi kampanye tidaklah salah, namun di tengah terpaan masalah akibat COVID-19, hal tersebut dapat dianggap tidak menghargai perasaan masyarakat. Tidak heran apabila kemudian pemasangan baliho tersebut justru menjadi bahan olok-olokan. Ketimbang beradu baliho, publik sangat menantikan agar para politisi tersebut beradu gagasan. Banyak persoalan di depan mata yang harus mereka selesaikan. Hal yang dikerjakan saat ini tentu akan berimplikasi pada masa depan, termasuk pada Pilpres tiga tahun mendatang.
Baliho politik mungkin akan memenangkan popularitas, namun belum tentu pada elektabilitas. Alih-alih dapat meningkatkan elektabilitas, sebaliknya baliho politik tersebut justru dapat saja berefek bumerang atau berbalik menjatuhkan mereka sendiri, sebagaimana satire yang sudah banyak beredar. Membangun citra dengan bekerja ialah strategi jitu karena yang hasil kerjanya dapat dilihat oleh mata sekaligus dapat dirasakan oleh hati. Publik akan senantiasa mengingat siapa yang membantu mereka, dan siapa yang hanya melihat mereka melalui foto narsismenya.