Sekularisasi Versi Indonesia, Tidak Sekuler

Oleh: Prof. Phil Al Makin (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Pemisahan negara dan agama tidak ada yang seragam di dunia ini. Setiap negara mempunyai sejarah panjang dan rumit tentang legitimasi agama dan bagaimana otoritas negara berhubungan. Eropa tentu menjadi contoh yang lazim, bagaimana agama akhirnya dipisahkan dari negara. Eropa mempunyai sejarah yang kelam, sebagaimana juga Asia dan Afrika pada umumnya. Agama tidak hanya sebagai petunjuk keselamatan manusia dan mengatur etika ummatnya. Agama juga telah dijadikan alat kekuasaan, sehingga agama bercampur dengan kepentingan penguasa untuk menekan rakyat.

Singkat kata, agama hanya menjadi perpanjangan tangan mereka yang ingin memerintah dan mempertahankan kekuasaannya. Indonesia tentu mempunyai sejarah sendiri, dan sampai kini masih mencari bentuk yang ideal bagaimana agama dan negara tidak saling berbenturan.

Para pemimpin kita selalu mencari jalan tengah agar rakyat yang agamis tidak disalahgunakan oleh para politisi. Baik Soekarno ataupun Soeharto masih idealis dalam konsep dan tindakan agar negara menjadi milik bersama melampui sekat agama, mazhab, ideologi, dan kepentingan-kepentingan tertentu.

Soekarno jelas-jelas terpengaruh oleh sekularisasi model Turki. Beberapa tulisan Soekarno tentang Turki memimpikan cita-cita negara yang netral tidak bercampur dengan kemunduran-kemunduran dari faham keagamaan yang juga andil dalam abadinya penjajahan Eropa di tanah agamis.

Soekarno, sebagaimana para pejuang di zamannya, melihat agama dan tradisi keagamaan secara kritis dan terbuka. Agama jangan sampai membelenggu. Agama jangan sampai membuat mundur bangsa. Agama jangan menghalangi modernitas, berfikir maju, dan agama hendaknya tidak menjadi alat kemunduran, kejumudan, keterbelakangan.

Soeharto melanjutkan cita-cita ini dengan gayanya yang pragmatis dengan sentuhan tafsir Pancasila lewat P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Soeharto sendiri adalah orang Muslim Jawa yang menghargai budaya lokal.

Sejak awal presiden kedua ini hati-hati ketika menyentuh agama, terutama agama Islam. Secara politis Soeharto berusaha agar agama tidak dijadikan alat legitimasi melawan pemerintah. Upaya-upaya pembangkangan kepada negara dengan dalil agama ditekan terus. Gaya represif digunakan hingga menjelang akhir pemerintahannya. Sebelum turun tangga, presiden kedua berubah haluan. Kita saksikan dari segi ritual dan penampilan publik, presiden kedua berusaha mendekatkan diri pada agama. Presiden kedua di akhir masanya mencitrakan diri secara politis sebagai pemimpin yang dekat dengan agama.

Perancis secara tegas dan lugas memegang laicite. Pemisahan negara dan unsur-unsur agama sakral dengan sendirinya. Agama serta merta ditolak di ruang publik dan politik. Jerman serupa dengan konsep yang khas dengan sejarah Katolik dan Protestan. Belanda, Inggris, dan negara-negara lain di Eropa rata-rata memegang sekularisasi lebih tegas. Amerika dan Kanada tidak terlalu trauma atas relasi agama dan negara. Nama Tuhan Pun masih ada, in Domino Confido. Tuhan masih tertera dalam doa dan mata uang.

Pengalaman Barat atas agama dan pengalaman Asia atas agama berbeda. Bahkan masing-masing kultur berbeda. Indonesia termasuk unik dan mempunyai sejarah pasang surut. Berbeda dengan China, Jepang dan Korea yang rata-rata terpengaruh dengan Buddhisme dan lokalitasnya. Agama dan negara tidak terlalu rumit. China jelas dan tegas, paham komunisme yang menang, agama tidak ada ruang. Jepang mempunyai akar tradisi lokal Shinto yang tegak, dan identitas lokal mengatasi isu agama. Agama dan negara tidak rumit, agama bukan isu utama.

Indonesia sulit meninggalkan agama dan isu-isu keagamaan dalam politik. Agama sangat kental dalam ekonomi, politik dan sosial. Agama masuk pada struktur terdalam di jantung masyarakat kita. Bandingkan dengan Malaysia misalnya, yang banyak terpengaruh hukum yang berlaku dari Inggris. Hukum dihormati dan berlaku di masjid dan pada Lembaga-lembaga agama. Negara jauh lebih kuat wewenangnya. Para agamawan dan para pemimpin agama kurang mendapat tempat dalam hukum, walaupun tampak konservatif dalam teologi dan pemahaman keagamaan.

Agama setelah era radikalisme yang mengarah pada kekerasan, kembali kuat pada ranah publik di masyarakat kita. Tindakan kekerasan atas nama agama tidak bisa dibendung dengan mengurangi porsi agama. Justru sebaliknya, porsi agama bertambah. Terorisme dan radikalisme ditepis dengan menggunakan dalil-dalil agama pula. Bahkan perlawanan terhadap terorisme juga lebih efektif dengan menggunakan tafsir agama pula. Faham agama ditepis dengan faham agama.

Tafsir agama beradu. Tindakan kekerasan dengan dalil agama dibantah dengan dalil perdamaian agama. Diskriminasi atas nama agama juga dilawan dengan paham inklusif atas nama agama. Agama diimbangi dengan agama. Dalil yang sama, dari Kitab Suci yang sama, tetapi tafsir yang berbeda.

Beberapa diskriminasi pada kelompok yang lemah dilatarbelakangi oleh kepentingan-kepentingan dan identitas agama juga tidak mungkin diatasi hanya dengan nama hukum negara. Bahkan hukum negara juga kembali pada identitas agama. Faktanya, kekuatan para pemuka agama mempengaruhi jalannya hukum negara. Apakah sekularisasi mengalami penurunan setelah era Soekarno dan Soeharto? Apakah faktor agama bertambah menguat pada era demokratisasi dan desentralisasi? Jawaban iya cenderung diterima.

Kita saksikan dalam ranah politik, agama merupakan faktor penting dalam menarik popularitas. Lembaga agama menjadi lebih berperan. Figur-figur agama menjadi legitimasi politis, atau bahkan bertransformasi menjadi politisi itu sendiri. Kelompok-kelompok yang dianggap intoleran tidak bisa ditarik ke ranah hukum negara tanpa melibatkan kelompok agama yang lain yang dianggap lebih toleran.

Beberapa persaingan politis, ekonomi, dan sosial melibatkan agama, tokoh agama, lembaga agama, dan dalil-dalil agama. Agama dan politik di Indonesia mungkin tidak pernah berpisah, sekularisasi mungkin tidak pernah terjadi.

Artikel ini sudah dimuat di halaman RMOL.ID, edisi 6 Maret 2022.

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler