Lockdown Kampung: Siasat Budaya Mengatasi Wabah Covid-19
Ditulis Oleh: Dr. Abdur Rozaki, M.Si
Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Prodi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Kebijakan menutup wilayah (lockdown) untuk mengatasi penyebaran pandemi Covid-19 di Indonesia menuai pro-kontra yang cukup lama. Pemerintah terkesan ragu mengambil sikap karena konsekuensi ekonomi, ketersediaan anggaran dan problem sosial lain sebagai turunannya. Namun demikian, pemberitaan media televisi, radio dan media sosial yang begitu intensif dan eksesif, terdengar kuat di dalam masyarakat sehingga menimbulkan kecemasan tersendiri. Dalam konteks itulah, warga masyarakat di kampung-kampung membuat keputusan secara mandiri, yakni membuat keputusan lockdown lokal.
Di banyak kampung di Yogyakarta, keputusan lockdown diambil sesudah pemerintah menetapkan status bencana Covid-19, pada tanggal 17 Maret 2020. Keputusan itu pun karena desakan masyarakat begitu kuat, setelah korban-korban Covid-19 di beberapa negara sudah mulai banyak berjatuhan. Sedangkan di Indonesia sendiri sudah teridentifikasi warga yang tertular Covid-19, termasuk Menteri Perhubungan, Bapak Budi Karya Sumadi. Meski sudah menetapkan status bencana, pemerintah belum cepat membuat kebijakan yang jelas dan tegas terkait cara menangani wabah Covid-19 secara sistematis. Yang ada hanya berupa himbauan untuk melakukan pembatasan sosial (social distancing), anjuran rajin cuci tangan dengan sabun, dan kampaye edukatif lainnya.
Sementara pergolakan pencengahan wabah Covid-19 di masyarakat semakin membara, salah satunya adalah isu lockdown yang tak juga memunculkan kepastian. Dalam suasana itulah, masyarakat di kampung-kampung yang sangat sensitif dan responsif atas wabah ini membuat kebijakan lockdown kampung. Lokcdown kampung dilakukan jauh hari sebelum pemerintah membuat kebijakan Pemberlakukan Sosial Berskala Besar (PSBB), pada tanggal 31 Maret 2020. Kebijakan PSBB ini sebagai bentuk menghindari kata lockdown yang dianggap lebih ekstrem, penuh beban tanggung jawab atas pemenuhan jatah hidup warga.
Jika pemerintah menghindari kata lockdown sebagai pilihan kata atau kebijakan, mengapa warga kampung justru sangat berani membuat kebijakan lockdown? Apa makna lafal lockdown bagi warga di kampung? Dari fenomena sosial yang berkembang, lafal ini sudah melampaui makna regulasi dalam aturan formal yang semestinya. Kata ini telah mengalami kontekstualisasi sesuai dengan kepentingan, fungsi, dan kegunaan di kalangan warga kampung. Spanduk-spanduk Lockdown di kampung-kampung saling bersanding pula dengan kalimat di spanduk lainnya, mulai dari lovedown kampung sampai pilihan kata satire download kampung. Bahkan ada pula yang bernuansa ekonomi, kampung lockdown: bank plecit masuk bisa benjut.
Fenomena sosial semacam ini dapat disebut pula sebagai siasat budaya yang mencerminkan kearifan lokal. Dalam konteks ini siasat budaya yang dimaksud, kebijakan lokcdown sebagai strategi warga kampung dalam mencegah penyebaran wabah Covid-19 yang dilakukan secara mandiri. Kebijakan lockdown kampung ini sekaligus juga sebagai kritik ideologi kepada pemerintah yang masih memelihara budaya birokrasi yang lamban dan penuh ketidakpastian dalam membuat kebijakan penanganan wabah Covid-19.
Bentuk Kearifan Lokal
Kebijakan lockdown kampung sebagai bagian dari siasat budaya warga di dalam mencegah penyebaran wabah Covid-19, bentuknya berupa berupa tiga pendekatan: Pertama, kontrol pengawasan wilayah. Kedua, pemantauan kesehatan warga masyarakat dan Ketiga, solidaritas sosial dan ekonomi.
Kontrol pengawasan wilayah, sebagaimana terlihat penutupan berbagai pintu masuk dan keluar kampung diintegrasikan menjadi satu pintu, sekaligus pos penjagaan yang terpasang pula dengan berbagai spanduk lockdown kampung. Pintu masuk kampung dijaga selama 24 jam, sebagaimana layaknya sistem jaga ronda berbasis RT/RW. Setiap orang yang keluar masuk dicegat untuk diberi cairan disinfektan tangannya, khususnya bagi para pengendara motor dan mobil. Ada pula kampung yang menggunakan perpaduan sensor gerak dengan tabung cairan disinfektan, sehingga siapapun yang masuk keluar kampung secara otomatis tersirami cairan tersebut.
Kontrol pengawasan semacam ini untuk memastikan jejak pelacakan kontak orang yang masuk kampung, khususnya bagi para pemudik yang datang ke kampung yang potensial menulari para keluarga dan tetangganya. Sebagaimana saat dua pemudik dari Jakarta datang ke desa saya tinggal di Yogyakarta. Yang satu orang pemudik dari Jakarta, karena tidak mau melakukan isolasi secara mandiri, akhirnya pindah ke kecamatan daerah asalnya di luar kota.
Sedangkan pemudik dari Jakarta yang satunya lagi, meski dalam keadaan sehat, saat pulang ke rumahnya, menulari Covid-19 kepada istrinya sehingga dirawat di rumah sakit. Warga kampung mengetahuinya setelah pemerintah desa memperoleh kabar dari pihak rumah sakit, bahwa terdapat warganya yang positif Covid-19. Warga kampung saling membangun solidaritas menanggung kebutuhan hidup, ketika pemerintahan desa membuat kebijakan kepada keluarga tersebut untuk melakukan isolasi secara mandiri selama 14 hari untuk mencegah penularan terhadap warga lainnya.
Melalui hasil jimpitan (iuran bulanan) kas warga, para pemuda juga melakukan penyemprotan setiap minggunya ke rumah-rumah warga untuk membasmi Covid-19 yang memungkinan menempel di pintu-pintu dan jendela rumah warga serta tempat-tempat strategis, seperti tempat peribadatan lainnya.
Yang paling problematik dalam penanganan wabah Covid-19 ini, yakni menyangkut isu-isu keagamaan, seperti penyelanggaraan shalat berjemaah dan sholat Jumat. Pada akhirnya, pengaruh fatwa ormas keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah dan yang lainnya, sangatlah berpengaruh, apakah dalam kebijakan lockdown kampung ini kegiatan keagamaan di masjid masih tetap diselenggarakan atau tidak. Melalui pendekatan musyawarah penuh kearifan, jalan moderat akhirnya menjadi pilihan bersama.
Replikasi Kearifan
Dalam suasana penuh keprihatinan akibat makin banyaknya warga yang berstatus Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien dalam Pengawasan (PDP) dan korban meninggal, disertai suasana penuh ketidakpastian akan berakhirnya pandemi Covid-19, Pemerintah sepertinya perlu banyak belajar bahkan mereplikasi tentang kearifan lokal masyarakat. Manajemen kampung dalam membuat kebijakan lockdown, memperlihatkan bentuk kearifan lokal yang yang menandai kesigapan dan kecepatan dalam membuat keputusan untuk melindungi warganya dari ancaman wabah . Warga benar-benar merasakan langsung manfaat kebijakan lockdown kampungnya.
Demi amanah konstitusi dalam upaya melindungi segala lapisan warga masyarakat, semestinya pemerintah tidak boleh kalah sigap dengan warganya di kampung-kampung. Pemerintah harus cepat dan visoner mengatasi problem yang terdapat di dalam lingkarannya sendiri, seperti konflik kepentingan antar-Kementerian dan aparat birokrasi yang kerjanya masih lamban, sebagaimana terlihat dalam pemenuhan kebutuhan alat pelindung diri kesehatan untuk para tenaga medis. Sudah cukup banyak tenaga medis yang menjadi korban Covid-19, akibat dari kelambanan kebijakan pemerintah.
Begitu juga pelaksanaan program jaring pengaman sosial, jangan sampai bantuan tersebut salah sasaran, tidak mencipatakan keadilan yang membuat suasana kondusif di masyarakat terkoyak oleh konflik bantuan program pemerintah.
Kita berharap agar jangan sampai kepercayaan rakyat memudar kepada pemerintah, karena dapat berakibat kerja-kerja penanganan wabah Covid-19 nantinya tidak efektif. Jika hal itu menggejala kuat, maka bahaya terbesar bangsa ini bukan lagi virus corona, tapi konflik kekuasaan yang makin membuat penderitaan rakyat bertambah berat.
Indonesia beruntung masih memiliki kampung-kampung teladan yang warganya penuh inisiatif, keguyuprukunan, solidaritas dan kecepatan merespons pandemi Covid-19 secara mandiri. Meski tak boleh warga kampung terus-terus melakukan mitigasi mandiri berkepanjangan. Pada akhirnya negara harus tetap hadir menjalani tugas konstitusionalnya.
Tulisan ini dimuat Juga di: arrahim.id https://arrahim.id/ary/lockdown-kampung-siasat-budaya-mengatasi-wabah-covid-19/