Lailatul Qadar untuk Bangsa

Oleh: Prof. Dr. Phil Al Makin, M.A. (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Lailatul Qadar merupakan anugerah bagi Muslim di bulan Ramadan, seperti pencerahan mungkin dalam Buddhisme. Seorang penganut Buddhisme yang terus melakukan meditasi dan membebaskan diri dari keinginan-keinginan akan mencapai ketenangan. Lailatul Qadar pun sepertinya semacam itu jika dipahami dengan perspektif lain. Meditasi, zikir, doa, dan menenangkan diri merupakan jalan, tujuannya adalah kedamaian.

Semua yang melakukan puasa mengharapkan mendapatkan berkah malam utama itu, Lailatul Qadar. Konon sama dengan atau lebih baik dari seribu bulan, dari segi kebajikan. Berbuat baik, pengampunan, dan kasih sayang tentu dalam perspektif Kristiani adalah kebajikan utama. Dalam tradisi dan ajaran Kristiani pengampunan dan cinta kasih untuk sesama sangat ditekankan.

Malam Lailatul Qadar juga menyiratkan demikian. Kebajikan berupa pengampunan tidak hanya dari Tuhan kepada manusia, tetapi juga sesama manusia. Saling mengasihi, saling memberi maaf, dan saling memberi kedamaian adalah tujuan utama kehidupan. Lailatul Qadar adalah biji kehidupan, baik dalam berkah Ramadan ataupun mungkin dalam perspektif Kristiani, jika ingin sedikit membandingkan.

Siapa yang mendapatkan Lailatul Qadar akan mendapat kedamaian. Bagaimana kalau kita berbaik sangka, yang mendapatkannya bukan hanya satu orang, tetapi banyak di antara kita? Jika demikian, anugerah Lailatul Qadar itu tidak untuk individu tetapi untuk kolektif. Bisa untuk kota atau bangsa. Bisa jadi banyak warga Yogyakarta mendapatkannya, maka seluruh kota gudeg ini akan tenang dan damai. Jika lebih banyak orang di sejumlah provinsi Indonesia ini mendapatkannya, maka bangsa ini secara keseluruhan penuh Lailatul Qadar. Jadilah kota damai, atau bangsa damai.

Dalam banyak kesempatan Lailatul Qadar diriwayatkan seperti ini: Inna imarata lailatil qadri annaha shofiyatun baljatun, ka annaha fiha qamaran syati’an, sakinatan sajiyyatan, la barada fiha wa la harra, wa la yahila likaukabi yurma bihi fiha hatta tusbihu. Artinya, sesungguhnya tanda Lailatul Qadar adalah cuacanya jernih dan terang, sepertinya bulan bersinar, tenang, hening, suhunya tidak dingin, namun tidak pula panas, tiada bintangpun yang terlempar malam itu hingga dini hari.

Itu menunjukkan ketenangan antara alam dan manusia. Seperti puisi dan sajak lama yang selalu menggambarkan kedamaian lewat alam, Lailatul Qadar juga demikian adanya. Udara yang jernih dan terang. Bulan menerangi malam seperi lampu listrik era sekarang. Suhunya tepat, tidak terlalu dingin, namun juga tidak panas. Tentu ini sesuai dengan iklim tropis kita. Riwayat itu tentu mengingatkan empat musim di Timur Tengah atau Eropa Timur, karena Islam memang dari sana. Terlalu mengigil seperti musim dingin dengan salju tidak nyaman. Musim panas apalagi, di padang pasir juga menyiksa. Maka Lailatul Qadar digambarkan cuaca yang tepat. Bintang pun terdiam. Tidak ada mateor, tidak ada bintang jatuh. Semua tenang.

Tidak ada yang tahu, kecuali Allah SWT siapa yang mendapatkan anugerah Lailatul Qadar. Tetapi dampak akan bisa dirasakan. Sesuai dengan bunyi riwayat itu, dan juga riwayat lain yang banyak menceritakan ketenangan malam itu. Dampaknya bisa jadi terukur.

Setiap individu yang damai dan tenang, bisa jadi telah mendapatkan Lailatul Qadar. Jika Yogyakarta tenang pasca Ramadan ini, tidak ada kekerasan di jalan, tidak ada tawuran, tidak ada kerusuhan, tidak ada tindakan intoleransi, tidak ada kesulitan apa-apa, mari berbaik sangka, banyak warga Yogyakarta telah dikirimi Lailatul Qadar. Jika Indonesia tetap damai menjelang Pemilu 2024: unjukrasa damai, gesekan partai politik masih rasional dan wajar, para wakil dan calon wakil rakyat santai, para kandidat pemimpin eksekutif tetap berakhlak dan lurus, semua rakyat tenang dan jernih, maka bisa jadi Lailatul Qadar telah diterima bangsa Indonesia.

Artikel ini telah tayang di krjogja.com dengan judul Lailatul Qadar untuk Bangsa, edisi 21/04/2022.

Kolom Terpopuler