Oleh. Rama Kertamukti (Wakil Dekan III FISHUM)
Pendirian Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini diuji oleh keberanian empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang mengajukan uji materi terkait Pasal "presidential threshold" dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Keputusan ini menandai babak baru dalam demokrasi Indonesia. Sebagai salah satu universitas Islam terkemuka, UIN Sunan Kalijaga telah membuktikan perannya sebagai pusat intelektual yang menciptakan perubahan sosial signifikan melalui aktivisme hukum para mahasiswa.
Filosofi
Perjuangan Mahasiswa: Meneropong Melalui Pemikiran Kant, Sartre, dan Arendt
Semboyan terkenal Pencerahan yang juga dianut Kant mengatakan: Sapere aude, beranilah berpikir sendiri. Dewasalah. Gunakan akal budimu sendiri. Kant mendorong kita untuk tidak selalu menyandarkan diri pada pendapat orang lain atau otoritas tertentu. Sapere aude adalah frasa Latin yang berarti "Beranilah untuk tahu"; kadang-kadang diterjemahkan menjadi "Beranilah untuk menjadi bijaksana", atau bahkan diterjemahkan menjadi "Beranilah untuk berpikir sendiri". Frasa ini pertama kali digunakan dalam First Book of Letters (20 SM) oleh penyair Romawi, Horatius. Frasa ini menjadi kekuatan bagi Empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga ini menunjukkan keberanian untuk berpikir kritis dan melawan status quo yang selama ini dipertahankan, yang membuka jalan demokrasi di 2 Januari 2025. Dalam perspektif ini, langkah mereka mencerminkan otonomi moral dan keberanian untuk menggunakan akal budi tanpa tunduk pada dogma yang telah mapan, bahkan menjadi kado luar biasa bagi almamater mereka. Sementara itu, Jean-Paul Sartre dengan filsafat eksistensialismenya menekankan kebebasan individu untuk menciptakan makna dalam kehidupan. Mahasiswa ini, dengan keberanian dan komitmen mereka, memilih untuk menjadi "subjek" dalam sejarah politik Indonesia, bukan sekadar objek yang mengikuti arus. Sartre mengingatkan, "Kebebasan adalah apa yang Anda lakukan dengan apa yang telah diberikan kepada Anda." Hannah Arendt, dalam karya-karyanya tentang ruang publik dan tindakan politik, memberikan kerangka lain untuk memahami perjuangan ini. Arendt percaya bahwa tindakan politik sejati adalah ketika individu melangkah ke ruang publik untuk berbicara dan bertindak demi kepentingan bersama. Keberanian mahasiswa ini untuk mengajukan uji materi ke MK adalah bentuk tindakan politik yang otentik dan bertujuan membangun kembali ruang demokrasi yang lebih inklusif.
Uji
Materi sebagai Jalan Transformasi Demokrasi
Keputusan MK untuk menghapus Pasal "presidential threshold" adalah hasil dari perjuangan panjang yang berakar pada debat akademik di kampus. Empat mahasiswa UIN Sunan Kalijag Yogyakart ini, yaitu Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna, menyusun permohonan uji materi dari argumen-argumen filosofis dan hukum yang mereka pelajari di Fakultas Syariah dan Hukum. Langkah mereka merupakan contoh nyata dari pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan yang membebaskan. Freire mengatakan, "Pendidikan sejati adalah tindakan yang memungkinkan individu untuk memahami dan mengubah dunia mereka." Keberhasilan mereka mematahkan "mitos keramat”, pasal "Presidential Threshold" yang sebelumnya tidak pernah dikabulkan dalam 33 permohonan sebelumnya. Keputusan ini membuka peluang lebih luas bagi kontestasi politik dan memungkinkan regenerasi kepemimpinan yang lebih inklusif. Dari perspektif mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogykarta, keberhasilan ini tidak hanya milik mereka, tetapi juga kemenangan bagi demokrasi dan rakyat Indonesia.
Dukungan
Akademik dan Solidaritas
Meskipun awalnya pihak kampus tidak mengetahui upaya hukum ini, begitu informasi tersebar, dukungan segera mengalir. Para dosen di UIN Sunan Kalijaga memberikan bantuan moral dan materiil, termasuk pendanaan untuk perjalanan ke Jakarta. Yance Arizona, seorang pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, bahkan hadir sebagai ahli secara pro bono untuk memperkuat argumen mahasiswa ini di hadapan MK. Dalam konteks pendidikan tinggi, langkah ini menunjukkan pentingnya kolaborasi antara mahasiswa dan dosen. John Dewey, dengan teorinya tentang pendidikan progresif, menekankan bahwa pendidikan harus berorientasi pada pengalaman langsung dan relevan dengan kehidupan nyata. Pengalaman mahasiswa UIN Sunan Kalijaga ini adalah contoh nyata bagaimana pendidikan bisa menjadi alat transformasi sosial. Mereka ini adalah mahasiswa sebagai agen perubahan, menjadi inspirasi untuk generasi Z. Generasi Z, yang sering dianggap pasif dalam hal politik, telah menunjukkan sebaliknya melalui tindakan-tindakan seperti ini. Keberhasilan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga mengajukan uji materi menegaskan posisi mereka sebagai agen perubahan. "Manusia adalah subjek dalam sejarah, bukan objek," kata Paulo Freire, dan ini terlihat jelas dalam perjuangan para mahasiswa. Aktivisme mahasiswa tidak hanya berhenti pada perubahan kebijakan, tetapi juga membuka ruang diskusi lebih luas tentang masa depan demokrasi Indonesia. Dalam konteks ini, peran mahasiswa UIN Sunan Kalijaga tidak hanya menginspirasi komunitas akademik, tetapi juga masyarakat luas untuk lebih aktif dalam proses demokrasi. Putusan MK yang mengabulkan permohonan mahasiswa ini juga dapat dilihat melalui lensa Hannah Arendt tentang "keberanian untuk bertindak." Dalam dunia yang sering kali diwarnai oleh kepasifan dan ketidakpedulian, langkah mahasiswa ini adalah contoh nyata bagaimana tindakan politik dapat mengubah struktur sosial dan hukum. Arendt mengatakan, "Kekuatan terletak pada tindakan bersama, bukan dalam kekuasaan individu." Keberhasilan ini juga mencerminkan pentingnya ruang publik sebagai arena untuk berdiskusi dan berdebat secara konstruktif. Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga telah memanfaatkan ruang ini untuk menyuarakan kepentingan bersama dan memperjuangkan hak-hak konstitusional mereka.