Berkah Akhir Ramadan
Oleh: Prof. Dr. Phil Al Makin, M.A., (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Ini adalah Ramadhan, dan akan menjadi lebaran Idul Fitri, kedua yang kita lalui selama masa wabah. Pelan-pelan kita sudah terbiasa berhati-hati. Perpuasa masa Covid-19 tidak serta merta diwarnai dengan buka bersama, seperti masa sebelum pagebluk.
Selama bertahun-tahun tradisi Ramadhan kita, puasa tidak lengkap tanpa ritual buka bersama. Tetapi wabah dua tahun ini mengubah itu. Kita menahan diri. Kita bersabar. Kita bisa berubah. Berbagai jenis perkumpulan sudah kita kurangi, kita sudah terbiasa menahan diri. Tarawih-tarawih juga dengan berhati-hati. Pengajian-pengajian memperlihatkan sikap privasinya.
Namun pelan-pelan optimisme muncul. Kebangkitan dari keterasingan dalam kurungan rumah masing-masing sudah kita derita. Akhir Ramadhan ini memberi harapan baru. Jalan-jalan menjelang buka puasa mulai penuh sesak. Para penjual makanan dan minuman di tepi-tepi jalan mulai semarak.
Ngabuburit diwarnai dengan kemacetan. Kita dalam Ramadhan hari-hari terakhir telah memperlihatkan kepercayaan diri. Wabah dirasakan menyusut; vaksin sudah merata; imunitas tubuh manusia meningkat; dan adaptasi pikiran dan tubuh dengna suasana wabah mungkin sudah terjadi.
Kita lalui pegebluk ini. Kita lepas yang sudah pergi. Kita beri semangat lagi kehidupan. Akhir Ramadhan tampaknya akan menjadi penanda kebangkitan.
Ekonomi rakyat akan membaik. Perputaran roda barang dan jasa karena peningkatan konsumsi akan terbukti. Harga ayam, minyak goreng, daging, cabai, dan kebutuhan-kebutuhan yang lain sudah lama melangit, sebagaimana juga Ramadhan dan jelang Idul Fitri jauh hari sebelum pandemi. Tidak ada anomali di situ.
Kita akan sambut lebaran tahun ini dengan mudik dan halal bi-halal. Menurut perkiraan keamanan dan ketertiban kota-kota Jawa, lebaran akan ramai. Fasilitas yang berkait dengam mudik akan bersiap melayani gerakan kendaraan lalu Lalang.
Jalan tol akan mengatur mobil-mobil dari Jakarta ke kota-kota lainnya. Tiket pesawat dan kereta sudah rebutan booking-an. Kebangkitan dengan hirkuk pikuk dan kompetisi fasilitas.
Sikap optimis ini juga kita rasakan dalam bentuk lain: proses belajar generasi mendatang di sekolah-sekolah. Harapannya, pertemuan-pertemuan tidak lagi dengan teknologi zoom yang membosankan.
Di kelas-kelas daring selama wabah, para siswa hanya setor wajahnya, tetapi hanya dengan memasang foto profil yang kaku. Selama masa wabah, para pengajar hanya berbaik sangka bahwa siswa mereka mengikuti kelas. Guru bertanya pada foto-foto itu dan jarang ada yang menjawab.
Multi-tasking sudah dilakukan oleh para siswa, mengikuti kelas dengan mengerjakan tugas lain. Multi-tasking tidak bisa dengan kelas luring. Kelas daring memungkinkan memasang foto, dan meninggalkan forum. Hampir semua seminar, pengajian, dan acara-acara formal kenegaraan seperti itu.
Nilai akhir para siswa juga dengan perkiraan, semoga semua bertahan dan bahagia. Doa kita, setelah liburan Idul Fitri ini semua sekolah akan segera menyelenggarakan kelas luring.
Pasar tradisional penuh sesak. Kebangkitan ekonomi rakyat menambah semangat. Jalan yang dua tahun lengang itu, kini sudah menunjukkan optimisme baru. Kemacetan adalah tanda kehidupan pulau Jawa.
Dalam Kitab Suci Alquran, lailatul qadar dikawal oleh para malaikat. Malam itu hingga pagi hari adalah malam mulia. Makna harfiyahnya adalah Kitab Suci itu diturunkan pada malam itu. Malam mulia yang lebih baik dari seribu bulan.
Makna metaforisnya, dan kontekstual dalam masa kebangkitan ini, adalah kemuliaan Ramadhan menjadikan optimisme manusia timbul. Optimisme di hari-hari terakhir Ramadhan kita rasakan dalam gerak ekonomi, sosial, dan pendidikan.
Dalam surah ke-97 Alquran itu menerangkan turunnya Kitab Suci itu sendiri. Tentu Kitab Suci hadir pelan-pelan (munajjaman) sesuai dengan situasi dan kondisi (asbab al-nuzul). Apakah ayat atau surah tertentu turun di Makkah atau Madinah, dalam kondisi damai atau konflik.
Semua dicatat dalam banyak riwayat. Tetapi secara teologis metaforis, pesan Kitab itu turun dari langit ke bumi secara utuh, pengejawantahannya sesuai dengan perjalanan hidup Sang Nabi (sirah). Perjalanan hidup Sang Nabi dan turunnya surah demi surah, dan ayat demi ayat adalah peristiwa duniawi.
Kontekstualisasi dan makna baru akan terus terbuka. Kitab Suci tidak berisi huruf dan kata-kata statis. Maknanya dinamis, sesuai dengan kondisi manusia. Manusia menghidup-hidupkan kembali. Manusia bertanggungjawab untuk melanggengkan dan menafsirinya.
Akhir Ramadhan 1443, atau Masehinya 2022, menandakan kebangkitan manusia dari wabah. Tidak setiap kehidupan manusia melihat wabah. Wabah bersifat global tidak datang sering-sering dalam sejarah manusia.
Dalam seratus tahun, belum tentu ada wabah. Menafsirkan lailatul qadar dan mengaitkan dengan kondisi pasca-wabah mungkin bermanfaat.
Makna berkah akhir Ramadhan itu bisa dirasakan secara ekonomi, dengan bangkitnya lapak-lapak buka puasa dan meriahnya ngabuburit.
Artikelini telah tayang pada publika.rmol.id dengan judul Berkah Akhir Ramadan, edisiMinggu, 24/04/2022, 16:22 WIB
Baca juga:Lailatul Qadar untuk Bangsa