Memaafkan Itu Laku Spiritual

Oleh : Rektor UIN Suka, Prof. Dr. Phil Al Makin, M.A.

Tindakan HF menendang sajen di Semeru jelas tidak benar, tidak seharusnya dilakukan dan tidak perlu diulangi. HF sebagai warga negara harus berhadapan dengan hukum. Kita semua juga begitu. Tetapi hukum adalah perkara legal, perkara negara dan warga, dan hukum tidak berdiri sendiri. Dalam kenyataan, ada aspek sosial, politik, budaya, dan spiritual. Semua harus dihitung dan tidak ditinggalkan. Memaafkan adalah laku sosial, budaya, dan spiritual. Memaafkan adalah proses penyembuhan (healing therapy).

Memaafkan adalah terapi yang baik bagi pelaku dan yang disakiti. Dengan proses maaf-memaafkan kita bertemu pada pemulihan semesta. Semesta membutuhkan harmoni, sesama manusia hendaknya saling memaafkan. Semesta membutuhkan tidak hanya proses manusiawi seperti hukum dan peradilan, tetapi juga proses batiniyah, spiritual, dan yang setara dengan makna sesajen itu sendiri. Memaafkan adalah laku spiritual yang memulihkan hati, relasi antar manusia, iman, dan keseimbangan dalam struktur masyarakat.

Sesajen adalah persembahan untuk yang tidak terlihat, gaib. Sesajen adalah supranatural dan transendental, sebagaimana juga ibadah sholat, zikir, misa, puja, dan berdoa di tempat-tempat ibadah. Dalam Islam, ada ibadah korban setiap hari raya Idul Adha. Ada sodaqoh, juga amal bagi sesama. Dalam Kristiani juga sama. Dalam Hindu dan Buddha juga sama, nama dan konteks sedikit berbeda. Sesajen adalah persembahan untuk Tuhan dan alam ghaib, yang juga hadir di semua keyakinan.

Dalam Buddha ada dana untuk para Bhante. Di Hindu penuh dengna puja dan sembahyang di setiap pura kecil atau pure besar. Semua tempat ibadah, baik berupa bangunan atau tempat suci alami di gunung, laut, atau tepi sawah, penuh dengan sesajen dengan istilah yang berbeda-beda. Sesajen dipersembahkan untuk alam tak terlihat yang terhubung dengan alam manusia yang terlihat.

Sesajen adalah laku spiritual, memaafkan juga sama. Menendang sesajen adalah pelanggaran spiritual, tidak cukup hanya melalui proses hukum. Proses hukum adalah proses legal formal. Memaafkan adalah proses spiritual dan batiniyah. Sesajen, dalam tradisi Jawa sudah lama dilakukan. Di setiap pojok sawah masa menanam ada persembahan untuk Dewi Sri. Masa panen juga sedekah bumi untuk mensyukuri nikmat.

Dalam setiap Maulid, Idul Fitri, Idul Adha, semua melibatkan pemberian, tidak hanya untuk makhluk yang kelihatan, tetapi juga makhluk yang tak terlihat. Dimensi spiritual ini yang perlu dipertimbangkan. Di Jogjakarta dilakukan gerebeg Maulud juga penuh dengan persembahan dengan gunungan besar dipikul bersama-sama. Kebuli, kendurenan, dan semua lauk pauk dan nasi adalah bentuk persembahan manusia untuk sesama manusia dan Tuhan. Setiap Natal sahabat-sahabat Katolik dan Kristen saling memberi hadiah. Ini juga laku spiritual. Setiap Nyepi ada upacara persembahan di pantai. Setiap Waisak ada ibadah bersama. Setiap tahun baru Imlek juga demikian. Sesajen adalah bentuk itu.

Laku spiritual yang hendaknya di dekati dengan spiritual dan kalau ada pelanggaran juga jalan spiritual. Memaafkan adalah laku spiritual. Pelanggaran terhadap laku spiritual juga hendaknya melibatkan hukuman spiritual.

Memaafkan itu laku spiritual. Hampir di setiap agama mengajarkan pemaafan. Dalam Kitab Dammapada yang biasa dirapal umat dan Bhante Buddha, memaafkan sesama manusia dan makhluk lainnya serta menjernihkan pikiran agar berfikir benar dan bersih menjadi ajaran utama. Bahkan para penganut Buddha mendoakan semua makhluk berbahagia, tanpa kecuali.

Semua hendaknya harus melalui proses memahami, saling memaafkan, saling mendorong kearah yang lebih baik. Memaafkan pelanggar sesajen dari segi spiritual akan membantu memulihkan jiwa kita semua.

Banyak pelanggaran dan persekusi pada minoritas di Indonesia, semua didekati dengan cara hukum. Kita perlu memikirkan laku spiritual. Saling memaafkan adalah salah satunya. Hukuman diharapkan dan mengandung efek jera. Hukuman ditujukan pertanggungjawaban warga. Hukuman untuk proses legal sah. Laku spiritual perlu melengkapinya, agar doa sesama bermanfaat bagi pelaku dan yang disakiti.

Memaafkan adalah laku tinggi, setiap ajaran akhlaq dan sufi menekankan itu. Memaafkan tidak hanya baik bagi orang yang melanggar, tetapi juga yang dilanggar. Dalam salah satu Hadits Nabi, “Tolonglah saudaramu apakah ia zalim atau dizalimi”. Menolong disini termasuk juga memaafkan, agar yang dizalimi dibebaskan dari penderitaan (dukkha), yang menzalimi menyadari kesalahan itu. Memaafkan termasuk pertolongan ini.

Para sufi, termasuk al-Ghazali, Rabi’ah Adawiyah, Yazid al-Bistomi, semua menggarap penjernihan hati. Dalam Alquran sendiri ada jiwa tenang dan bersih disebut nafs mutmainnah. Jiwa yang tenang karena relasi antar sesama (habl min al-nas) lancar, dan relasi dengan Yang di Atas juga baik (habl min Allah). Memaafkan akan memberi jalan kedamaian.

Nelson Mandela ketika sudah keluar dari penjara selama 27 tahun dan terjun ke politik, akhirnya menjadi presiden di Afrika Selatan. Tindakan dia pertama kali adalah memaafkan. Kaum Apharteid tidak serta merta dibalas tindakan-tindakan di masa lalunya. Penjara tidak dibalas penjara. Penangkapan tidak dibalas penangkapan. Tetapi, Mandela menyatukan dan memaafkan yang menjebloskannya ke penjara. Memaafkan adalah Tindakan baik untuk diri sendir dan masyarakat. Memaafkan adalah kekuatan. Mari kita doakan semua makhluk semua termaafkan. Semua pelanggaran tidak diulangi. Semua bahagia.

Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Rabu, 19 Januari 2022 - 11:31 WIB oleh SINDOnews dengan judul "Memaafkan itu Laku Spiritual".