Berbeda untuk Bersatu
Ditulis oleh Dr. Fathorrahman, S.Ag., M.Si., Wakil Katib PWNU Yogyakarta,
Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga.
“Kita semua hari ini bersama sama berkumpul, tidak ada yang sama. Semua berbeda diciptakan untuk tidak sama. Tujuannya agar kita Bersatu. Yang sama tidak perlu dibedakan, yang beda tidak perlu disamakan. Mari hargai perbedaan dan hindari perpecahan”
Pesan moral yang disampaikan Menteri Agama Gus Yaqut Chalil Qoumas pada penutupan Hari Amal Bhakti Kementrian Agama tahun 2023 menemukan konteksnya saat berbagai lelaku kebajikan dan kemanusiaan secara lintas afiliasi tergelar di hajatan satu abad Nadlatul Ulama (NU) pada tanggal 7 Februari 2023.
Dalam hajatan NU yang dihadiri oleh jutaan warga dan pencinta NU, ada suasana batin dan keterpanggilan hati yang dilakukan oleh beberapa komunitas keagamaan seperti Muhammadiyah, ummat Kristiani dan komunitas lainnya dalam memfasilitasi berbagai kebutuhan pangan, sarana kesehatan dan tempat beribadah bagi para warga NU yang tumpah ruah di berbagai ruas jalan di sekitar GOR Deltras Sidoarjo.
Dalam lelaku kebajikan lintas afiliasi serupa, juga diekspresikan oleh H. Roemani tokoh NU Semarang ketika menyumbangkan tanahnya untuk pengembangan Rumah Sakit Muhammadiyah di Semarang. Demikian pula pengorbanan tokoh muda NU Riyanto yang rela mewakafkan dirinya di pintu gerbang kematian demi menyelamatkan jamaat Gerea dari ledakan bom di Mojokerto
Berbagai lelaku kebajikan lintas afiliasi yang diekspresikan kader-kader NU, Muhammadiyah, Nasrani, dan komunitas lainnya menjadi modal sosial yang meyakinkan kita semua bahwa persatuan adalah “permadani suci” yang selalu digunakan oleh kelompok besar masyarakat Indonesia untuk merajut persatuan dan kebersamaan tanpa pandang kelompok, agama, ras, dan suku.
Persatuan sebagai Inspirasi
Dalam kaitan ini, lelaku kebajikan lintas afiliasi yang ditunjukkan oleh Muhammadiyah maupun kaum Nasrani di hajatan satu abad NU dan pengorbanan kader NU di berbagai hajatan Muhammadiyah dan Nasrani maupun komunitas lainnya, memberikan inspirasi kepada kita semua bahwa persatuan adalah warisan utama yang harus dirawat dan dijaga fitrahnya. Persatuan adalah sunnatulah yang mempertemukan semua kalangan dan berbagai status sosial. Persatuan adalah rajutan emosional yang saling melebur tanpa menyoal kembali perbedaan. Sebab, perbedaan adalah proses untuk mengenal yang meneguhkan pentinya persatuan.
Pelajaran moral yang sangat berharga yang ditunjukkan berbagai komunitas keagamaan tersebut menjadi laboratorium sosial yang sangat empirik bagi siapapun yang ingin memanifestasikan persatuan dalam berbagai lingkup hidupnya. Selain itu, pelajaran moral ini menjadi sarana ilmu terapan bagi semua kaum terpelajar agar mempraktekkan ilmu pengetahuannya untuk memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan bagi berbagai pihak lain.
Berangkat dari peran serta tiga komunitas keagamaan yang selama ini menunjukkan komitmennya dalam merawat kebersamaan dan persatuan dalam perbedaaan serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keragaman, maka Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kaliaga akan merekognisi kerja keras dan semangat luhur ketiga komunitas dengan pemberian gelar kehormatan (Doctor Hinoris Causa) kepada ketiga tokohnya pada tanggal 13 Februari 2023. Adapun doktor kehormatan akan disematkan kepada KH. Yahya Chalil Staquf (selaku Ketua Umum PBNU), dr. Sudibyo Markus (selaku Ketua PP Muhammadiyah) dan Cardinal Miguel Angel Ayuso Guxot (selaku Presiden Badan Kepausan untuk Dialog Lintas Agama dan vatikan).
Secara sosiologis, apa yang dilakukan oleh UIN Sunan Kaliaga menjadi bagian penting dalam merekam jejak keterlibatan ketiga komunitas tersebut yang selama ini konsisten menjaga dan merawat ekosistem perdamaian di Indonesia dan dunia. Bersama komunitas sosial dan keagamaan lainnya, ketiga komunitas tersebut menjadi garda terdepan dalam mencegah potensi-potensi konflik horizontal yang mengancam keamanan dan kenyamanan kehidupan masyarakat.
Di samping itu, melalui momentum akademik yang sakral ini, UIN Sunan Kaliaga juga ingin mengingatkan semua masyarakat Indonesia dan warga dunia bahwa memasuki masa-masa pemilihan umum dan gelaran politik lainnya, setiap orang harus mewaspadai adanya segregasi sosial yang disebabkan oleh perbedaan afiliasi dan pilihan yang dilandasi politik kekuasaan. Sebab, banyak kalangan yang sudah terperosok dalam kubang perseteruan dan konflik yang berakibat pada permusuhan dan bahkan pembunuhan. Satu dengan yang lain seolah tak menyadari bahwa perbedaan afiliasi dan pilihan hanyalah salah satu rangkaian hak asasi yang lazim dimiliki oleh siapapun. Namun, lantaran perbedaan itu selalu disikapi dengan energi negatif-dekonstruktif, maka setiap pihak yang tak sama selalu dijadikan lawan yang wajib dibinasakan.
Oleh karena itu, dengan hadirnya ketiga tokoh sentral dari tiga komunitas dalam mimbar akademik yang sangat terhormat ini, UIN Sunan Kalijaga ingin mensyiarkan kepada berbagai penjuru dunia akan pentingnya “kebersamaan kemanusiaan dalam perbedaan dan perbedaan kemanusiaan dalam kebersamaan” sebagai modal sosial dalam menegakkan persatuan.
Meresapi Matra Persatuan
Dalam kaitan ini, setidaknya ada empat aspek penting yang disadari oleh UIN Sunan Kalijaga mengapa persatuan harus menjadi permadani suci dalam kehidupan manusia yang harus dipahami dan dilakoni bersama. Pertama, secara geografis, di mana Negara Indonesia yang membentang dari sabang sampai merauke dengan keluwasan kawasan 95 derajat-141 derajat bujur timur dan 6 derajat lintang utara-11 derajat lintang selatan, diikat dalam satu nasib dan sepenanggungan yang setara. Hal ini sebagaimana tercatat dalam sumpah pemuda pada tanggal 28 oktober 1928 bahwa, setiap orang mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia, berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, menjunjung bahasa persatuan. Bahasa Indonesia.
Kedua, secara ideologis, persatuan dipayungi oleh sebuah “kata bersama” yang bernama pancasila. Perbedaan jarak dari sabang sampai merauke yang dilingkupi ribuan pulau dan suku, tentu harus dilapisi oleh sebuah konsensus yang bisa mengakomodasi berbagai karakter geografis. Ketika presiden Soekarno mendeklarasikan tanggal 1 Juni 1945 sebagai kelahiran Pancasila, maka setiap orang perlu belajar memahami dan menyikapi pentingnya sebuah titik lebur (melting pot) keragaman yang dilapisi persatuan (bhineka tunggal ika).
Ketiga, secara teologis, persatuan merupakan risalah ketuhanan yang termaktub dalam berbagai ajaran agama dan kitab suci yang diimani dan dipedomani masing-masing penganutnya. Setiap agama mengajarkan sebuah kerukunan yang dilandasi persatuan. Kalaupun ada perbedaan manifestasi sistem kepercayaan dalam berbagai laku spiritual dan ritual, bukan berarti menafikan persatuan. Sebab, hanya dengan persatuan sebuah bangunan akan kokoh dan sebuah ikatan akan kuat. Metafora ini bisa ditelisik dalam ajaran Islam, Kristen, Katholik, Budha, Hindu, Konghucu, dan keyakinan yang lain.
Keempat, secara sosio-antropologis, merujuk pada kajian Denis Lombard, posisi saling silang afiliasi (cross cutting affiliation) dalam kehidupan masyarakat Indonesia berdampak positif pada tumbuhnya lalu lintas aspek-aspek sosial. Dengan adanya saling silang tersebut, masing-masing orang melakukan penyerapan nilai-nilai kearifan yang dimiliki antar kelompok sekaligus mengalami campur baur identitas yang tak lagi dibatasi pada kohesi sosial yang monolitik. Dampaknya, setiap ketegangan budaya dan masalah sosial yang terjadi dapat diselesaikan secara adat dan kearifan lokal.
Keempat matra ini menjadi sebuah inspirasi bagi UIN Sunan Kaliaga untuk merawat dan menjaga persatuan dan kebersamaan dalam keragaman dan perbedaan. Dan melalui penganugerahan doctor kehormatan kepada tiga tokoh penting di NU, Muhammadiyah, dan Katolik, ada pelajaran berharga yang bisa kita resapi dan sadari tentang pentingnya cinta, rasa bersama, kemasalahatan, dan kemanusiaan ketika hidup di ruang kehidupan yang beragam.