Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyelenggarakan Stadium Generale bertajuk “Gagasan-gagasan Transformasi Sosial untuk Indonesia”. Kegiatan yang didesain untuk induksi mahasiswa baru Fakultas Dakwah dan Komunikasi ini, dihadiri oleh Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Prof. Dr. Arif Maftuhin, segenap wakil dekan, para dosen, dan tenaga kependidikan.
Dalam kegiatan yang
digelar pada Jumat (3/10/2025) di Aula Convention Hall Lt 1, Dekan Fakultas
Dakwah dan Komunikas Prof. Dr. Arif Maftuhin, menegaskan bahwa syarat utama
terwujudnya transformasi sosial adalah adanya kepedulian rakyat serta ruang
kebebasan untuk menyampaikan kritik. Lebih dari itu, seorang pemimpin harus
memiliki kesiapan untuk dikritik dan keterbukaan dalam menerima kritik sebagai
bagian dari proses perbaikan. Kehadiran tokoh-tokoh dan narasumber inspiratif
dalam forum ini diharapkan dapat memberikan perspektif yang luas tentang
bagaimana ilmu, integritas, serta kepedulian sosial dapat dikonversi menjadi
tindakan nyata yang bermanfaat bagi umat dan bangsa.
Forum akademik
ini menghadirkan sejumlah narasumber, salah satunya mantan Gubernur Jawa Tengah
2 periode, Ganjar Pranowo yang menyampaikan orasi intelektual berjudul “The
Changemaker: Transformasi Sosial di Indonesia”.
Dalam
presentasinya, Ganjar menegaskan bahwa setiap individu, terutama kalangan muda,
memiliki potensi untuk menjadi penggerak perubahan sosial. Kreativitas dan
keberanian adalah modal awal yang memungkinkan mahasiswa untuk mengambil peran
transformatif. “Siapa yang bisa mengubah situasi? Setiap individu, termasuk
kawan-kawan, kalau orangnya kreatif dan punya nyali, maka ia punya peluang
untuk mengubah itu,”
Lebih jauh,
Ganjar menekankan bahwa transformasi sosial menuntut integritas, kolaborasi,
serta keberanian untuk bertindak. Tanpa integritas, gagasan hanya akan
kehilangan substansi dan berubah menjadi komoditas. Politik, dalam
pandangannya, tidak boleh direduksi menjadi arena perebutan kekuasaan, tetapi
harus dipahami sebagai instrumen untuk menjawab kebutuhan mendasar masyarakat,
seperti akses pendidikan dan pelayanan publik. Dalam konteks inilah pemuda
dipandang sebagai motor civil society yang memiliki kapasitas untuk
memengaruhi proses pengambilan keputusan.
Dalam
kesempatan tersebut, Ganjar juga menyoroti isu korupsi, kolusi, dan nepotisme
yang menurutnya merupakan akar persoalan bangsa sekaligus penghambat utama
pembangunan. Ia menilai bahwa pembangunan budaya antikorupsi harus ditanamkan
sejak dini, salah satunya melalui jalur pendidikan. Menurutnya, selama ini
wacana antikorupsi relatif lebih mendapat sorotan, sementara praktik kolusi dan
nepotisme kerap luput dari perhatian publik, padahal keduanya sama berbahayanya
dan memiliki daya rusak yang tidak kalah besar.
Ketiganya, jika
dibiarkan, tidak hanya merusak sistem politik dan pemerintahan, tetapi juga
melemahkan sendi-sendi moral dan keadilan sosial. Karena itu, mahasiswa sebagai
calon pemimpin bangsa dituntut untuk menumbuhkan kesadaran kritis sekaligus
menjadi teladan dalam menolak dan melawan praktik tersebut.
Untuk dapat sampai
ke level tersebut, Ganjar mengingatkan
mahasiswa untuk berhati-hati memanfaatkan teknologi digital, termasuk
kecerdasan buatan (AI). Bagi Ganjar, AI dapat mendukung proses belajar, namun
penggunaannya harus kritis, dengan selalu berpijak pada hasil riset, data
empiris, serta regulasi yang sahih. “Tidak ada proses belajar yang instan,
termasuk dalam politik. Semua menuntut konsistensi, integritas, dan proses yang
panjang,” tegasnya.
Di samping itu,
ia mengingatkan bahwa prestasi akademik semata tidak cukup untuk melakukan
transformasi sosial. Softskill seperti kepemimpinan, komunikasi, dan problem
solving justru menjadi bekal penting yang sering kali kurang diasah. Untuk
mengasah itu semua, mahasiswa harus
aktif dalam organisasi, kelompok diskusi, maupun berbagai forum intelektual
lannya,” tegasnya. (humassk)