Suami Istri Dikukuhkan Menjadi Guru Besar Dalam Waktu Bersamaan

Pendidikan Gender sepertinya berhasil dilakukan di kampus UIN Sunan Kalijaga. Buktinya, hari ini UIN Sunan Kalijaga mengukuhkan dua Guru Besarnya suami istri pada waktu yang bersamaan. Pembagian peran Gender bisa secara apik dilaksanakan pasangan suami istri ini, sehingga dalam waktu yang bersamaan keduanya bisa dikukuhkan sebagai Guru Besar. Bertempat di Gedung Prof. H.M. Amin Abdullah, Prof. Dr. H. Zuhri, S. Ag., M.Ag., dikukuhkan bersama dengan istri tercinta Prof. Dr. Hj. Maemonah, M.Ag., 14/12/2023. Prof. Zuhri dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Sosiologi Pengetahuan Islam berdasarkan S.K. Menteri Agama RI Nomor 013760/B.II/3/2023. Sementara itu Prof. Maemonah dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Pendidikan Islam berdasarkan S.K. Menteri Agama RI Nomor 013762/B.II/3/2023. Agenda pengembangan akademik kali ini dihadiiri Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. H. Al Makin dan jajaran pimpinan universitas lainnya, Ketua Senat, Prof. Kamsi dan anggota Senat, handai taulan dan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga.

Prof. Zuhri menyampaikan pidato Guru Besar berjudul Continous Improving Studi Islam Ke-Indonesiaan Melalui Sosiologi Pengetahuan. Sementara itu, Prof Maemonah menyampaikan orasi Guru Besar berjudul Pendidikan Keagamaan Islam Di Indonesia Timur-Lokalitas, Resiliensi, dan Potensi Tumbuh Kembangnya Ruang Moderasi Beragama. Dalam orasinya Prof. Zuhri menawarkan Studi Islam Ke-Indonesiaan melalui kajian Living Islam. Dimulai tahun 1960-an, yang diidentifikasi adanya a missing link antara kemegahan Al-Azhar dengan tradisi Turasnya yang kuat dan kemegahan ilmu-ilmu sosial keagamaan ala Eropa. Solusi yang ditawarkan adalah reformulasi pengkajian Islam dengan menguatkan konsep-konsep ilmu pengetahuan seperti; logika, bahasa dan filsafat ilmu pengetahuan. Adanya a missing link itu terjawab era kini. Dengan banyaknya kajian-kajian sosial, teknologi, nature dan seterusnya di universitas-universitas Islam.

Namun, kegamangan membangun pola relasi dan integrasi-interkoneksi yang masih menjadi soal karena relasi epistemik dan relasi etik nampaknya cenderung terpilah dan bahkan sengaja dikontradiksikan untuk membangun persepsi dan logika klaim kebenaran. Padahal keduanya ada dalam satu ruang proses fabrikasi dan reproduksi pengetahuan yang sama, dalam konteks masyarakat tertentu. Oleh karenanya, penting digarisbawahi di sini tawaran urgensi studi Islam yang kuat akar turatsnya (baca: epistemik-nya) dan rindang (baca: fenomena/ethic/orientasi moral-nya) mengayomi dalam ranah sosialnya karena studi Islam: dibangun dalam lived Islam atau living Islam. Dalam konteks studi Islam Ke-Indonesiaan kontemporer
sekarang ini masih terjebak dalam dua kutub yang belum dapat dijembatani yakni strong
insidersm dan strong outsidersm di sisi lain. Terlalu kuatnya insidersm melahirkan perspektif dogmatik-apologetik bahkan untuk seluruh dimensinya. Sementara jika memilih jalan kekuatan out-siderism, studi Islam tidak ada bedanya dengan antropologi, sejarah, dan discipline humanities lainnya.

Sekali lagi, titik temu keduanya bukan pada tumpukan teks, tetapi pada teks yang sedang dibaca atau bagaimana teks dilahirkan dan diinterpretasikan untuk konteks kekinian. Keduanya ada titik kumpul sekaligus dinamikanya dan pergulatannya bersama masyarakat dalam lived and living Islam. Oleh karena itu, studi Islam dalam konteks living Islam merupakan premis pertama, atau proposisi a priori sebagai titik tolak dan titik tuju studi Islam keindonesiaan. Tesis ini sekaligus sebagai perwujudan dari tren de-kolonialisme pengetahuan akhir-akhir ini. Asumsi besarnya, semua model pengetahuan (Islam, Barat, dan lainnya) ada dalam garis egaliter, tanpa ada hak istimewa bagi salah satu untuk bisa "menghukumi" yang lain secara epistemik sehingga studi Islam secara epistemik juga eligible sebagai perspektif.
Tawaran dan sekaligus tesis lain yang belum tersentuh sampai hari ini, menurut seawam saya, adalah bahwa studi living Islam akan melahirkan ‘aql al-Islām al-wasaṭī (nalar
Islam moderat), bukan maqāṣiḍī. Gagasan ini bukan sekedar mencari titik tengah, tetapi juga titik damai, sebagaimana diusung oleh Megan Abbas.29 Hal ini sejalan dengan dalam studi Islam atau nalar moderat dalam studi Islam. Hal ini penting dalam konteks keindonesiaan yang sekarang sedang getolgetolnya mensosialisasikan moderasi beragama yang—maaf— tidak dibarengi dengan penguatan wacana atau tawaran epistemik-nya. Padahal bisa jadi terlalu jauh, Berger sudah mengingatkan tentang sejarah kecenderungan masyarakat beragama yang selalu jatuh dalam dua kutub yang berbeda; relativisme and fundamentalisme.


Keberagamaan yang moderat bukan semata pada ranah sikap atau pilihan tetapi juga perlu dibarengi dengan kesadaran epistemologis-metodologis melalui literasi kuat turāṡ Islam.
Pola nalar ini sedari awal sudah diperkanalkan oleh Plato dan muridnya Aristoteles dalam konsep the golden mean yang kemudian menginspirasi banyak intelektual Muslim semisal al-Syāfi’ī .

Tantangan lain adalah membanjirnya new media technologies; seperti halnya media sosial, artificial intelligence, dan digital and vitual platform yang ikut serta telah melahirkan model diskursus baru tentang realitas pengetahuan keislaman di masyarakat. Diskursus ini juga menghadapi tantangan ‘tembok’ otoritas keagamaan. Sebagai agama yang kuat secara otoritas, Islam dihadapkan dan dioperasikan dalam berbagai persilangan fenomena baru tersebut. Oleh karena itu, eksistensi virtual everyday lived Islam (Islamic religiosity) merupakan keniscayaan sekaligus lahirnya identitas baru keberagamaan. Terhadap realitas tersebut, sosiologi pengetahuan Islam diharapkan dapat menyodorkan konsep, gerak, dan ruang langkah ke depan dalam mengidentifikasi model struktur dan nalar-pijak epistemik-nya yang baru untuk kemudian direkognisi baik dari sisi keagamaan maupun dari sisi filosofisantropologisnya secara bersamaan, demikian papar Prof. Zuhri.

Sementara itu dalam orasi ilmiahnya, yang didasarkan pada riset pelaksanaan pendidikan Islam pada kelompok minoritas Islam di wilayah Indonesia Timur, khususnya pada masyarakat Papua maupun di komunitas Dayak, Prof. Maemonah menyimpulkan bahwa: dalam era kontemporer, pendidikan keagamaan memerlukan pendekatan yang lebih inklusif dan reflektif dengan mempertimbangkan kemajuan media-teknologi dan kompleksitas budaya. Ini termasuk mempertimbangkan bagaimana harmoni dan toleransi yang dapat mempengaruhi pendidikan keagamaan sehingga pendidikan keagamaan menjadi ruang untuk dialog antarbudaya dan antar-agama yang lebih substantif. Selain itu, pendidikan keagamaan juga harus mampu merespons tantangan zaman, seperti isu-isu globalisasi, pluralisme, dan perubahan sosial yang cepat. Penting juga untuk memastikan bahwa pendidikan keagamaan tidak menjadi alat untuk memperkuat diskriminasi atau ketidaksetaraan, tetapi justru menjadi medium untuk mempromosikan keadilan sosial dan pemahaman antar-manusia. Dengan demikian, pendidikan keagamaan tidak hanya relevan tetapi juga kritis dalam membentuk karakter dan identitas individu dalam masyarakat yang semakin kompleks dan beragam dengan tetap menjaga kearifan dan nilai yang berbasis pada lokalitas, demikian tegas Prof. Maemonah. (Weni/Alfan)