Talkshow Sertifikasi Halal dan Digitalisasi Pesantren menjadi Pembuka Expo Kemandirian Pesantren 2024 di UIN Sunan Kalijaga

Hari pertama Expo Kemandirian Pesantren 2024 yang diselenggarakan pada Rabu, 16/10/2024, di Halaman Gedung Poliklinik UIN Sunan Kalijaga, dimulai dengan Sosialisasi Sertifikasi Halal oleh BPJPH DIY. Anggota Satgas Halal DIY, Agus Jaelani yang bertindak sebagai narasumber mengungkapkan harapan pelaku usaha untuk mendapatkan proses sertifikasi yang mudah dan biaya yang rendah. Tidak heran tema ini diangkat, mengingat sekitar 40 booth sudah terisi oleh berbagai pondok pesantren, madrasah, dan KUA di Wilayah DIY yang memamerkan produknya.

Ia mengungkapkan bahwa Pendaftaran sertifikasi halal kini dapat dilakukan secara online melalui aplikasi Si Halal, yang tersedia di aplikasi Pusaka Kemenag dan melalui website halal.go.id. Agus menjelaskan dua cara pendaftaran: Mandiri atau Regular, Pelaku usaha bertanggung jawab penuh dan harus mengeluarkan dana untuk audit; Self Dejlir, Sertifikasi yang dibiayai oleh fasilitator, seperti BUMN dan dinas terkait. Dalam metode ini, pelaku usaha tidak dikenakan biaya. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi, antara lain: produk memiliki risiko rendah, usaha milik perorangan, skala usaha mikro kecil, proses produksi secara manual, dan bahan-bahan yang digunakan sudah dijamin kehalalannya. Agus menekankan bahwa dalam pendaftaran Self Dejlir, pelaku usaha tidak perlu membayar biaya pendamping, karena semua ditanggung pihak ketiga. Jika ada pungutan yang tidak wajar, pelaku usaha diminta melapor ke Satgas Halal Wilayah DIY.

Bahwasanya BPJPH berkolaborasi dengan LPH untuk melakukan audit produk. Saat ini di DIY sudah cukup banyak terdapat LPH, salah satunya di UIN Sunan Kalijaga, dan pelaku usaha dapat memilih LPH yang akan mengauditnya. Agus menegaskan bahwa untuk mendaftar, pelaku usaha harus memiliki NIB (Nomor Induk Berusaha), yang dapat diperoleh secara online dan gratis. Sertifikasi halal ditujukan bagi produk yang sudah diproduksi, bukan untuk yang masih berencana.

Kegiatan dilanjutkan dengan Talkshow Digitalisasi Pesantren yang disampaikan oleh KH. Labib, Pengasuh Pondok Pesantren Anwar Futuhiyah Sleman sekaligus Presiden Komisaris pesantri,com; dan Ulul Albab, Direktur aplikasi pesantri.com. KH. Labib menjelaskan bahwa pesantren adalah lembaga asli nusantara yang terus mengalami transformasi seiring waktu. Sejak tahun 2000 hingga saat ini, ada kecenderungan kuat di kalangan orang tua untuk selalu mengetahui kabar anak mereka setiap hari. Terutama bagi orang tua milenial, perhatian terhadap anak semakin intensif, dan banyak yang memanfaatkan teknologi untuk mendukung proses ini, termasuk mendaftarkan anak mereka ke pesantren. Oleh karena itu, penting bagi pesantren untuk memfasilitasi komunikasi antara wali santri dan santri melalui pemanfaatan teknologi modern.

Aplikasi pesantri.com, yang diinisiasi oleh Anwar Futuhiyyah memungkinkan wali santri untuk mengetahui kondisi anak secara real-time. Saat ini, aplikasi ini telah menjangkau 87 ribu santri dan direncanakan akan dikenakan biaya 2 ribu rupiah per bulan ke depannya. Targetnya, dalam enam bulan, jumlah pengguna mencapai 1 juta.

Ulul Albab, Direktur aplikasi pesantri.com, menjelaskan bahwa aplikasi ini awalnya dibuat untuk memfasilitasi pendaftaran santri baru tanpa harus datang ke pesantren, terutama dalam kondisi COVID-19. Seiring waktu, aplikasi ini berkembang dan kini dimanfaatkan oleh orang tua santri untuk memantau kondisi anak mereka di pesantren. Setiap santri diwajibkan untuk melakukan fingerprint sebelum melakukan kegiatan, dan notifikasi akan langsung diterima oleh wali santri.

Aplikasi ini berfungsi sebagai sistem monitoring terintegrasi yang menggabungkan tiga entitas: pesantren, pendidikan formal, dan orang tua. Selain itu, aplikasi ini juga dapat memetakan wali santri dan alumni di suatu wilayah, melakukan broadcast, serta menyajikan grafik kedisiplinan santri. Dengan demikian, aplikasi ini tidak hanya bermanfaat bagi wali santri, tetapi juga bagi pengasuh dan guru. Namun, Ulul Albab mencatat bahwa tantangan bagi pesantren dalam mengembangkan aplikasi seperti ini sering kali berasal dari dua faktor: mindset dan dana.

Sebagai langkah inovatif, Anwar Futuhiyah juga menyelenggarakan program santri coding untuk membekali santri dengan keterampilan operasional, menjadikan mereka lebih siap menghadapi dunia kerja. "Di DIY, kami bermimpi untuk memiliki pesantren coding pada tahun 2025," tutupnya. (tim humas)