Moral Bangsa Meningkat
Oleh: Prof. Dr. Phil Al Makin, M.A. (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Mungkin banyak yang tidak setuju dengan pernyataan bahwa moral bangsa Indonesia meningkat. Kita dengar banyak diskusi dalam forum formal maupun informal, di ruang seminar, di kafe, di kelas, atau di pinggir jalan sambil makan tempe goreng dan teh hangat lebih banyak yang setuju dengan pendapat bahwa moral bangsa menurun. Moral bangsa, dalam banyak segi katanya, dan saya kira kita sering dengar, sedang menurun. Ada dekandensi moral. Ada penurunan kejujuran. Ada kerusakan integritas. Anda boleh tidak setuju. Sah-sah saja. Itulah bukti bahwa kita dalam kondisi lebih baik. Setuju atau tidak setuju tidak membawa konsekwensi kesalamatan.Diskusi terbuka dan kritik tidak serta merta mengancam nyawa. Bahkan kalau dilihat dari segi makro, lebih luas, moral bangsa meningkat. Betul, moral bangsa, sebagaimana moral manusia di dunia ini kalau dilihat secara statistik terkait dengan isu-isu besar meningkat. Seratus tahun lalu tidak ada isu Hak Asasi Manusia (HAM), tidak ada isu lingkungan, tidak ada isu kesetaraan gender, tidak ada barometer demokrasi.
Dua ratus tahun lalu tidak ada isu moderasi dan toleransi beragama. Itu semua adalah tema baru manusia dalam era globalisasi pasar bebas. Dalam sistem sebelum sistem demokrasi liberal modern, tidak ada oposisi.
Para raja di Yunani, Persia, khalifah di Baghdad, atau raja-raja Nusantara tidak ada yang berani terang-terangan menentang penguasa. Yang menentang dengan mudah dibunuh tanpa pengadilan yang jelas. Para penguasa era kuno, klasik, pra modern dengan mudah menghabisi setiap orang yang mengkritik atau bahkan tidak setuju. Dengan demokrasi modern pasca Perang Dunia II, demokrasi liberal era globalisasi dan pasar bebas, yang ditafsirkan dalam banyak budaya dan bangsa, menjamin kehidupan warga negara yang lebih baik. Moral manusia meningkat.
Moral para pemimpin tampaknya dengan mudah dilihat. Tidak bisa diantara mereka semena-mena menghabisi nyawa warga tanpa ada yang mengevaluasi secara terbuka. Demokrasi saat ini menjamin keamanan warga dan pemerintah. Moral manusia secara umum meningkat, dan moral bangsa juga demikian. Setelah kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Jepang dan Belanda kita mencari bentuk sistem bernegara. Berbagai macam tafsir demokrasi ditawarkan dan juga sudah dicoba. Demokrasi terpimpin, demokrasi parlementer, demokrasi presidensial, demokrasi terbatas partainya, dan demokrasi multi-partai. Mana lebih baik praktik dan efeknya? Jelas demokrasi yang lebih mudah dijalankan dan dievaluasi oleh publik.
Demokrasi pasca-reformasi bisa dikatakan dengan jelas, lebih baik daripada demokrasi-demokrasi yang telah kita coba. Ketika bangsa ini berganti-ganti pemimpin dan mencoba berbagai sistem, ternyata sistem yang mudah dilihat publik secara bersama dan adil dengan perkembangan teknologi dan informasi adalah sistem yang saat ini kita jalankan. Mari syukuri. Indonesia di awal-awal kemerdekaan adalah masa berjuang dengan instabilitas. Instabilitas politik, sosial, dan ekonomi. Tidak semua elemen bangsa sepakat dengan bentuk brepublik itu sendiri. Masih ada pihak-pihak yang memimpikan sistem lebih agamis. Sistem demokrasi tidak serta merta dipahami dan diterima. Semua butuh perjuangan. Sebagian karena rasa kedaerahan menggunakan sentimen itu untuk memisahkan diri dari republik. Masa awal kemerdekaan adalah masa percobaan sistem negara.
Masa selanjutnya adalah stabilitas ekonomi dan politik dengan berbagai harga yang dibayar. Lima puluh tahun yang lalu hingga tiga puluh tahun yang lalu tidak ada suara protes yang bebas bergerak di ruang publik. Setiap suara yang berbeda dengan pemerintah segera terbungkam. Setiap ketidakpuasan menemuhi kebuntuan. Tidak ada ekspresi oposisi. Oposisi adalah haram. Semua harus taat pada pemerintah. Sisi positifnya adalah ekonomi stabil, rasa aman kita dapat, namun demokrasi masih menemuhi banyak sisi timpang. Setelah Reformasi bergulir, semua berjalan berbeda. Semua berpartisiapsi. Ada gerakan partisipasi massa di publik yang terang. Sistem multi-partai memberikan ruang negosiasi yang lebih terbuka.
Semua rakyat dari desa hingga ibu kota memantau jalannya Pemilu dan pemerintahan. Berita dan kabar disiarkan melalui media secara cepat dan bebas. Isu dan wacana dibicarakan secara terbuka bahkan di warung kopi, jalanan, pasar, kelas, seminar, dan semua media. Media elektronik dan media sosial (medsos) membuka kran-kran aliran informasi. Kita sekarang ini jauh lebih baik dalam hal evaluasi, check and balance, dan sistem ini memungkinkan kita berbeda satu sama lainnya dalam pilihan politik.
Demokrasi kita saat ini memungkinkan kita untuk berpendapat dan bersuara. Tidak serta merta yang bersuara terbungkam. Tentu ada kelemahan sana dan sini, itu wajar. Berkat perkembangan sistem dan juga teknologi informasi serta media, moral bangsa meningkat. Moral bangsa memang meningkat dari segi publik. Jadi sangatlah berlebihan jika ada pendapat mengatakan moral bangsa menurun total, atau bahkan secara pesimis mengatakan hancur. Dengan mengeluarkan pendapat seperti itu dan masih aman-aman saja menunjukkan bahwa keamanan orang yang mempunyai pendapat itu terjamin. Demokrasi meningkat.
Tentu ada catatan yang harus dilihat lagi. Ada sisi-sisi yang harus ditingkatkan. Tetapi kita bersyukur sistem ini berjalan dan kita bisa hidup dengan wajar. Bahkan karena peran media sosial dan bebasnya kehidupan era saat ini, di mana keahlian dan kepakaran sedang tergugat, kebebasan ini sepertinya justru yang harus dipikirkan ulang. Bagaimana kebebasan itu disertai dengan tanggung jawab dan hendaknya diperbaiki.
Dari segi keterbukaan informasi, sebagai salah satu elemen demokrasi, moral kita terkondisikan meningkat. Jika ada catatan, itu wajar. Mari syukuri.
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Jum'at, 22/04/2022 - 12:55 WIB oleh SINDOnews dengan judul Moral Bangsa Meningkat