Gerhana Bulan dan Kalender Islam
Ditulis Oleh Prof. Dr. Susiknan Azhari, Guru Besar Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Museum Astronomi Islam.
Berbagai literatur menyebutkan bahwa pada tahun 2022 terjadi empat kali gerhana, yaitu dua kali Gerhana Matahari dan dua kali Gerhana Bulan. Dua kali Gerhana Matahari dimaksud pertama Gerhana Matahari Sebagian yang terjadi pada tanggal 1 Mei 2022 menjelang awal Syawal 1443 H dan tidak teramati di wilayah Indonesia. Kedua Gerhana Matahari Sebagian terjadi pada tanggal 25 Oktober 2022 menjelang awal Rabiul Akhir 1444 H yang lalu juga tidak teramati di wilayah Indonesia.
Sementara itu dua Gerhana Bulan dimaksud, yaitu pertama Gerhana Bulan Total yang terjadi pada tanggal 16 Mei 2022 pertengahan bulan Syawal 1443 H tidak teramati di wilayah Indonesia. Jalur gerhana melewati Amerika, Eropa, dan Afrika. Kedua, Gerhana Bulan Total yang akan terjadi pada hari Selasa 8 November 2022 pertengahan bulan Rabiul Akhir 1444 H teramati di seluruh wilayah Indonesia dan merupakan gerhana terakhir pada tahun 2022.
Bagi umat Islam peristiwa gerhana baik matahari maupun bulan memiliki arti penting untuk merenungkan kebesaran Ilahi. Oleh karena itu dianjurkan berdo'a, takbir, menunaikan salat, dan bersedekah. Adapun data Gerhana Bulan Total 8 November 2022 adalah sebagai berikut. Gerhana Penumbra mulai pukul 15.02 WIB, Gerhana Sebagian mulai pukul 16.09 WIB, Gerhana Total mulai pukul 17.17 WIB, Puncak Gerhana mulai 17.59 WIB, dan Gerhana Total berakhir pada pukul 18.42 WIB.
Perlu diketahui peristiwa gerhana merupakan bagian penting dalam studi astronomi Islam. Seringkali orang bertanya dan mengkaitkan dengan persoalan penyatuan kalender Islam. Baginya peristiwa gerhana jauh-jauh hari sudah diperkirakan dan hasilnya sampai saat ini "sesuai" realitas termasuk peristiwa Gerhana Matahari Sebagian yang terjadi pada tanggal 25 Oktober 2022/29 Rabiul Awal 1444. Lalu mereka bertanya mengapa dalam kasus hilal perdebatan tidak kunjung selesai?
Kegelisahan tersebut hal yang wajar. Meskipun demikian untuk menjawabnya tentu tidak semudah membalikkan tangan. Di sini diperlukan berbagai pendekatan agar pihak-pihak yang "berseberangan" bisa saling memahami dan dicari formulasi yang "menyenangkan" semua pihak. Dalam sejarah pemikiran Islam muncul beragam tipologi. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu dalam mendialogkan peristiwa gerhana dan persoalan hilal seharusnya diletakkan pada porsi yang sama.
Sepanjang pengamatan penulis selama era reformasi ketika hasil perhitungan menunjukkan posisi hilal di bawah ufuk (-) tidak ada laporan keberhasilan melihat hilal. Dengan kata lain semua pihak meyakini bahwa hilal tidak mungkin terlihat meskipun ada yang melapor pasti ditolak. Dalam praktiknya selama ini ketika posisi hilal di bawah ufuk umur bulan selalu digenapkan 30 hari. Sementara itu jika hasil hisab menunjukkan bahwa posisi hilal di atas ufuk (+) maka muncul beragam pandangan dan disinilah titik krusial yang selama ini terjadi.
Apakah titik krusial itu tidak bisa dikompromikan perspektif syar'i dan sains?. Jawabnya sangat mungkin dipertemukan. Sesungguhnya para pihak terkait sangat memahami bahwa benda-benda langit sangat teratur, tertib, dan bergerak sesuai tempat edarnya. Bukti kongkretnya peristiwa gerhana yang terjadi selama ini senantiasa bersesuaian. Oleh karena itu konsep "hilal persatuan" yang diupayakan memerlukan "keseimbangan pemahaman" dan tidak boleh berat sebelah seperti yang terjadi saat ini dalam penentuan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah.
Dalam konteks penyatuan kalender Islam peristiwa gerhana juga bisa menjadi acuan memahami nas secara dinamis sesuai perkembangan zaman sehingga upaya penyatuan tidak hanya fokus pada persoalan kriteria. Aspek lain terkait kalender Islam perlu memperoleh perhatian. Umat Islam sudah saatnya memiliki satu sistem kalender Islam yang dapat diterima semua pihak agar ada kepastian dalam sistem transaksi uang di Perbankan, jadwal penerbangan internasional untuk jamaah haji, dan kepentingan lainnya. Untuk itu menurut Moedji Raharto umat Islam perlu mewujudkan kalender Islam yang mapan berbasiskan hisab dan tidak meninggalkan historikal rukyat untuk menjadi bahan evaluasi terhadap kriteria hilal yang dipedomani.
Baca juga: Kalender Islam dan Kebersamaan