Memulihkan Tempat Ibadah Tua

Oleh: Prof. Dr. Phil Al Makin (Rektor UIN Sunan Kalijaga)

Jaminan kebebasan beragama di Indonesia patut disyukuri kemajuannya. Melihat hanya kekurangannya dan kritis terhadap intoleransi tidak harus terus-menerus ditonjolkan. Memang indeks-indeks intoleransi kita masih membutuhkan perhatian. Tetapi kehidupan di masyakarat tidak harus diukur dengan statistik intoleransi, simbol juga perlu dan penting dalam kehidupan ini. Betapapun sedikitnya kemajuan harus disyukuri. Kemajuan tetap kemajuan. Pemanfaatan vihara dan pura yang sudah menjadi benda bersejarah sebagai objek wisata selama berabad-abad yang dipulihkan lagi menjadi tempat ibadah bagi umat Hindu dan Buddha juga sebuah kemajuan. Ini adalah kemajuan simbolik kebebasan beragama.

Candi Prambanan, Borobudur, Mendut dan Pawon berdasarkan nota kesepakatan 2022 antara Kementerian Agama; Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi; Kementerian BUMN; Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif; Pemerintah Daerah Yogyakarta; dan Jawa Tengah dipulihkan sebagai tempat ibadah bagi umat Hindu dan Buddha. Ini merupakan langkah kemajuan simbolik bagi umat yang berjumlah tidak banyak di Indonesia.

Ritual secara simbolik juga sudah dilaksanakan tahun 2022 ini. Pada awal tahun ini acara Tawur Agung Sasih Kesanga telah dilaksanakan di Candi Prambanan. Rangkaian itu termasuk bersih-bersih kompleks candi, juga upacara Melasti, atau penyucian diri dan lingkungan.

Pada peringatan Trisuci Waisak pertengahan Mei sungguh suatu karunia. Penulis hadir dan menyaksikan acara itu. Dua organisasi Buddha bekerjasama dalam penyelenggaraannya: Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) dan Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi). Malam itu pada puncaknya keduanya menyambut, juga Menteri Agama, Menteri Pariwisata, Gubernur Jawa Tengah, dan lain-lain. Sedangkan acara seremonial Dharma Santi dilaksanakan di taman Lumbini. Cerita Sang Buddha dari kelahiran, pencerahan, hingga kematian dipentaskan. Ini merupakan simbol dari pemulihan itu sendiri fungsi Borobudur sebagai tempat ibadah. Setelah itu kita saksikan juga pelepasan lampion.

Status pura dan wihara candi-candi seharusnya tidak berbeda dengan status masjid dan gereja di Pulau Jawa. Tempat ibadah yang sifatnya tua dan penuh dengan muatan sejarah seperti Candi Prambanan dan Borobudur selama ini memang menjadi objek wisata yang menopang perekonomian rakyat dan pemerintah. Nota kesepemahanan harapannya menjadi jalan bagi pemulihan fungsi ibadah umat yang mengimaninya. Tempat ibadah seperti pura dan wihara memang tidak banyak. Kemajuan simbolik ini perlu ditopang lagi dengan kebijakan-kebijakan yang sifatnya lebih praktis dan memudahkan dalam realisasi.

Kita bisa melihat perbandingan dari kebijakan pemerintah di Vatikan misalnya dengan adanya tempat bersejarah seperti basilika dan tempat-tempat lain. Fungsi ganda sebagai wisata dan tempat ibadah berjalan dengan lancar dan normal. Ibadah tetap jalan, namun wisata juga sama. Basilika sebagai tempat ibadah dan wisata bahkan tanpa ada biaya masuk. Demikian juga di Turki ada Hagia Sophia sebagai tempat ibadah yang sudah berganti-ganti dalam sejarah panjang negara itu. Dulu awalnya adalah gereja, berubah menjadi masjid, lalu museum. Dan kini fungsi masjid berjalan, tetapi destinasi wisata juga berjalan lagi. Biaya masuk juga gratis.

Masjid seperti Menara Kudus dan Masjid Demak di Jawa Tengah juga demikian, walaupun ada aturan dan batasan tertentu sebagai masjid. Fungsi masjid tetap berjalan normal, tetapi fungsi wisata juga berjalan. Demikian juga beberapa geraja tua di Jawa Tengah seperti gereja GPIB Imanuel atau gereja blenduk di Semarang. Di Bali banyak pure utama juga menjadi tempat wisata, namun ibadah tetap berlangsung. Di Yogyakarta masjid Kotagede dan masjid keraton juga sama. Fungsi wisata dan masjid berajalan seiring.

Candi Prambanan dan Borobudur dan juga candi-candi lain di seputar Yogyakarta dan Jawa Tengah selama ini menjadi tempat wisata, tetapi fungsi keagamaan sebagai puja atau pradaksina tidak mendapat landasan hukum. Nota kesepemahaman antara empat kementerian dan pemerintah daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah bisa menjadi angin segar.

Dari segi pembiyaan kiranya perlu dipikirkan jalan memudahkan bagi umat yang beriman dan beribadah di sana. Tidak semua umat Hindu dan Buddha mampu membayar apalagi jika setiap ibadah demikian adanya. Pembebasan biaya masuk tidak hanya berlaku di hari suci besar saja. Ini juga sama dengan beberapa masjid, gereja, dan pura di Jawa dan Bali yang juga memberi kemudahan bagi pemeluknya untuk melakukan ibadah.

Persepsi dan pemahaman candi seperti Borobudur memang sudah harus berubah. Itu juga vihara, tempat puja dan pradaksina, bukan hanya sebagai stupa dan relief-relief wisata yang bisa dinikmati para turis. Borobudur adalah tempat ibadah, sebagaimana juga masjid dan gereja. Umat yang beribadah hendaknya kita mudahkan sebagaimana umat Islam pergi ke masjid setiap hari dan berjamaah. Hari jumat bagi masjid dan hari minggu bagi gereja merupakan hak umat yang mengimaninya. Bantuan yang memudahkan sangat berarti bagi toleransi dan jaminan keragaman iman di Indonesia.

Candi Prambanan juga begitu, tidak semata-mata sebagai benda sejarah Mataram kuno seribu dua ratus tahun yang lalu. Prambanan sebagai pura, sebagaimana di Bali, juga perlu perubahan persepsi kita. Prambanan bukan hanya destinasi wisata. Tetapi itu adalah tempat suci yang menghantarkan manusia menuju jalan spiritualitas.

Pemulihan Borobudur dan Prambanan sebagai wihara dan pura adalah simbol langkah berarti dari kemajuan toleransi bangsa Indonesia. Landasan spiritualitasnya adalah Hindu dan Buddha Mataram kuno satu milenia yang lalu tetap perlu apresiasi tersendiri. Memang Umat Hindu dan Buddha tidak banyak secara kuantitas. Penghormatan hak ibadah mereka adalah tetap tindakan mulia. Langkah ini adalah tindakan simbolik kemajuan toleransi beragama di Indonesia.


Artikel ini telah diterbitkan di halaman publika.rmol.id dengan judul "Memulihkan Tempat Ibadah Tua" edisi Jum'at, 17 Juni 2022 - 09:41 WIB

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler