WhatsApp Image 2025-12-17 at 17.09.53(1).jpeg

Rabu, 17 Desember 2025 17:31:00 WIB

0

EMBRACING THE OTHERS: DARI REFLEKSIVITAS PERSONAL-KOMUNALIS MENUJU MASYARAKAT NASIONALIS Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Sosiologi Gerakan Keagamaan (Prof. Dr. Mochamad Sodik, S.Sos., M.Si.)

 

MOTTO

قَالُوْا سُبْحٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ اِلَّا مَا عَلَّمْتَنَاۗ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ ۝٣٢ 

Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada pengetahuan bagi kami,

selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami.

Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

 

(Surat Al-Baqarah [2], Ayat 32) 

 

SALAM PEMBUKA

 

 

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Salam Sejahtera untuk Kita Semua, Shalom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan, Rahayu

Salam PANCASILA

Yang Terhormat dan Yang Mulia:

Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Ketua dan Sekretaris Senat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Para Wakil Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Para Dekan dan Direktur di Lingkungan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Para Guru Besar dan Anggota Senat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Para Wakil Dekan, Wakil Direktur, Ketua dan Sekretaris Program Studi

Para Kepala Biro, Kepala Bagian dan Katim

Para Ketua dan Sekretaris LPPM dan LPM

Para Kepala dan Sekretaris UPT, Pimpinan Lembaga dan Pusat Studi

Para Dosen dan Tenaga Kependidikan, Keluarga dan Kerabat, Alumni dan Mahasiswa

Segenap Tamu Undangan, Hadirin Hadirat Semuanya 

Atas izin Allah SWT dan do’a serta dukungan Bapak Ibu semua, setelah saya mengabdi selama 3 dekade (30 tahun) nyaris tanda jeda hadir di UIN Sunan Kalijaga (kecuali izin 5 bulan untuk “menyepi” di the University of Goettingen Germany 15 Juli-14 Desember 2014), perkenankan saya menyampaikan pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Sosiologi Gerakan Keagamaan pada Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Pengantar 

Hadirin hadirat sekalian yang saya hormati dan muliakan,

Saya hendak memulai pidato ini dengan sebuah kegelisahan dan pertanyaan reflektif: Ada apa dengan identitas kita? Sudah seberapa berhasil gerakan keagamaan menghadirkan pembelajaran pada kehidupan kita? Mengapa kita seperti kehabisan cara menghadapi berbagai bentuk kekerasan dan persekusi terhadap kelompok-kelompok minoritas keagamaan?

Untuk menjawab semua itu, saya ingin memaparkan pengalaman dan pergulatan akademik yang menyertai perjalanan saya hingga di titik sekarang ini. Saya seperti ditakdirkan untuk mengalami dan bahkan melebur di dalam the others. The others memang bukan sesuatu yang istimewa di satu sisi, khususnya ketika dilihat secara artifisial dan permukaan belaka. Tetapi di sisi lain, ia adalah “magma” yang menyimpan kedalaman makna dan menuntut kesungguhan sikap, dedikasi dan pengorbanan, khususnya bagi kita yang melihat the others sebagai bagian dari kehidupan masyarakat yang perlu disapa, didengarkan dan diperhatikan sebagai entitas yang adil di depan hukum.

The others pertama yang saya masuki adalah pengalaman sebagai laki-laki yang aktif di Pusat Studi Wanita (PSW) sejak dosen muda. Saya yang berasal dari keluarga santri dengan struktur pengetahuan sosial yang determinan terkait relasi gender berciri khas patriarki dihadapkan dengan pengalaman baru yang saya pilih secara sadar di kampus tercinta ini. Konsep the others dalam konteks ini, pada satu sisi, bisa ditelisik dari apa yang dikembangkan oleh Beauvoir bahwa “perempuan dikonstruksi sebagai the others oleh laki-laki” (Beauvoir, 2011). Sebagai filsuf yang gigih menyuarakan kaumnya, Beauvoir harus mendapatkan kredit penting di balik kontruksi the others bagi perempuan. Pendek kata, the others adalah konstruksi patriarki dengan menempatkan perempuan sebagai objek, sebagai liyan.

Di sisi lain (dan ini yang paling memungkinkan untuk menjadi pacuan diskursif sekarang dan ke depan), konsep the others yang ingin saya hadirkan adalah dengan makna dan definisi yang lebih mencair dan menjangkau semua aspek dari social-self yang berpusat pada self (diri) dan others (orang di luar diri). Tetapi syarat mendasar di sini adalah adanya batas (boundary) antara diri dan luar diri yang konsekuensial baik di level nilai-personal dan lebih-lebih sosial. Konsekuensi yang saya maksud adalah bisa berwujud berupa adanya penolakan (atau ditolak oleh publik) dan ketegangan nilai (karena dituduh menyimpang). Dengan begitu, the others dalam konteks ini bukan seperti subjek superior-inferior seperti dalam studi poskolonialisme yang dibangun dan dinarasikan oleh Frantz Fanon (1952) maupun Edward Said (1978), bukan pula seperti yang dibayangkan Homi K. Bhabha (1994) dengan menunjukkan bahwa relasi self–other melahirkan identitas hibrid, bukan biner.

Dalam konteks gerakan keagamaan di Indonesia, the others yang paling cocok bagi saya adalah konsep subaltern-nya Gayatri Spivak (1988) yang melihat subaltern tidak hanya berbeda tapi dibungkam secara struktural. The others bisa mewujud dalam bentuk komunitas-komunitas rentan yang terdiskriminasi, kelompok-kelompok minoritas yang mengalami ketidakadilan baik di hadapan negara maupun masyarakat. Pengalaman ini membuat saya menyadari bahwa menjadi the others bukan hanya soal posisi di pinggiran, tetapi tentang bagaimana suara dipersempit, disaring, dan kerap dianggap tidak layak masuk dalam ruang publik. Dalam situasi semacam ini, ketidakadilan tidak selalu tampil dalam bentuk kekerasan terbuka, melainkan bekerja secara halus melalui regulasi, stigma sosial, dan praktik eksklusi sehari-hari. Karena itu, membaca komunitas-komunitas rentan ini tidak cukup melalui kacamata perbedaan semata, melainkan sebagai arena pertarungan wacana tentang siapa yang berhak bicara, diakui, dan dianggap sah sebagai subjek sosial.

Di PSW (sekarang dimekarkan menjadi KIJ dan P2GHA), pengalaman pertama saya dengan the others terbangun. Saya sebagai self mengalami proses penyesuaian-penyesuaian dan bahkan dekonstruksi—mulai dari pemahaman hingga ekspresi sosial dan praktik yang harus diketengahkan. Dari titik ini, pengalaman menjadi the others bukan lagi sekadar posisi teoritis, tetapi berubah menjadi posisi eksistensial yang hidup dalam tubuh dan kesadaran. Saya tidak hanya belajar tentang ketimpangan gender sebagai objek kajian, tetapi secara pelan mengalami bagaimana rasanya berdiri di ruang yang membuat identitas saya dipertanyakan, diawasi, bahkan dicurigai. Di sana, batas antara self dan others tidak lagi abstrak, tetapi hadir sebagai pengalaman emosional, sosial, dan etik. Dalam posisi ini, “menjadi the others” bukan semata tentang ditindas atau didominasi, melainkan tentang bagaimana subjek dinegosiasikan ulang melalui bahasa, sikap dan keterlibatan yang membentuk ulang cara saya memahami diri, posisi saya sebagai laki-laki, dan makna keberpihakan dalam struktur relasi kuasa yang timpang.

The others kedua adalah rihlah ilmiah yang mempertemukan saya dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Jika dihitung secara rentang waktu, perjumpaan saya dengan Ahmadiyah hampir dua dekade terakhir, sejak saya melakukan penelitian untuk disertasi Melawan Stigma Sesat. Ahmadiyah adalah kelompok minoritas yang berlumur stigma dengan beragam bentuk pengucilan, diskriminasi dan penyerangan. Pengalaman awal saya bersama Ahmadi sungguh sangat mengesankan dan sekaligus mengharu-biru, karena saya harus menyaksikan luka, tensi penyerangan, bekas-bekas kerusakan dan kebencian-kebencian yang ditimbulkan oleh konflik dan kekerasan. Pengalaman pertama ini ibarat cinta pertama saya dengan kelompok the others Ahmadiyah yang kemudian menuntun saya untuk lebih dekat lagi, bertemu dengan komunitas-komunitas Ahmadiyah di berbagai daerah di Indonesia dan manca negara.

Pergulatan batin yang paling sunyi justru muncul dari tarik-menarik antara identitas ke-NU-an yang melekat kuat dalam diri saya dengan kenyataan kemanusiaan yang saya saksikan dalam kehidupan komunitas Ahmadiyah. Sebagai bagian dari tradisi Islam arus utama yang secara historis turut membentuk wacana pembatasan terhadap Ahmadiyah, saya tidak berada dalam posisi netral, melainkan sarat dengan warisan pengetahuan, doktrin sosial, dan kebiasaan beragama yang sejak awal telah membingkai cara pandang saya. Di titik inilah the other tidak lagi sekadar berada “di luar diri saya”, melainkan hidup di dalam konflik batin saya sendiri—antara loyalitas identitas dan tanggung jawab etis untuk melihat Ahamdiyah sebagai subjek, bukan sekadar objek stigma.

Dalam perjalanan panjang itu, Ahmadiyah tidak berhenti menjadi sekadar “kasus” penelitian, namun perlahan menjelma menjadi cermin reflektif bagi kemanusiaan saya sebagai peneliti, akademisi, warga-bangsa, dan seorang Muslim sekaligus. Saya belajar bahwa jarak sosial bukan hanya dibentuk oleh struktur kekuasaan negara atau tekanan sosial mayoritas, tetapi juga oleh rasa takut, kehati-hatian, dan bahkan rasa bersalah yang tumbuh diam-diam di dalam diri. Proses mendekat kepada mereka adalah sekaligus proses mendekat kepada diri sendiri: membongkar prasangka yang diwariskan, meruntuhkan tembok batin yang lama terbangun, dan membangun ulang cara memahami iman, perbedaan, dan keadilan dalam horizon yang jauh lebih manusiawi.

Pengalaman the others ketiga adalah perjumpaan dan perkenalan saya ketika melakukan penelitian tentang pemuda-pemuda sufi urban di Yogyakarta. Fenomena urban sufism sudah mendapatkan perhatian luas di Indonesia sejak muncul dan berkembang tahun awal tahun 2000-an. Mereka menjadi the others bagi saya karena saya berada di sisi yang kontras sebagai penganut tarekat. Sementara itu, sufi perkotaan menjadi ruang ekspresi alternatif bagi masyarakat kota yang pragmatis dan tidak ingin terikat dengan praktik-praktik sebuah tarekat. Kontras ini tidak hanya membentuk jarak epistemik, tetapi juga menggugah refleksi kritis dalam diri saya tentang cara memahami keberagamaan yang diskursif, cair dalam otoritas, dan lentur dalam praksis spiritual. Perjumpaan tersebut akhirnya menggeser posisi saya dari sekadar pengamat menuju subjek yang terus-menerus dinegosiasikan dalam relasi dengan habitus religius yang berbeda.

Tantangan untuk menjangkau komunitas the others begini adalah kesiapan untuk memasang mata outsider. Kesadaran saya sebagai outsider tidak pernah sepenuhnya hilang dalam proses penelitian ini, justru menjadi perangkat reflektif yang terus bekerja sepanjang interaksi lapangan. Saya hadir bukan sebagai bagian organik dari komunitas tersebut, melainkan sebagai outsider yang membawa bagasi tradisi, otoritas, dan kerangka pengalaman religius yang berbeda. Posisi ini menempatkan saya dalam ruang ambivalen: di satu sisi membuka peluang untuk melihat praktik dan narasi urban sufism dengan jarak kritis, namun di sisi lain menuntut kewaspadaan etis agar tidak terjebak dalam sikap eksotisasi, romantisisasi, atau reduksi atas kompleksitas pengalaman spiritual mereka.

Dalam kesadaran sebagai orang luar, saya juga mengalami ketegangan epistemologis antara keinginan memahami dari dalam (emic perspective) dan keterbatasan posisi saya yang niscaya etic. Ketegangan ini justru menjadi sumber produktif bagi refleksivitas metodologis, karena memaksa saya untuk terus-menerus menegosiasikan otoritas pengetahuan: sejauh mana saya berhak menafsirkan pengalaman batin dan bentuk keberagamaan mereka, dan sejauh mana saya harus memberi ruang bagi suara mereka untuk tampil secara otonom dalam teks akademik. Dengan demikian, posisi sebagai outsider tidak saya anggap sekadar keterbatasan, melainkan sebagai kondisi metodologis yang membentuk kedalaman dan kerendahan hati dalam praktik penelitian.

Ketiga pengalaman dan pergulatan akademik yang saya tekuni hingga detik ini menjadi pilar dan sekaligus mercusuar yang memperkaya rekam jejak pergulatan personal maupun profesional saya di bidang Sosiologi Gerakan Keagamaan. Dari sana tumbuh kesadaran bahwa kerja intelektual tidak pernah steril dari luka, simpati, dan kegelisahan eksistensial yang mengiringinya. Setiap riset bukan sekadar produksi pengetahuan, melainkan juga laku etik yang menuntut keberanian untuk terus memperbaharui cara pandang. Pada akhirnya, saya memahami bahwa posisi saya sebagai peneliti tidak pernah berdiri di luar sejarah dan relasi kuasa, melainkan selalu terikat pada tanggung jawab moral untuk merawat kemanusiaan dalam setiap pembacaan atas “yang lain”.

Sampai di sini, dalam pidato di podium yang terhormat ini, saya menawarkan tiga formulasi dari problem sosial masyarakat kita. Tiga hal yang saya angkat ini adalah sublimasi pengalaman dan kiprah akademik saya, yaitu dari problem personalitas, komunalitas, menuju masyarakat nasionalis. Yang terakhir ini adalah tawaran saya untuk menjadi simpul bagi kita bersama sebagai warga negara yang menjunjung kebersamaan dan solidaritas satu nusa satu bangsa.

Hadirin Hadirat yang saya hormati dan muliakan,

Sebelum seorang akademisi, saya adalah persona dengan kekuatan diri-aktor-sosial yang berkesadaran dan rasional. Weberian membentuk saya sebagai aktor sosial yang rasional dengan mempertimbangkan makna subjektif sekaligus. Artinya, secara perlahan saya berpijak pada verstehen (pemahaman interpretatif) yang menekankan pentingnya pemahaman atas makna subjektif yang dilekatkan aktor pada tindakannya. Meskipun begitu, sosiologi memang tidak terlalu menempatkan diri-aktor sebagai kekuatan kajiannya, lebih-lebih mazhab klasik yang kita kenal dengan positivisme, strukturalisme dan terutama fungsionalisme struktural. Tetapi, saya juga perlu melirik mazhab dan aliran lain yang dikenal sebagai kelompok mikro dalam sosiologi, yaitu mereka yang berfokus pada studi tentang behaviorisme sosial, tentang self dan manajemen diri, tindakan sosial, hingga eksistensi dan peran aktor dalam dunia sosial mereka.

Kesadaran akan diri sebagai aktor sosial membuat saya melihat bahwa objektivitas ilmiah bukanlah keadaan bebas nilai, melainkan posisi reflektif yang terus dinegosiasikan dengan berbagai pertimbangan rasional. Hal ini senada dengan ​​konsep reflexive sociology Bourdieu & Wacquant (1992) yang menekankan pentingnya refleksivitas epistemologis, di mana peneliti harus secara kritis merefleksikan posisi sosialnya sendiri dan bagaimana hal itu mempengaruhi produksi pengetahuan. Di sisi lain, rasionalitas Weberian yang membentuk orientasi intelektual saya tidak berhenti pada kalkulasi tujuan dan sarana atau rasionalitas instrumental (zweckrationalität), tetapi juga menyentuh ranah nilai atau rasionalitas yang berorientasi pada nilai (wertrationalität), emosi afektif, dan tradisi yang mengendap dalam tubuh dan habitus saya. Di titik ini, saya memahami bahwa tindakan sosial bukan sekadar reaksi atas struktur, sistem dan norma-norma, melainkan proses pemaknaan yang hidup, di mana subjektivitas aktor menjadi medan penting bagi lahirnya perspektif sosiologis yang lebih peka terhadap kompleksitas pengalaman manusia.

Ketertarikan saya pada tradisi mikro dalam sosiologi semakin menegaskan bahwa dunia sosial sesungguhnya dibangun dari interaksi sehari-hari yang tampak remeh, namun sarat makna. Pemikiran tentang self dalam tradisi interaksionisme simbolik, manajemen kesan ala Goffman, serta refleksi eksistensial tentang tindakan dan kehadiran aktor dalam dunia sosial mendorong saya untuk tidak memandang individu semata sebagai “produk” struktur. Sebaliknya, saya melihat aktor sebagai subjek aktif yang mampu menafsirkan, melawan, merundingkan, dan bahkan meretakkan batas-batas struktur yang membingkai hidup mereka, termasuk dalam pengalaman keagamaan, identitas, dan relasi dengan the others.

Sebagai bagian dari refleksi sekaligus pijakan penting di sini adalah kritik Amartya Sen (2006) tentang the illusion of singular identity (ilusi identitas tunggal). Sen memastikan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang tunggal dan tetap, melainkan bersifat majemuk, dinamis, dan kontekstual. Saya menyadari, seperti juga hadirin sekalian yang terhormat, bahwa kita yang berada di sini memiliki banyak identitas sekaligus: identitas agama, kebangsaan, kelas sosial, gender, profesi, bahasa, dan orientasi etis. Di waktu bersamaan, identitas sangat reflektif, setiap individu memiliki berbagai afiliasi sosial sekaligus dan secara rasional dapat memilih identitas mana yang ingin ditekankan dalam situasi tertentu. Inilah kita dengan identitas majemuk (plural identity) dan sekaligus karena setiap identitas memiliki tuntutan peran yang berbeda-beda. Kita mempunyai kapabilitas diri dan komitmen yang mendorong kita untuk memiliki kemampuan dalam melintasi berbagai afiliasi sosialnya sembari mempertahankan kemandirian identitas personalnya. 

Figure 1: Transisi Menuju Masyarakat Nasionalis. Karya Pribadi (2025)

Dengan demikian, dalam perjalanan reflektif ini, saya menelisik tiga tipologi fenomena sosial masyarakat yang saling terkait: (1) Masyarakat egois dengan fokus menelisik aspek-aspek personalitas refleksif yang mementingkan pembentukan identitas diri dalam relasi dengan kehidupan sosial; (2) Masyarakat komunal sebagai bentuk solidaritas kolektif; dan (3) Masyarakat nasionalis (tanpa isme) sebagai simpul kebersamaan yang mengatasi dua kategori sebelumnya. Bagi saya, tipologi fenomena sosial tersebut menjadi proyek refleksif yang terus-menerus dikonstruksi melalui interaksi dengan lingkungan sosial (Giddens, 1991). Pada tahap masyarakat nasionalis (mesti saya tidak pada “isme” sebagai paham bahkan dogma), bingkai imagined communities-nya Anderson diperlukan untuk menjelaskan bagaimana nasionalisme terbentuk dari komunitas-komunitas terbayang yang mengikat individu-individu dalam kesadaran kolektif, meskipun mereka tidak saling mengenal secara personal. Transisi dari personalitas ke komunalitas, dan akhirnya ke kesadaran nasionalis, menunjukkan proses dialektis antara individualitas dan kolektivitas dalam pembentukan identitas sosial (Anderson, 2006).

Personalitas Refleksif (Reflexive Personality)

Saya meyakini bahwa aktor sosial—dan variasi-variasi lain dalam terminologi sosiologis seperti social self—mempunyai sarana untuk mengubah dan mentransformasikan pengalaman diri dalam struktur dan sistem sosial masyarakatnya.  Personalitas aktor di sini memang kompleks. Para sosiolog juga tidak ada henti meramu dan merumuskan pendekatan-pendekatan untuk mengukur dan mengejawantahkan peran dan fungsinya dalam arena sosial masyarakat. Satu di antara banyak pendekatan dalam sosiologi mikro adalah eksistensi refleksivitas, yaitu kemampuan individu atau kelompok untuk secara sadar merefleksikan diri sendiri, posisi sosialnya, asumsi-asumsi yang dimiliki, serta dampak dari tindakannya dalam hubungan dengan orang lain dan struktur sosial di sekitarnya. Dalam konteks ini, refleksivitas berarti kesediaan peneliti atau aktor sosial untuk mengkritisi cara pandangnya sendiri, menyadari bias, privilege, dan keterbatasan yang melekat pada dirinya.

Secara sosiologis, refleksivitas juga dipahami sebagai proses dialektis antara diri (self) dan masyarakat, di mana individu tidak hanya bertindak dalam struktur, tetapi juga terus-menerus menafsirkan ulang pengalaman dan posisinya. Dalam bahasa lain, diri (self) mengejawantah sebagai individu yang secara sadar mengelola presentasi diri dalam interaksi sosial. Diri seolah tercermin dalam dramaturgi yang memandang interaksi sosial sebagai pertunjukan (performance), di mana berupaya menciptakan kesan (impression management) yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan (Goffman (1959). Anthony Giddens (1991) menyebut refleksivitas diri (reflexive self-identity) sebagai ciri utama individu dalam modernitas, yakni kemampuan manusia modern untuk terus memantau, mengevaluasi, dan membentuk ulang praktik sosialnya berdasarkan pengetahuan baru.

Sampai di sini, saya menyadari ada diri-aktor yang membuka dan diri-aktor yang menutup terhadap dunia sosial mereka masing-masing. Deskripsi ini persis seperti yang diformulasikan oleh Luhmann (1995) terkait sistem terbuka dan sistem tertutup ketika memformulasikan teori sistem medio tahun 1980-an. Dalam kerangka ini, individu tidak dipahami sebagai entitas pasif, melainkan sebagai sistem psikis yang secara selektif memproses kompleksitas lingkungan melalui mekanisme reduksi kompleksitas. Karena itu, keterbukaan dan ketertutupan bukanlah kondisi normatif, melainkan modus operasional yang menentukan bagaimana subjek membangun batas-batas makna dan relasi sosialnya.

Jika diri-personal diibaratkan sebuah sistem sosial, dalam dirinya justru menyimpan kompleksitas sistemik itu sendiri. Atau jika memintan istilah Amartya Sen (2006), bahwa manusia memiliki identitas majemuk (plural identity), yakni sebuah identitas yang competing identities karena setiap identitas memiliki tuntutan peran yang berbeda-beda. Hal yang sama juga disebutkan oleh Amin Abdullah bahwa manusia sejak dalam diri sudah mencerminkan identitas yang plural (Abdullah, 2020). Yang patut menjadi pertanyaan-pertanyaan adalah: Bagaimana fungsi kognitif bekerja pada diri-aktor memutuskan tindakan, apa saja faktor yang menentukan keputusan memilih, apa habitus mereka, bagaimana kesedian membuka diri, kenapa muncul keketatan dalam bergaul, dan terakhir, apa dan siapa yang mengontrol sebuah tindakan?

Problem diri-aktor ini bisa ditarik jauh ke contoh-contoh nyata dalam kehidupan kita, misalkan, kenapa diri-aktor yang tumbuh dalam determinasi menjadi sosok “profesional” cenderung menutup diri dari dunia sosial, susah untuk mendengarkan masukan dari orang lain di luar ranahnya? Kenapa mereka yang tumbuh mapan dalam kultur masyarakat urban sangat sulit untuk membuka diri pada dunia sosial (di luar kelas sosial mereka)? Bagaimana refleksivitas lahir dan berkembang bagi mereka? Pada titik ekstrim, ada kelompok sosial yang asosial dan nyata apa adanya. Mereka bertumbuh dan membesar menjadi kelompok tersendiri, baik mengelompok secara segmentatif sesuai kebutuhan maupun benar-benar membatasi diri dari dunia sosial. Pertanyaan utama atas semua itu adalah apakah kita membutuhkan etika profesional untuk mengatasi keterputusan kelompok tersebut dari masyarakatnya?

Apa yang saya sebutkan sebagai kelompok profesional ini sebenarnya sudah menjadi sorotan Emile Durkheim melalui sebuah buku penting yang relatif jarang dikutip, yaitu Professional Ethics and Civic Morals (1958). Argumen Durkheim sangat fundemental sekaligus urgen bahwa masyarakat modern membutuhkan landasan moral baru, terutama di tengah proses diferensiasi sosial dan melemahnya struktur tradisional. Moralitas baru ini harus muncul melalui: Etika profesional (professional ethics) dan moral kewarganegaraan (civic morals/civic ethics). Durkheim menilai bahwa pembagian kerja modern berisiko menghasilkan individualisme egoistik.

Figure 2: Fondasi Teoretik Menuju Masyarakat Nasionalis. Karya Penulis Elaborasi dari Karya-karya Durkheim (2025

Perlu dicatat, dalam konteks penyebutan saya terkait kelompok profesional di sini, saya menyadari bahwa masyarakat modern telah membentuk fungsi bagi para profesional, bagian dari konsekuensi logis dari proses division of labour, dan sebagian besar institusi mengharapkan mereka untuk hadir dan menjalankan perannya (Myers, 2010). Artinya, dibaca dalam konteks struktural, eksistensi mereka adalah bagian dari kompleksitas sistem sosial yang harus ada dengan fungsi dan perannya masing-masing.

Namun demikian, catat Durkheim, kelompok ini harus diikat dengan moral dan etika—mulai dari etika profesional hingga moral kewargaan, sehingga terbentuk yang nanti saya sebut dengan “masyarakat nasional”.

Sampai di sini, saya tidak hendak menjawab problem “inisiatif personal” ini dengan jawaban-jawaban psikologis. Tetapi jawaban sosiologis yang saya ketengahkan di sini (dengan meleburkan ekstrim struktur dan ekstrim aktor) selalu mengarah pada satu simpul: bahwa pengalaman membentuk disposisi; pilihan rasional diri-aktor menentukan tindakan; jaringan sosial berperan menyediakan ruang interaktif; dan sampai modal-modal sosial dan budaya memperkuat posisi dan praktik diri-aktor. Tindakan sosial selalu merupakan hasil dialektika terus-menerus antara struktur yang membatasi sekaligus memampukan, dan agensi yang merefleksikan serta mentransformasikan kondisi-kondisi sosial tersebut. Artinya, dunia sosial kita membutuhkan kepekaan dan keterlibatan semua elemen.

Problem Komunalitas

Dari problem personalitas dan diri-aktor tersebut, saya hendak menarik transisi pemikiran saya pada aspek komunalitas, yaitu diri-aktor yang ditempatkan secara kolektif. Cara pandang begini sangat identik dengan paradigma Durkheimian yang kemudian berkembang dengan variasi teori di kemudian hari, terutama yang dominan menjadi fungsionalisme struktural (Parsons, 1937, 1951). Dalam horizon ini, kesadaran individu tidak pernah sepenuhnya berdiri otonom, melainkan selalu teranyam dalam jalinan norma, nilai, dan ekspektasi kolektif yang membentuk horizon makna bersama. Dengan demikian, diri-aktor bukan lagi sekadar subjek yang “bertindak”, tetapi juga badan sosial tempat masyarakat “hidup” dan bekerja secara simbolik.

Diri-aktor sosial yang komunal adalah pilihan sadar individu untuk menempatkan dirinya di dalam jaringan kehidupan kolektif, yaitu dengan menghidupi, berpikir, dan bertindak dalam struktur komunalitas yang telah dilembagakan oleh sistem sosial tertentu. Tipe masyarakat komunal adalah bentuk kehidupan sosial di mana relasi antar individu diikat oleh rasa kebersamaan, solidaritas mekanik, dan ikatan moral yang kuat, sehingga identitas personal seringkali didefinisikan melalui keanggotaan pada kelompok, tradisi, dan norma bersama (Durkheim, 1893; Bellah et al., 1985). Dalam konteks ini, subjek tidak berdiri sebagai entitas otonom, melainkan sebagai bagian dari “kami” sosial yang terus-menerus dinegosiasikan melalui ritus, simbol, dan praktik sehari-hari, sehingga pilihan menjadi aktor komunal sekaligus merupakan pilihan etis untuk tunduk, berpartisipasi, dan bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kehidupan kolektif.

Pilihan menjadi diri-aktor komunal secara reflektif juga mengandung ambiguitas moral dan sosiologis. Di satu sisi, keterikatan pada komunitas menghadirkan rasa aman ontologis, kepastian identitas, dan kehangatan solidaritas sebagaimana digambarkan Durkheim dalam konsep solidaritas mekanik, dimana kohesi sosial lahir dari kesamaan nilai dan kesadaran kolektif (Durkheim, 1984). Namun di sisi lain, komunalitas juga berpotensi membatasi otonomi individu, menstandarisasi cara berpikir, dan menekan diferensiasi personal. Dalam pengertian Bourdieu, subjek yang hidup dalam medan sosial tertentu tidak pernah sepenuhnya bebas, karena habitus kolektif telah lebih dulu bekerja dalam tubuh, pikiran, dan selera mereka (Bourdieu, 1990). Refleksi ini membawa saya pada kesadaran bahwa menjadi aktor komunal bukan sekadar pilihan sosial, tetapi juga proses panjang internalisasi struktur yang kerap berlangsung laten, pelan, dan nyaris tak disadari.

Masyarakat komunal memang menyimpan dilema dan paradoks, khususnya ketika feeling in-group, ikatan sosial yang eksklusif, dan sistem sosial tertutup mengontrolnya. Problem ini juga menjadi tantangan serius bagi negara-bangsa di mana kekayaan identitas, budaya, kelompok sosial dan masyarakat multikultural menjadi sunnatullah, sebuah keniscayaan. Beragam ketegangan, konflik sosial dan bahkan kekerasan masif terlahir dari realitas semacam ini, yaitu ketika masyarakat sendiri gagal menciptakan kesadaran hidup sebagai masyarakat interkultural dan multikultural. Apa yang secara luas kita kenal dengan “pengerasan identitas” bisa semakin subur bertumbuh dalam masyarakat dengan tingkat eksklusivitas yang tinggi, baik “eksklusif-kolektif” maupun dari “eksklusif-personal”. Eksklusif-kolektif adalah terma untuk sebuah kelompok komunal maupun sosial yang merasa paling benar dan paling kuat; ada truth claim pada diri kelompok tertentu di atas kelompok lain. Sementara eksklusif-personal adalah mereka yang memandang dirinya tidak butuh orang atau kelompok lain, sehingga menjadi permisif, apatis dan bahkan asosial.

Refleksi lebih jauh menunjukkan bahwa dilema masyarakat komunal tidak sekadar terletak pada kuatnya ikatan sosial, melainkan pada ketiadaan mekanisme refleksivitas kolektif yang mampu mendekonstruksi klaim kebenaran tunggal dalam ruang publik. Dalam konteks ini, identitas yang semestinya bersifat cair dan dialogis justru membeku menjadi kategori-kategori esensialis yang kaku, sehingga batas “kami” dan “mereka” berfungsi sebagai tembok simbolik yang melegitimasi eksklusi dan bahkan kekerasan moral. Proses inilah yang dalam literatur dikenal sebagai reifikasi identitas (Berger & Luckmann, 1991) dan produksi imagined purity dalam komunitas terancam (Bauman, 2001). Tanpa hadirnya etika pengakuan (ethics of recognition) dan politik multikulturalisme yang matang, masyarakat berisiko terjebak dalam spiral konflik laten, di mana solidaritas internal justru dibangun melalui normalisasi kecurigaan dan dehumanisasi terhadap “yang-lain” (Taylor, 1994; Honneth, 1995). Dalam horizon yang lebih luas, situasi ini menuntut pergeseran paradigma dari sekadar kohesi sosial menuju kompetensi interkultural sebagai prasyarat moral bagi keberlanjutan masyarakat plural (Parekh, 2000; Habermas, 1996).

Saya merasakan betul paradoks demi paradoks komunalitas ini. Pergulatan saya dengan kelompok minoritas Ahmadiyah menjadi semacam proses radikal—baik secara akademis maupun praktis—untuk mencarikan formulasi bagaimana kehidupan masyarakat kita melampaui semua persoalan identitas, alih-alih problem eksklusif-personal dan eksklusif-komunal, dengan mencarikan landasan inklusif untuk kebersamaan sebagai satu bangsa dan negara. Dalam proses ini, saya semakin menyadari bahwa identitas bukanlah entitas yang statis, melainkan konstruksi sosial yang terus dinegosiasikan melalui relasi kuasa, wacana dominan, dan pengalaman marginalitas (Berger & Luckmann, 1991; Foucault, 1980). Pergulatan ini juga membuka kesadaran bahwa keterlibatan dengan kelompok minoritas menuntut etika pengakuan (ethics of recognition), di mana keadilan sosial tidak hanya diukur dari kesetaraan hak formal, tetapi dari penghargaan terhadap martabat serta narasi hidup kelompok yang terpinggirkan (Taylor, 1994; Honneth, 1995). Pada level yang lebih dalam, pengalaman ini mengukuhkan keyakinan saya bahwa kebersamaan dalam negara-bangsa multikultural hanya mungkin terwujud melalui transformasi imajinasi sosial—dari politik homogenitas menuju pluralisme reflektif yang menjadikan perbedaan sebagai sumber solidaritas, bukan ancaman (Habermas, 1998; Parekh, 2000).

Pengalaman refleksif dalam berinteraksi dengan komunitas Ahmadiyah tidak hanya membuka lapisan-lapisan ketegangan sosial yang kasat mata, tetapi juga memperlihatkan bagaimana negara-bangsa modern terus diuji oleh kegagalannya memaksimalkan etika kewargaan (civic ethics) di atas fondasi identitas primordial. Dalam konteks ini, pergulatan tersebut dapat dibaca sebagai upaya praksis untuk melampaui politik perbedaan yang bersifat defensif menuju horizon “pluralisme substantif”, yaitu sebuah kondisi di mana keberagaman tidak sekadar ditoleransi, tetapi diakui sebagai sumber daya moral bagi kohesi sosial (Habermas, 1998; Parekh, 2000). Refleksi ini juga bersinggungan dengan gagasan “agonistic democracy” yang melihat perbedaan bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai energi demokratis yang harus dikelola melalui ruang dialog yang adil dan setara (Mouffe, 2005). Dengan demikian, keterlibatan dengan komunitas minoritas bukan hanya menjadi kerja empirik, tetapi juga kerja etis dan epistemologis untuk merumuskan ulang imajinasi kebangsaan yang berpijak pada keadilan pengakuan dan solidaritas lintas-identitas (Taylor, 1994; Honneth, 1995).

Pada titik inilah refleksivitas menjadi penting, karena ia membuka ruang kritis bagi individu untuk menegosiasikan posisinya di dalam komunitas tanpa harus sepenuhnya tercerabut darinya. Giddens menjelaskan bahwa dalam modernitas lanjut, individu semakin terlibat dalam proyek reflektif atas dirinya sendiri—yakni terus meninjau ulang relasi antara tradisi, struktur sosial, dan identitas personal (Giddens, 1991). Dalam kerangka Archer, proses ini dapat dipahami sebagai internal conversation, di mana subjek berdialog dengan dirinya sendiri untuk menilai apakah loyalitas komunal tersebut masih selaras dengan proyek hidup dan kesadaran etisnya (Archer, 2003). Dengan demikian, diri-aktor komunal semestinya bukan melulu figur pasif yang hanya “tunduk” pada norma kolektif, melainkan subjek reflektif yang terus-menerus menimbang antara kebutuhan akan kebersamaan dan tuntutan akan kebebasan batin. 

Formasi Masyarakat Nasionalis

Apa yang saya sebut dengan “mencarikan landasan inklusif untuk kebersamaan sebagai satu bangsa dan negara” adalah sebuah proyeksi, yaitu dengan menghadirkan masyarakat nasionalis (tanpa “isme”). Dengan bahasa lain, dapat dikatakan sebagai imajinasi kebangsaan yang bersifat sipil-inklusif, bukan etno-kultural, dengan membayangkan praktik diskursif yang memungkinkan kebersamaan yang setara dalam penafsiran nilai dasar bersama (Anderson, 2006; Taylor, 2004). Proyeksi ini terbentuk dari bentangan pengalaman dan perjalanan akademik, dari satu studi ke studi lainnya, dari observasi terlibat yang memungkinkan terjadinya kesadaran ontologis terkait formasi masyarakat ideal demi tersemainya solidaritas sosial yang seutuhnya. Formasi ini tentu saja tidak mudah, tetapi munculnya kesadaran semacam ini yang memupuk tunas-tunas bangsa di masa depan dapat menciptakan ruang diskursif yang mewarnai masa depan kita secara lebih meyakinkan. Semua ini berkelit-kelindan dengan pengalaman masa lalu saya.

Jika mengengok ke pengalaman hidup saya sendiri di masa lalu, kesadaran keberagamaan dan kebangsaan saya sebenarnya tidak terlahir secara instan, dan justru inilah yang menjadi fondasi kokoh di masa depan. Saya belajar agama sewaktu habis subuh di masjid kepada ulama Muhammadiyah, mengaji sore dan malam hari di madrasah kepada kiai Nahdlatul Ulama (NU), pergaulan sehari-hari berteman dengan anak-anak keturunan Tionghoa, dan di tingkat pendidikan formal sekolah dasar berguru kepada kelompok priyayi dan abangan (meminjam istilah Clifford Geertz). Pengalaman ini saya sadari sekarang sebagai pergulatan menuju kesadaran nasionalis itu.

Kenapa saya mengedepankan terma “nasionalis” sebagai kata sifat daripada menjadi paham yang ekslusif? Kesadaran saya terletak pada terbentuknya ruang fleksibilitas, arena kontingensi, dan dialogis diantara diri-aktor maupun komunalitas dan kelompok sosial yang dapat didialogkan demi kepentingan yang lebih luas: sebagai satu bangsa. Satu bangsa di sini menjadi simpul pengikat di mana semua identitas dilepas demi menyatu dan bersatu untuk kepentingan nusa dan bangsa. Meski demikian, etos ini dapat bekerja dengan tiga pola: pertama pada ranah imajinasi kolektif, “satu bangsa” menjelma menjadi horizon sipil-inklusif yang memungkinkan ko-eksistensi lintas identitas melalui praktik kebangsaan sehari-hari yang terbebas dari normalisasi kebersamaan tanpa menuntut homogenisasi (Billig, 1995; Anderson, 2006; Kohn, 2005).

Tataran kedua adalah pada level relasi sosial-politik yang menegasikan “groupisme” yang membatu, melainkan dengan mendorong pengertian identitas sebagai realitas yang terkontrol, berlapis, dan dapat dinegosiasikan melalui interaksi antar-aktor dan antar-komunitas (Brubaker, 1996, 2004; Connolly, 2002); dan ketiga terletak pada level institusional yang mendesain ruang publik deliberatif yang membuka partisipasi yang setara, mengakui counterpublics, dan melegitimasi perbedaan sebagai energi yang produktif dalam aras produksi kolektif (Fraser, 1990; Benhabib, 2002; Mouffe, 2000). Dengan demikian, “nasionalis” sebagai kata sifat adalah tata kelola ke-Indonesia-an yang berporos pada alasan publik dan keadilan inklusif, bukan loyalitas dogmatis yang sempit. Rasionalitas publik menyediakan titik temu lintas pandangan komprehensif (Rawls, 1993), sementara teori nasionalisme liberal menegaskan bahwa keterikatan kebangsaan dapat menjadi sumber solidaritas sipil tanpa mengabaikan hak-hak minoritas (Tamir, 1995, 2019; Kymlicka, 1995). 

Gagasan “nasionalis tanpa isme” ini dapat dipahami sebagai upaya membangun bentuk kewargaan refleksif (reflexive citizenship) yang tidak terjebak pada nasionalisme eksklusif, melainkan berpijak pada etika kebersamaan yang terbuka dan deliberatif. Di sini, bangsa tidak diperlakukan sebagai entitas primordial atau sakral yang membekukan identitas, melainkan sebagai proyek sosial yang terus dinegosiasikan melalui praktik dialog, pengakuan timbal balik, dan solidaritas lintas perbedaan (Anderson, 2006; Habermas, 1996). Dengan menempatkan “satu bangsa” sebagai simpul etik alih-alih dogma ideologis, ruang publik justru menjadi arena kontestasi produktif, dimana perbedaan tidak dihapus, tetapi ditransformasikan menjadi sumber kohesi sosial (Mouffe, 2005; Parekh, 2000).

Dengan demikian, “nasionalis” sebagai kata sifat ini tidak lain ruang yang perlu ditata sebagai lanskap ke-Indonesia-an yang berporos pada publik dan keadilan inklusif, bukan loyalitas ideologis yang sempit. Rasionalitas publik menyediakan titik temu lintas paradigma yang komprehensif (Rawls, 1993), karena bertolak dari konsep nasionalitas terbuka yang menandaskan keterikatan kebangsaan yang menjadi sumber solidaritas sipil tanpa menegasikan hak-hak minoritas (Tamir, 1995, 2019; Kymlicka, 1995). Dalam kerangka ini, nasionalitas hadir bukan sebagai alat homogenisasi, melainkan sebagai horizon moral yang memungkinkan pluralitas hidup berdampingan secara setara dalam imajinasi politik bersama.

Saya menawarkan “ruang nasionalis” ini karena ia tidak membutuhkan dogma eksklusif yang dalam banyak praktik disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan. Ruang ini justru mensyaratkan etika keterbukaan yang memungkinkan setiap kelompok hadir sebagai subjek setara dalam percakapan publik. Di dalamnya, loyalitas pada bangsa tidak diproduksi melalui indoktrinasi, melainkan melalui pengalaman konkret berbagi nasib, tanggung jawab, dan cita-cita kolektif. Dengan cara inilah nasionalitas bekerja sebagai horizon etis yang mengikat tanpa memenjarakan, menyatukan tanpa menghapus keberagaman.

Dari berbagai studi dalam kerja-kerja akademik yang saya lakukan sepanjang ini, dengan landasan-landasan pemikiran dari para ilmuwan sosial humaniora yang berfokus pada multikulturalisme, kewargangaraan dan khususnya nasionalitas, saya mempunyai elemen-elemen konstitutif yang melandasi masyarakat nasionalis (tanpa isme). Gambar berikut ini menjadi panduan untuk merumuskan apa yang saya tawarkan. Semua indikator yang saya kemukakan ini adalah hasil elaborasi dari para teoritikus raksasa di atas.

Figure 3: Fondasi masyarakat nasionalis. Karya pribadi (2025)

 Saya perlu memberikan penjelasan lebih detail terkait elemen-elemen dasar masyarakat nasionalis yang saya tawarkan dalam Figure 3. Level kesadaran identitas saya tempatkan pertama untuk memastikan bahwa kita sebagai negara-bangsa perlu mempunyai kesadaran esensial tentang identitas, karena problem sosial dan bahkan konflik kerap kali dipicu oleh kegagalan kita dalam mengelola identitas. Ada tiga unsur penting pada level kesadaran identitas: (1) Inklusif secara identitas, yaitu tidak mensyaratkan keseragaman etnis, agama, budaya, atau pandangan politik sebagai prasyarat keanggotaan dalam komunitas kebangsaan; (2) Anti-esensialis dalam memahami identitas, dengan cara menolak pandangan bahwa identitas bersifat tetap, murni, dan tak berubah; melihatnya sebagai cair dan relasional; dan (3) Pengakuan timbal balik, yaitu setiap individu dan kelompok dipahami sebagai subjek bermartabat yang berhak atas pengakuan, tanpa harus menanggalkan identitas kultural, agama, atau sosialnya secara represif.

Diskursus identitas pada gilirannya perlu dibingkai dalam kesadaran etis, dengan mengedepankan: (1) Kesadaran kebangsaan sebagai horizon etis: kebangsaan dipahami bukan sebagai ideologi tertutup, melainkan sebagai orientasi moral bersama yang mengarahkan tindakan individu dan kolektif pada kepentingan publik dan keutuhan sosial; (2) Ruang dialogis sebagai infrastruktur sosial: tersedianya ruang deliberatif di mana perbedaan identitas, kepentingan, dan posisi sosial dapat dipertemukan secara setara melalui dialog, bukan dominasi; (3) Loyalitas afektif non-dogmatis: keterikatan terhadap bangsa dibangun melalui pengalaman hidup bersama, solidaritas sehari-hari, dan tanggung jawab sosial, bukan melalui doktrin eksklusif); dan (4) Berbasis etika, bukan dogma: bertumpu pada nilai-nilai moral publik (keadilan, solidaritas, pengakuan), bukan pada doktrin tertutup.

Dua kesadaran tersebut (identitas dan etis) membutuhkan tindakan sebagai kesadaran praktik. Level kesadaran praktik ini perlu ditopang melalui: (1) Solidaritas sebagai praktik, bukan slogan, di mana kebersamaan diwujudkan dalam tindakan konkret (gotong royong, advokasi sosial, perlindungan kelompok rentan), bukan sekadar simbol atau ritual kebangsaan; (2) Nasionalitas sebagai proyek sosial yang terbuka, yaitu dengan memahami bangsa sebagai konstruksi historis yang terus dibentuk ulang melalui partisipasi warga, bukan sebagai entitas final yang kebal terhadap kritik; (3) Refleksif secara sosial dengan mampu mengkritik dirinya sendiri, termasuk mengoreksi bentuk-bentuk eksklusi, diskriminasi, dan dominasi atas nama persatuan; (4) Deliberatif secara politik, yaitu mengutamakan musyawarah, dialog publik, dan negosiasi terbuka dalam menyelesaikan konflik sosial; (5) Rule of law, yaitu praktik serius bagi negara bangsa yang harus dibangun atas hukum, bukan kekuasaan arbitrer yang otoriter, dan (6) Resisten dan kritis terhadap instrumentalisasi kekuasaan. Poin terakhir ini menjadi elemen penting agar praktik ini tidak mudah dimobilisasi oleh elite politik yang menggunakan simbol-simbol kebangsaan untuk reproduksi dominasi.

Akhirnya, sebagai contoh praktis dan implementatif dari apa yang saya diskusikan dalam pidato ini, saya coba membuatkan contoh tabel analitis tentang kasus Ahmadiyah pada tiga level: personalitas, komunalitas, dan masyarakat nasionalis.

Level Analisis

Deskripsi

Fokus

Contoh Kasus

Ahmadiyah

AnaliSis & Implikasi Teoretis

 

Personalitas (Diri-Aktor)

 

Bagaimana individu Ahmadi menyusun identitas, keyakinan, dan pilihan rasional dalam merespons stigma, diskriminasi, atau relasi sosial sehari-hari. Hak asasi sebagai warga negara muncul sebagai kekuatan

(Sodik, 2015, 2020, 2024).

 

- Individu Ahmadi memilih tetap mempertahankan keyakinan teologisnya meski menghadapi tekanan sosial.
- Strategi personal untuk menunjukkan “moderasi” atau keterbukaan dalam interaksi publik (misalnya aktif dalam kegiatan desa, pendidikan, atau pelayanan sosial).
- Praktik boundary work di level pribadi: memilih kapan menunjukkan identitas Ahmadi dan kapan menyamarkannya demi keamanan (Sodik, 2015, 2020, 2022, 2024)..

 

- Menggambarkan bagaimana agency bekerja di bawah tekanan struktural.
- Menunjukkan dinamika disposisi dan pengalaman—bahwa identitas religius bukan hanya warisan, tetapi hasil refleksi dan negosiasi.
- Menguatkan gagasan bahwa personalitas adalah ruang reflexive deliberation (Archer) dalam situasi plural (Sodik, 2015, 2020, 2022, 2024).

Komunalitas (Komunitas & Solidaritas Internal)

Cara komunitas Ahmadiyah membangun jaringan sosial, solidaritas, dan praktik kolektif di tingkat desa/kampung. Ada penguatan komunal untuk menghadapi ancaman (Sodik, 2015, 2020, 2024, 2025).

- Penguatan solidaritas melalui kegiatan Jemaat: pengajian, Jalsah, pelayanan kemanusiaan, dan ekonomi komunitas.
- Praktik everyday resistance: menjaga ruang ibadah, pendidikan internal, media dakwah, dan tata kelola kampung Manislor.
- Komunitas merawat narasi kolektif tentang sejarah penganiayaan dan keteguhan iman (Sodik, 2015, 2020, 2023, 2024, 2025).

- Komunalitas menjadi unit sosial yang menjaga keberlangsungan identitas.
- Memperlihatkan bentuk communal agency dalam menghadapi tekanan eksternal.
- Menegaskan bahwa komunitas terbentuk bukan hanya oleh doktrin, tetapi oleh pengalaman bersama akan marginalisasi (Sodik, 2015, 2020, 2023, 2024, 2025).

Masyarakat Nasionalis (Civic-Nationalism / Negara-Bangsa)

Bagaimana Ahmadiyah diposisikan dalam narasi kebangsaan Indonesia: hukum, konstitusi, hak-hak warga negara, dan inklusi sipil (Sodik, 2015, 2020, 2022, 2023, 2024, 2025).

- Status Ahmadiyah sebagai warga negara tetap dijamin oleh UUD 1945, menjadi organisasi keagamaan yang legal, meskipun mengalami pembatasan ruang gerak karena regulasi (misalnya SKB 2008).
- Konflik terjadi ketika identitas keagamaan dibaca secara etno-kultural dan mayoritarian sehingga menegasikan hak minoritas.
- Upaya kelompok masyarakat nasionalis-inlusif untuk melindungi hak Ahmadiyah melalui advokasi HAM, kebebasan beragama, dan argumentasi konstitusional (Sodik, 2015, 2020, 2023, 2024, 2025).

 

Menggambarkan ketegangan antara nasionalisme inklusif (civic) vs nasionalisme eksklusif (etno-religius).
- Menjadi indikator kualitas demokrasi dan praktik kewarganegaraan.
- Membaca Ahmadiyah sebagai ujian bagi kapasitas negara-bangsa dalam mengelola pluralisme (Sodik, 2015, 2020, 2023, 2024, 2025).

 

Penutup

Kita, sebagai manusia, akan terus bergumul dengan problem-problem identitas, baik sebagai atau untuk konteks personal maupun sosial dan kolektif. Terdapat kontestasi di sana. Karena sengitnya pergumulan ini, komunalitas sebagai produk kolektivitas pun menjadi ruang dan lokus yang problematik. Batas antara “kita” dan “yang lain” kian kabur sekaligus kian dipertegas, tergantung pada kepentingan yang sedang dimainkan. Alih-alih menjadi ruang pemersatu, identitas justru kerap diproduksi ulang sebagai instrumen diferensiasi dan eksklusi. Hari ini, kita berkutat pada dua arus ini secara bersamaan, dan naifnya, kita merangkak teramat berat untuk menemukan simpul kebangsaan, yaitu masyarakat nasionalis yang kita dambakan menjadi pijakan.

Ini akan menjadi kerja panjang tentu saja, tidak hanya oleh generasi kita, tetapi generasi-generasi muda di masa mendatang. Kita harus bisa dan mampu mendiagnosa bersama-sama semua problem kebangsaan yang kita hadapi hari ini. Satu sisi berlatar belakang akademik sebagai ilmuwan sosial dan di sisi lain menjadi bagian dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga yang juga pernah belajar syariah sebagai disiplin ilmu, saya menemukan dan mengajukan semacam hook (dalam arena tinju) dari podium akademik yang terhormat ini. Yaitu, kenapa kita tidak mengutamakan dar' al-mafāsid (menghindar dari bencana) dalam praktik kebangsaan kita? Bukankah kaidah fikih legal maxim sudah sangat jelas bahwa dar' al-mafāsid muqaddam ‘alā jalb al-maṣāliḥ (درء المفاسد مقدم على جلب المصالح), menghindar dari bencana harus diprioritaskan dari meraup kemaslahatan?

Saya melihat ada cara dan praktik beragama kita yang problematik, yaitu ketika (entah seolah-olah atau benar-benar) menutupi bencana, tetapi justru yang digembar-gemborkan adalah meraih kemaslahatan. Kenapa bukan bencana yang harus kita hindari, tetapi malah bernegosiasi dengan bungkusan maṣlaḥah untuk suatu praktik yang sebenarnya mengandung mafsadah. Dalam logika semacam ini, agama telah direduksi menjadi instrumen legitimasi moral yang justru menjinakkan kepekaan kritis umat. Bahasa kebaikan berubah menjadi selubung etis yang memutihkan praktik-praktik yang secara substantif merusak kehidupan sosial, dan termasuk lingkungan. Jika pola ini terus dinormalisasi, maka yang lahir bukan kesalehan publik yang autentik, melainkan ilusi moral kolektif yang diproduksi dan direproduksi secara sistematis.

Karena itu, dari podium akademik yang terhormat ini, di tengah luka bangsa yang menganga karena bencana banjir dan tanah longsor saudara kita di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, izinkan saya mengakhiri pidato ini dengan sebuah tantangan dekonstruktif: mari tegakkan dar' al-mafāsid demi membangun bangsa dan negara kita. Tidak ada kompromi untuk suatu yang berpotensi pada kerusakan, baik itu kerusakan sosial maupun lingkungan. Mari ..... personalitas dan profesionalitas kita bangun dengan etika, komunalitas kita kokohkan di atas moral kewargaan demi kebersamaan kita menuju masyarakat nasionalis.

 

           Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

 

Daftar Pustaka

 

 

Abdullah, A. (2020). Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin: Metode Studi Agama & Studi Islam di Era Kontemporer. Yogyakarta: IB Pustaka.

Abdullah, I. (2015). Politik Bhinneka Tunggal Ika Dalam Keragaman Budaya Indonesia. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 5(2), 1–13.

’Ālim, Y.M. al-. (1991 M/1412 H). al-Maqāṣid al-’Āmmah li asy-Syarī’ah al-Islāmiyyah. Virginia: al-Ma’had al-’Ālī li al-Fikri al-Islāmī/The Internasional Institute of Islamic Thought.

Al Makin. (2017) Plurality, Religiosity, and Patriotism: Critical Insights into Indonesia and Islam. Yogyakarta: Suka Press.

Anderson, B. (2006). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso.

Auda, J. (2008), Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach, London: The International Institute of Islamic Thought.

Azca, M. N., Salim, H., Arrobi, M. Z., Asyhari, B., & Usman, A. (2020). Dua Menyemai Damai: Peran dan Kontribusi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Perdamaian dan Demokrasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University.

Bāqī, M.F. ‘Abd al-. (1981 M/1401 H). al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur`ān al-Karīm. Beirut: Dār al-Fikr.

Bauman, Z. (2001). Community: Seeking Safety in an Insecure World. Oxford: Polity Press.

Bashori. K. (2003). Problem Psikologis Kum Santri. Yogyakarta: FkBA.

Bellah, R. N., Madsen, R., Sullivan, W. M., Swidler, A., & Tipton, S. M. (1985). Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life. Berkeley: University of California Press.

Benhabib, S. (2002). The Claims of Culture: Equality and Diversity in The Global Era. Princeton: Princeton University Press.

Berger, P. L., & Luckmann, T. (1991). The Social Construction of Reality. London: Penguin Books.

Bhabha, H.K. (1994). The Location of Culture. London: Routledge.

de Beauvoir, S. (2011). The Second Sex. New York: Vintage Books.

Billig, M. (1995). Banal Nationalism. London, SAGE Publications.

Brubaker, R. (1996). Nationalism Reframed: Nationhood and The National Question in The New Europe. Cambridge: Cambridge University Press.

Brubaker, R. (2004). Ethnicity without Groups. Cambridge: Harvard University Press.

Burhani, A.N. (2013). When Muslims are not Muslims: The Ahmadiyya Community  and the Discourse on Heresy in Indonesia, dissertation, University of California Santa Barbara.

Connolly, W. E. (2002). Identity/Difference: Democratic Negotiations of Political Paradox. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Durkheim, É. (1984 [1893]). The Division of Labor in Society. New York: Free Press.

Durkheim, É. (1958). Professional Ethics and Civic Morals. Illinois: The Free Press.

Dzuhayatin, S. R. (2002). Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga.

Dzuhayatin, S. R. (2020). Gender Glass Ceiling in Indonesia: Manifestation, Roots, and Theological Breakthrough. Al-Jāmi’ah: Journal of Islamic Studies, 58(1), 209-240.

Effendi. T.N. (1993). Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja, dan Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Fanon, F. (1952). Black Skin, White Masks. New York: Grove Press.

Fraser, N. (1990). “Rethinking The Public Sphere: A Contribution to The Critique of Actually Existing Democracy”, Social Text, 25/26, 56–80.

Geertz, C. (1960). The Religion of Java, Chicago and London: The University of Chicago Press.

Giddens, A. (1990). The Consequences of Modernity. Stanford: Stanford University Press.

Giddens, A. (1991). Modernity and Self-Identity. Stanford: Stanford University Press.

Luhmann, N. (1995). Social Systems. Stanford: Stanford University Press.

Luhmann, N. (2002). Theories of Distinction: Redescribing the Descriptions of Modernity. Stanford University Press.

Habermas, J. (1996). Between Facts and Norms. MA: MIT Press.

Habermas, J. (1998). The Inclusion of the Other: Studies in Political Theory. MA: MIT Press.

Hasan, N. (2005). Laskar Jihad, Islam, Militancy, and The Quest for Identity in Post-New Order Indonesia. Nederlands: Universiteit Utrecht.

Hasan, N. (2018). Public Islam in Indonesia: Piety, Politics, and Identity. USA: Amsterdam University Press.

Honneth, A. (1995). The Struggle for Recognition. MA: MIT Press.

Ichwan, M. N., Salim, A., Srimulyani, E., & Afriko, M. (2025). Shari’a, Citizenship, and Identity in Aceh. Notre Dame: University of Notre Dame Press.

Ilyas, H. (2005). Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis terhadap Keselamatan Non-Muslim. Yogyakarta: Safitria Insani Press.

Isbah, M. F. (2020). Islam dan Pembangunan: Peran Pesantren dalam Pembangunan Sosial Ekonomi Masyarakat. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Kymlicka, W. (1995). Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights. Oxford: Oxford University Press.

Kohn, H. (2005). The Idea of Nationalism: A Study in Its Origins and Background. New Brunswick: Transaction Publishers.

Kuntowijoyo. (2008). Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan.

Latif, Y. (2005). Inteligensia Muslim dan Kuasa. Bandung: Mizan.

Maarif, A. S. (2018). Islam, Humanity, and Indonesian Identity: Reflections on History. Trans. G. A. Fowler. Netherlands: Leiden University Press.

Madaniy, A.M. (2010). Politik Berpayung Fiqh. Yogyakarta: LKiS.

Marhumah (2009). Poligami dalam Pandangan Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam Inayah Rohmaniyah dan Mochamad Sodik (ed.). Menyoal Keadilan dalam Poligami. cet. ke-4. Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga dan The Asia Foundation.

Masruri, S. (2018). “Ki Bagus Hadikusumo Suksesi dan Akhlak Pemimpin.” Dalam Konstruksi Pemikiran Politik Ki Bagus Hadikusumo: Islam, Pancasila, dan Negara (pp. 57-86). Program Doktor Politik Islam Ilmu Politik Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Minhaji, Akh. (2010). Sejarah Sosial dalam Studi Islam: Teori, Metodologi, dan Implementasi. Yogyakarta: Suka Press.

Mouffe, C. (2000). The Democratic Paradox. London: Verso.

Mouffe, C. (2005). On the Political. London: Routledge.

Mudzhar, A. (1998). Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Myers, K. C. (2010). Reflexive Practice: Professional Thinking for a Turbulent World. Palgrave Macmillan.

Nashir, H. (2015). Gerakan Islam Pencerahan. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Nasikun (1984). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali.

Nugroho, H. (2004). Menumbuhkan Ide-ide Kritis. Yogyakata: Pustaka Pelajar.

Nurlaelawati, E. (2010). Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in The Indonesia Religious Courts. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Nurlaelawati, E., Mangunsong, N., & Lukito, R. (2015). Law and Islamization: The Case of Indonesia. Yogyakarta: SUKA Press.

Parekh, B. (2000). Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. MA: Harvard University Press.

Partini (2013), Bias Gender dalam Birokrasi, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Qibtiyah, A. (2019). Feminisme Muslim di Indonesia. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Qodir, Z. (2009). Gerakan Sosial Islam: Manifesto Kaum Beriman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rawls, J. (1993). Political Liberalism. New York: Columbia University Press.

Ro’fah, Maftuhin, A., Khuluq, L., R., Torrido, A., Jahidin, A., Solechah, S., Absor, M. U., Prahastuti, N. F., Ramdani, I., Noorkamilah, N., & Haq, M. I. (2024). Arah Baru Kesejahteraan Sosial: Dari Inovasi Hingga Isu Kontemporer. Yogyakarta: Samudera Biru.

Rohmaniyah, I. (2020). Sholehah Demi Khilafah: Perempuan dalam Gerakan & Ideologi Politik Hizbut Tahrir Indonesia. Yogyakarta: Lampu Merapi.

Spivak, G.C. (1988). “Can the Subaltern Speak?” In Marxism and the Interpretation of Culture. Urbana: University of Illinois Press.

Said, E.W. (1978). Orientalism. New York: Pantheon.

Tamir, Y. (1995). Liberal Nationalism. Princeton: Princeton University Press.

Tamir, Y. (2019). Why Nationalism. Princeton: Princeton University Press.

Taylor, C. (2004). Modern Social Imaginaries. Durham: Duke University Press.

Taylor, C. (1994). Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition. New Jersey: Princeton University Press.

Rozaki, A. (2025). Constructing New Cultures and Transforming the “Perkumpulan Merah Putih” Roles in Post-Conflict West Kalimantan, Indonesia. JSW (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik), 29(2), 193-210.

Simuh. (2019). Pergolakan Pemikiran dalam Islam. Yogyakarta: IRCiSoD.

Sodik, M., & Sujibto, B.J. (2025). Agama Faktual: Pertarungan Wacana dan Dinamika Sosiologis Jemaat Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: Cantrik Pustaka.

Sodik, M. (2024). Standing Together through Ups and Downs: How Ahmadi Brotherhood Endured amid Persecution and Threats? In A. Uzair, F. Yazar & N. Muthahari (Eds.), Mainstreaming Indonesian Islam: Family, Youth, Wellbeing, and the Path to Social Transformation (pp. 172–188). Konya, Turkey: Selçuk University Press.

Sodik, M., & Sujibto, B.J. (2023). Against Religious Formalism: The Dynamics of Young Urban Sufism in Yogyakarta. Journal of Indonesian Islam, 17(1), 1–26.

Sodik, M., Sujibto, B.J., & Gufron, G. (2023). Reconciliation and Fulfilment of Civil Rights: Case of Ahmadiyya Adherents in Manislor, Kuningan, West Java. JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo), 7(2), 99–114. https://doi.org/10.21580/jsw.2023.7.2.16195

Sodik, M., Gufron, G., & Sujibto, B.J. (2022). The Inception of SKB in Ahmadiyya: From State of Power to State of Law. Justicia Islamica: Jurnal Kajian Hukum dan Sosial, 19(2), 209–226.

Sodik, M., & Achmad Uzair. (2021). “Eliminating discrimination against women: legal mobilization to change the minimum age of marriage in Indonesia.” Dalam Knowledge, Science, and Local Tradition: Multiple Perspectives on the Middle East and Southeast Asia in Honor of Fritz Schulze (pp. 97–108). Wiesbaden, Germany: Harrassowitz Verlag.

Sodik, M. (2020). “The Art of Compromise of Indonesian Ahmadiyya Community in Yogyakarta.” Dalam Proceedings of the Annual International Conference on Social Science and Humanities (AICOSH 2020) (Advances in Social Science, Education and Humanities Research).

Sodik, M. (2015). Melawan Stigma Sesat: Strategi JAI Menghadapi Takfiri. Disertasi Doktor Sosiologi Universitas Gadjah Mada.

Sodik, M. (2014). Fikih Indonesia: Dielaktika Sosial, Politik, Hukum, dan Keadilan. Yogyakarta: SUKA Press.

Suharko. (2014). Pencegahan Bencana Lingkungan Hidup Melalui Pendidikan Lingkungan (Preventing Ecological Disaster Through Environmental Education). Jurnal Manusia dan Lingkungan, 21(2), 254-260.

Sujito, A.,  & Ghofur, M. (2023). The Nurturing Food Sovereignty from the Peripheral Side: the Village Law and the Soul of Agriculture in Rural Development in Indonesia. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 10(03), 305-316.

Sujito, A., Trijono, L., & Djalong, F. A. (2025). Sosiologi Politik: Perspektif dan Pendekatan Kontemporer. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Susetiawan. (2000). Konflik Sosial: Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan dan Negara di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suyūṭī, J.A.R. as-. (1994 M/1415 H). al-Asybah wa an-Naẓā`ir fī Qawā’id wa Furū’ Fiqh as-Syāfi’iyyah. cet. ke-1. Beirut: Muassasah al-Kutub aṡ-Ṡaqāfiyyah.

Syahrūr, M. (2000). Naḥw Uṣūl al-Jadīdah li al-Fiqh al-Islāmī, Damaskus: al-Ahālī li Aṭ-Ṭibā’ah wa an-Nasyr wa at-Tauzī’.

Syamsiyatun, S. (2016). Pergolakan Putri Islam: Perkembangan Wacana Gender dalam Nasyiatul ‘Aisyiyah 1965–2005. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Syamsuddin, S. (2022). Pendekatan Maʿnā-cum-Maghzā: Paradigma, Prinsip, dan Metode Penafsiran, Nun: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir di Nusantara 8(2), 217-2040.

Usman, S. (2018). Modal Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wahid, A. (2006). Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute.

Wahyono, S.B., Budiningsih, A., Suyantiningsih, & Rahmadonna, S. (2022) Multicultural Education and Religious Tolerance: Elementary School Teachers’ Understanding of Multicultural Education in Yogyakarta. Al-Jāmi‘ah: Journal of  Islamic Studies, 60(2), 467-508.

Wahyudi, Yudian. (2010). Islam: Percikan Sejarah, Filsafat, Politik, Hukum, dan Pendidikan. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press.

Waryono. (2011). Beberapa Problem Teologis Antara Islam Dan Kristen. ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 12(1), 97–118.

Zulkarnain, I. (2005). Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Yogyakarta: LKi


 PERSEMBAHAN DAN UCAPAN TERIMAKASIH

Assalamua’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Para hadirin dan hadirat yang saya cinta muliakan,

 Kita panjatkan puji syukur kehadhirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya. Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan para pengikutnya.

Pada forum yang sangat sakral dalam perjalanan hidup saya ini, izinkan saya menyampaikan ucapan beribu terma kasih yang tulus dan mendalam kepada pihak yang telah berkorban dan memberi dukungan dalam pencapaian saya dari pendidikan awal sampai Guru Besar. Saya haturkan beribu terima kasih kepada:

Pertama, kepada kedua orang tua yang telah mendidik dam membersamai saya sejak kecil hingga dewasa, Ibunda Muhsinah dan Ayahanda almarhum almaghfurlahu Syamsul Hadi. Ibuk telah mendidik saya dengan limpahan kasih sayang dan kesabaran yang luar biasa. Do’a-do’anya sepanjang waktu yang penuh keikhlasan telah melapangkan jalan kami dalam mengarungi semua jenis gelombang kehidupan. Almarhun Ayah telah mendidkan saya dengan penuh disiplin dan ketegasan. Keterpaduan karakter beliau berdua seakan mengingatkan saya pada sifat  jamaaliyyah dan jalaaliyyah yang terekam dalam Asmaaul Husna. Kedua adik saya, al-marhum Agus Salim dan Siti Anisah telah ikut mewarnai cara hidup saya, di tengah-tengah ujian berat bagi keduanya. 

Kedua, kepada mertua almarhum almaghfurlahu Ayahanada K.H. Sahal Saleh dan almarhumah almaghfurlaha Ibunda Hj. Nyai Nadzifah yang telah mengikhlaskan putrinya untuk hidup bersama saya. Kearifan dan kesabarannya membuat kami merasa nyaman dalam mengayam tujuan hidup bersama.

Ketiga, kepada istriku tercinta dan terindah Ida As'adah, S.Th.I., M.S.I., yang telah membersamai saya dalam suka dan duka. Kecerdasan dan kegigihannya dalam mendidik lima anak kami, mejadikan beban dan tanggung jawab saya terasa ringan. Kehadiran lima anak kami telah menyempurnakan kebahagiaan keluarga. Ananda Sovia Mumtaza Amirah, S.T.P (Eva) sedang studi S2 di Prodi TIP FTP UGM, Ananda Asvi Nahdhia Farha (Dea) sedang studi S1 di Prodi Gizi FKKMK UGM, Ananda Mohammad Sova Hasani Abdillah (Hasan) belajar di MAN 1 Yogyakarta dan nyantri di Al-Hakim 5,  Ananda Mohammad Asvan Husein Hubbillah (Husein) belajar dan nyantri di MTs Afkaaruna Yogyakarta, dan Ananda Mohammad Sovwan Muhsin Hifdzillah (Ovan) belajar di SD IDEA Baru Kalasan Yogyakarta. 

Keempat:

Kepada Pemerintah Republik Indonesia khususnya kepada Menteri Agama Republik Indonesia beserta pimpinan dan jajarannya di lingkungan Kementerian Agama RI atas kepercayaan yang telah diberikan kepada saya untuk menerima gelar Guru Besar ini

Kepada  Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Noorhaidi Hasan, S.Ag., M.A., M.Phil., Ph.D. yang telah memberikan dukungan penuh atas pengajuan Guru Besar saya, beserta seluruh jajaran Pimpinan Universitas, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga Prof. Dr. Istiningsih, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Dr. Abdur Rozaki, S.Ag., M.Si., Kepala Biro AUK, Dr. H. Ali Sodiq, S.Ag., M.A., dan Kepala Biro AAKK, Dr. H. Muhammad Lutfi Hamid, M.Ag. atas segala dukungan demi terwujudnya pencapaian jabatan Guru Besar. 

Kepada Ketua Senat, Prof. Dr. H. Kamsi, M.A. Sekretaris Senat, Prof. Dr. H. Maragustam, M.Ag., yang telah memberikan motivasi kepada saya dalam proses pengajuan Guru Besar.

Kepada Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah, Prof. Dr. H. Musa Asy’arie, Prof. Drs. H. Ach. Minhaji, M.A., Ph.D., Prof. Dr. H. Machasin, M.A, Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D., Prof. Dr. Phil. Sahiron, M.A., Prof. Dr. Phil. Al Makin, M.A, serta  para Rektor sebelumnya dan jajarannya, Prof. Dr. H. Siswato Masruri, M.A., Prof. Dr. H. Iskandar Zulkarnain, M.A. serta para Ketua Senat sebelumnya dan jajarannya sejak saya mengabdi tahun 1995 hingga saat ini, yang telah membesarkan UIN Sunan Kalijaga. 

Kepada para Guru Besar dan Anggota Senat, serta Komite Integritas Akademik (KIA), yang telah memberikan dukungan terhadap pengajuan Guru Besar.

Kepada keluarga besar UIN Sunan Kalijaga, khususnya Fakultas Syariah dan Hukum, tempat saya mengajar sejak tahuan 1995, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga, tempat saya mengabdi sebagai Dekan (2016-2024). 

Kelima:

Kepada kakek kami dari jalur Ayah, Almarhum mbah Kyai Jawahir dan almarhumah mbah Nyai Hayatun Centong Sanankulon Blitar. Kesyahidannya Mbah Kyai Jawahir dalam Peristiwa 10 November Surabaya telah memberikan energi melimbah bagi kesadaran kebangsaan kami.

Kepada kakek kami dari dari jalur Ibu, Almarhum mbah H. Abdul Mu’in dan Almarhumah mbah Umi Kulsum Ngadiluwih Kediri. Beliau-beliau tidak hanya mendidik 7 anak kandungnya, tetapi juga mengasuh anak-anak santri yang membutuhkan bantuan dan anak terlantar karena orang tuanya hilang atau dihilangkan oleh “zaman”. Jiwa gotong royongnya telah mewarnai bakti kami pada ibu pertiwi.

Kepada segenap keluarga besar Ngadiluwih Kediri, Bani H. Abdul Mu’in-Umi Kulsum beserta anak dan cucunya: Bani Hj. Ismini-Kaselim: mbak Hj. Sulasti dan Almarhum Mahsus, Mas H. Suntoro dan Hj. Fatim beserta keluarga. Bani Fayakun-Muslimin: Mas Anas dan mbak Sumarmi, mbak Ida dan Mas Muh Nuhyi, Mas Kamim dan Mbah Azah, Mbak Zul dan Mas Yono, mbak Nur dan Mas Toro. Bani Kutimu-Kyai Muhaimin: Mas Nizar dan Mbak Novi, mbak Roul dan Mas Dr. Annur Rofiq,  dan Mas Faiz. Bani Muklis-Hj. Dewi Ulama, almarhumah mbak Khoiriyah, mbak Umi dan Mas Kodi, Mas Yudi dan  Ika. Bani Kalimi- Wiji: Mas Bahak dam Mbak Iza, mbak Yusi dan Mas Hasan, mbak Zulmi dan mbak Anis, mbak Lia dan Andik. Bani Hj. Fatimah-Siswanto: mbak Rika, mbak Zahroh dan Mas Samsiadi.

Kepada segenap keluarga besar Pesantren At-Tanwir Talun Bojonegoro. Kepada kakak kami, keluarga besar K.H. M. Jamil dan Nyai Hj. Fatma Amalia, Mas Ahmad Najid dan almarhum mbak Nur Latifah, Mas Agus Salim dan Mbak Nur Hayati, mbak Nyai Hj. Lailatul Badriyah dan Mas K.H. Ihwan Na'im, mbak Nyai Mustabsyiroh dan Mas Kyai Amin Fathoni, dan adik kami Husnul Khitam dan Siti Munahayai beserta keluarga. Selanjutnya kepada almarhum K.H. Ali Chumaidy, keluarga almarhumah Nyai Hj. Mustafidah dan almarhum K.H. Hammam Munaji, Nyai Hj. Maskunah dan K.H. M. Sa'adi Muhsin, K.H. Ahmad Fuad dan Nyai Hj. Ida Farida Rahmaniyati, K.H. Ahmad Nafi dan Nyai Hj, Munsifah, Nyai Hj. Istianah dan K.H. M. Zainal Abidin, K.H. M. Rofiq dan Nyai Hj. Nilna Himawati beserta keluarga.

Kepada segenap keluarga Blitar, almarhumah Bude Maemunah, almarhum Pakde Kastubi, almarhum Kaji Kani dan mbakyu Zaenab beserta semua anak dan cucunya. Bani Mbah Imam Ahmad Lempung Pakisrejo Blitar: Bani Meselan-Bibit Lempung Pakisrejo, Bani Djumadi-Khoiriyah Sidoarjo, Bani Masrukin-Ismunir Blitar, Bani Wan-Takil Ngaglik, Bani Turmudi-Yaumi Lempung Pakisrejo, Bani Wahid Lampung, Bani Zen Lampung, Bani Maliki Lampung, Bani Mol-Monah Dandong Srengat, dan Bani Hari-Is Nggendong Blitar.

Kepada Bapak K.H. Syakir Ali dan keluaga besar Pesantren Diponegoro. Kepada Bani Fakih yang berada di Yogyakarta, keluarga Ibu  Nyai Hj. Ana Mutiah M.Pd.I., mbak Dra. Sri Andari, dan mbak Andar Insia.

Keenam:

Kepada keluarga besar PSW (KIJ dan P2GHA): Ibu Dra. Hj. Susilaningsih, MA, Prof. Dr. Hj. Siti Ruhaini Dzuhayatin., M.A., Prof. Dr. Hj. Marhumah, M.Pd., Prof. Dra. Hj. Siti Syamsiyatun, M.A, Ph.D., Prof. Dr. Hj. Inayah Rohmaniyah, S.Ag., M.Hum, M.A., M.Si., Prof. Hj. Alimatul Qibtiyah, S.Ag, M.Si, Ph.D., Prof. Dr. H. Waryono, M.Ag., Dr. Hj. Zusiana Elly Triantini, S.H.I., M.S.I., Dr. Witriani, S.S., M.Hum., Abdul Azis Widagdo, Hj. Nurul Ari Suryani, S.E., Drs. H. Muh Isnanto, M.Si., Arifah Budi Susanti, Mayda Dwi Hadiyanti, S.Sos., Rina Komaria, S.H, M.A., Wahyu Hidayat, M.Si. dan segenap kolega yang telah ikut mebesarkan PSW dan merayakan kebersamaan untuk wujudnya keadilan.

Kepada keluarga besar YBHI Omah PMII, keluarga besar PMII DIY, keluarga besar ISAIs UIN Sunan Kalijaga, keluarga besar PLT UIN Sunan Kalijaga, keluar besar PWNU Daerah Istimewa Yogyakarta, keluarga besar DPD IKAL LEMHANNAS DIY, keluarga besar ICMI DIY, kelurga besar JAI Pusat, JAI DIY dan JAI Manislor yang telah yang telah membersamai saya dalam dunia akademik maupun non-akademik.

Kapada guru-guru dan kolega saya di SDN Ngadiluwih 1 Kediri, MTsN Kediri 2, SMA “Palapa” Ngadiluwih Kediri, Pendidikan Guru Agama Negeri [PGAN] Kediri, Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga dan Hukum Ekonomi Syariah (HES) FSH UIN Sunan Kalijaga, Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Jurusan Sosiologi FISIPOL Universitas Gadjah Mada [UGM], S2 Prodi Sosiologi UGM Yogyakarta, S3 Prodi Sosiologi UGM Yogyakarta, Madrasah Diniyyah “Subulus Salam” Ngadiluwih, Masjid “Darul Jalal” Ngadiluwih, JPPI Minhajul Muslim Komplek Dosen UIN Sunan Kalijaga B.8, Ponpes Krapyak Yogyakarta dan Wisma Hamidiyyah, Jl. K.H. Ali Maksum 289 Krapyak Kulon Yogyakarta, yang telah mendidik dan membimbing saya hingga saya dapat memperoleh Guru Besar.

Demikian, semoga bermanfaat dan penuh keberkahan.

Wassalamua’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.