Gelaran Annual International Conference on Islam, Science, and Society (AICIS+) 2025 di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok menjadi panggung penting bagi para cendekiawan muslim dari berbagai negara untuk menakar ulang peran Islam dalam menjawab tantangan global. Dari sekian banyak panelis yang hadir, dua akademisi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta turut menyumbang pemikiran bernas yang menembus isu-isu kemanusiaan dunia dan kesetaraan gender dalam bingkai budaya lokal.
Dosen Studi
Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Dr. Zulfikar Ismail, Lc., MA., tampil
dengan riset bertajuk “Strategi Terpadu untuk Perdamaian Berkelanjutan dan
Penanganan Krisis Kemanusiaan Global: Studi Kasus di Negara Konflik.”
Penelitian ini menggali bagaimana strategi terpadu dapat membangun perdamaian
jangka panjang sekaligus menangani krisis kemanusiaan di wilayah-wilayah
konflik, dengan fokus studi di Sudan, negara yang hingga kini masih bergulat
dalam pusaran perang dan trauma sosial.
Melalui
pendekatan kualitatif studi kasus, peneliti menelusuri kisah diaspora akademik
asal Indonesia yang tetap menjaga komitmen pendidikan di tengah perang. Dari
hasil wawancara dengan enam partisipan yang meliputi tiga alumni Indonesia dari
universitas di Sudan dan tiga mahasiswa yang studinya terhenti akibat konflik,
lahirlah gagasan tentang model Diaspora-Led Education Recovery (DLER).
Model ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya wadah transmisi ilmu,
melainkan juga jembatan rekonsiliasi dan simbol harapan bagi masyarakat
pascakonflik.
Tak berhenti di
sana, penelitian ini juga mengidentifikasi bahwa pembangunan ekonomi berbasis
komunitas, seperti koperasi bahan pokok, pertanian urban, dan klaster
agropolitan, berperan sebagai instrumen rekonsiliasi struktural. Melalui
aktivitas ekonomi yang inklusif, tumbuh solidaritas lintas identitas dan
semangat keadilan distributif yang memperkuat akar perdamaian sosial.
Sementara itu,
dari ranah diplomasi, peneliti merumuskan Integrated Multi-Level Diplomacy
Model (MPDM), pendekatan diplomasi berlapis yang menghubungkan keputusan
politik global dengan kebutuhan lokal. Dalam model ini, diplomasi politik,
kemanusiaan, dan sosial bergerak serempak untuk mewujudkan tata kelola
perdamaian yang berkelanjutan.
“Pendidikan,
ekonomi komunitas, dan diplomasi tidak bisa dipisahkan dalam upaya membangun
perdamaian. Ketiganya adalah satu kesatuan yang saling menopang dalam proses
rekonstruksi sosial pascakonflik,” jelasnya dalam sesi panel yang berlangsung menarik.
Jika riset
pertama mengusung tema besar perdamaian global, panel lain dari UIN Sunan
Kalijaga menawarkan pembacaan kritis terhadap persoalan keadilan gender di
tingkat lokal. Dosen Ilmu Syari’ah Fakultas Syariah dan Hukum, Dr. Sri Wahyuni,
memaparkan risetnya berjudul “Legal Transplant of Patrilineal Balinese
Customary Inheritance into Sasak Sade Lombok Society and Its Implication to
Women Struggle.”
Penelitian ini
menelusuri bagaimana sistem pewarisan adat patrilineal Bali berpengaruh kepada
masyarakat Sasak di Lombok dan berimplikasi terhadap perjuangan perempuan
memperoleh hak waris. Lombok, yang mayoritas berpenduduk Muslim, ternyata masih
mempertahankan sistem waris adat yang hanya memberikan hak kepada laki-laki, sebuah
warisan budaya dari masa kolonisasi Kerajaan Hindu Karangasem Bali.
Melalui
wawancara mendalam di Desa Sade Lombok dan di Bali, Sri Wahyuni menemukan bahwa
kedua sistem adat tersebut sama-sama menempatkan laki-laki sebagai pewaris
utama. Namun, pengaruh agama dan sejarah membuat keduanya memiliki nuansa yang
berbeda. Dalam adat Bali, sistem purusa didasari oleh ajaran Hindu dan
ritus keagamaan yang menempatkan laki-laki sebagai penjaga warisan spiritual
keluarga. Di Lombok, sistem ini lebih bersifat adat tradisional, memadukan
nilai lokal dan pengaruh sejarah kolonial Bali.
“Yang menarik,
di masyarakat Sasak, perempuan mulai memiliki kesadaran baru terhadap hak waris
mereka, terutama setelah banyak yang menempuh pendidikan tinggi dan memahami
hukum Islam,” ujarnya.
Pada kesempatan
tersebut, Sri Wahyuni memaparkan Data Mahkamah Agung yang menunjukkan bahwa di Lombok, ratusan
kasus waris diajukan ke Pengadilan Agama, sebagian besar oleh perempuan yang
menuntut haknya berdasarkan prinsip keadilan dalam hukum Islam. Angka ini
menunjukkan bahwa transformasi sosial tengah berlangsung: tradisi mulai diuji
oleh nilai-nilai kesetaraan.
Sementara di
Bali, perjuangan perempuan masih terhambat oleh ikatan budaya dan nilai
spiritual sistem purusa. Dari delapan pengadilan yang diteliti, hanya
dua kasus waris diajukan oleh perempuan, satu ditolak, satu dikabulkan. Angka
kecil ini memperlihatkan betapa kuatnya tradisi patriarkal dalam membatasi
ruang perempuan di ranah hukum adat.
Kedua
penelitian tersebut meski lahir dari
konteks berbeda, berpadu dalam semangat yang sama, yakni membangun kemanusiaan
yang berkeadilan. Di sini para dosen UIN Sunan Kalijaga membuktikan bahwa ilmu
bukan sekadar wacana, tetapi juga daya yang menumbuhkan empati dan perubahan
sosial.
AICIS+ 2025 pun
menjadi saksi, bagaimana intelektual Muslim Indonesia terus menenun gagasan
besar meliputi perdamaian, kesetaraan, dan kemaslahatan untuk kemanusiaan, (humassk)