BNPT Sinergi Dengan UIN Sunan Kalijaga Untuk Menekan Akar Radikalisme dan Terorisme
Dalam sebuah diskusi publik yang diinisiasi oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (Fishum) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta bersama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Selasa (28/11/2023) siang, ada hal menarik yang diungkapkan Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan BNPT RI, Irjen Polisi Ibnu Suhaendra.
Menurut hasil survei terbaru BNPT bersama dengan sejumlah lembaga lintas sektor, indeks potensi serangan terorisme di tahun 2023 ini menurun sekitar 56 persen jika dibandingkan pada tahun 2022 lalu. Sebab itu, Ibnu Suhendra mengajak semua kalangan untuk bersama-sama memutus rantai radikalisme dan terorisme.
“Kita hadir di kampus UIN Sunan Kalijaga mengajak semua kalangan untuk memerangi pemahaman radikal terorisme. Salah satunya dengan memutus rantai penyebaran radikalisme terorisme melalui strategi pelibatan multipihak,” ujarnya pada acara Diskusi Umum Barang Bukti Buku Tindak Pidana Terorisme“Kritik Terhadap Buku Seri Tauhid-For The Greatest Happiness Karangan Abu Sulaiman Aman Abdurrahman”yang berlangsung diConference RoomUIN Sunan Kalijaga.
BNPT, menurut Ibnu Suhaendra, tak dapat bekerja sendirian untuk menekan akar radikalisme dan terorisme. Pelibatan multipihak sangat penting artinya untuk membangun sinergi bersama.
“Program penanggulangan terorisme harus dilakukan dengan kerja sama atau kolaborasi yang melibatkan unsur pemerintah, akademisi, badan pelaku usaha, komunitas, media dan pelaku seni,” kata dia.
DeputiBidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT mengharapkan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi garda terdepan untuk menampilkan citra agama Islam yang moderat, damai dan toleran.
“Kami berharap seluruh sivitas akademika, khususnya di UIN Sunan Kalijaga ini, dapat menjadi tempat aktualisasi atas pengajaran dan pemahaman agama yang moderat, damai dan toleran,” ucapnya.
Di tengah derasnya disrupsi informasi saat ini, BNPT RI meyakini, narasi-narasi agama yang damai dan menyejukkan, dari institusi pendidikan seperti UIN Sunan Kalijaga dapat menetralisir paham radikal dan benih-benih intoleransi di masyarakat.
“Selain itu, UIN Sunan Kalijaga dapat mengarahkan idealisme pada hal yang positif dan lebih kritis dalam hal berpikir sehingga tidak mudah terjebak pada narasi radikalisme yang mengajak dan mengeksploitasi ajaran agama untuk kepentingan kekerasan,” kata dia.
Irjen Pol Ibnu Suhendra mengatakan buku Aman Abdurrahman menjadi buku pegangan yang sangat berpengaruh bagi anggota JAD. Buku ini secara garis besar bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila karena antikeberagaman dan kemanusiaan. "Serangan teroris secara fisik mengalami penurunan, tapi gerakan di bawah permukaan, masih aktif. Mereka masih melakukan pelatihan, perekrutan, dan penggalangan dana," tuturnya saat memberikan sambutan.
Ditambahkan Ibnu Suhendra, tujuan dari diskusi umum untuk memberikan kritik terhadap buku karangan Aman Abdurrahman sehingga harapannya nanti bisa memutus jaringan teroris untuk proses deradikalisasi. "Di media sosial, mereka masih melakukan propaganda yang mengajarkan antidemokrasi, antikeberagaman.
"Sasaran mereka anak muda yang dinilai masih belum stabil, masih dalam proses mencari jati diri, dan dekat dengan teknologi media sosial. Hal ini dimanfaatkan untuk merekrut ke dalam pemahaman radikal dan jaringan terorisme," imbuhnya.
Untuk itu, Ibnu mengajak semua kalangan untuk perlunya memerangi paham radikal terorisme melalui pemutusan rantai penyebaran dengan strategi multipihak. Salah satunya melibatkan civitas akademika untuk mengoptimalkan penanganan tindak pidana terorisme. "Dari Global Terorisme Indeks, Indonesia berada di rangking 24, padahal tahun sebelumnya, berada di ranking 43. Selain itu, dari hasil BNPT bersama lembaga survei, dalam 5 tahun terakhir, terjadi tren peningkatan intoleran pasif naik menjadi intoleran aktif. Kita harus cegah agar tren kenaikan ini tidak terus naik," tuturnya.
Dekan Fishum UIN Suka Kalijaga, Dr Moch. Sodik mengatakan pihaknya telah banyak bekerjasama dengan berbagai kalangan untuk mengatasi terorisme, salah satunya berkolaborasi dengan BNPT RI. Ia pun mengapresiasi kegiatan diskusi umum karena sebagai pengetahuan bagi generasi muda, khususnya mahasiswa agar tidak terpapar radikalisme. "Sinergitas seperti harus kita tingkatkan karena masalah terorisme itu tersembunyi sehingga kalau tidak berkolaborasi akan berat," katanya.
Ia pun bercerita fakultasnya memiliki keragaman baik mahasiswa yang muslim ataupun non-muslim, bahkan beragam suku bangsa dari yang terjauh sampai terdekat. "Persoalan kemanusiaan merupakan persoalan yang sangat prinsip sehingga terus mendorong semangat persaudaraan untuk Indonesia kuat dan berkembang," tuturnya.
"Diskusi umum semoga menjadi awalan untuk mengembangkan budaya damai agar Indonesia kuat," imbuhnya.
Salah satu pembicara diskusi umum, Dr Bono Setyo mengatakan peran sekolah dan perguruan tinggi sangat berperan dalam pencegahan ideologi radikalisme. Ia menyebut berdasarkan riset BNPT, usia 16-30 banyak yang terpapar radikalisme.
"Usia-usia itu kan usia pelajar SMA dan mahasiswa karena tak dipungkiri anak lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah. Tindakan preventif sangat dibutuhkan dari keluarga dan sekolah," tutur Dr Bono.
Ia pun menceritakan kisah Dhania yang mengajak kedua orangtuanya pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS beberapa tahun lalu. Disebutnya Dhania kala itu terpapar radikalisme dari media sosial Facebook. Ia banyak mengikuti pengajian-pengajian online.
"Belajar dari kasus Dhania, bagaimana dia melakukan imitasi atau mengadopsi figur guru sebagai tokoh sentral dalam pembelajaran. Ada istilah born again, lahir dengan figur berbeda. Inilah yang perlu diperhatikan orangtua agar bisa melakukan deteksi secara dini," tukasnya. (Weni/Alfan)