Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Bertambah Dua Guru Besar
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Sunan Kalijaga bertambah dua Guru Besarnya. Keduanya adalah Prof. Zulkipli Lessy, S.Pd., B.S.W., M. Ag., M. S. W., Ph.D., dan Prof. Dr., Hj. Na’imah, M.Hum. Keduanya dikukuhkan oleh Ketua Senat Universitas, Prof. Kamsi, bertempat di gedung Prof. H.M. Amin Abdullah, kampus UIN Sunan Kalijaga, 18/1/2023. Prosesi pengukuhan dihadiri oleh dihadiri oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. H. Al Makin, Senat Universitas, para Wakil Rektor, para kepala biro, pimpinan Dekanat, pimpinan Unit/Lembaga/Pusat Studi, civitas akademik, dan kolega kedua Guru Besar. Prof. Zulkipli Lessy dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Pekerjaan Sosial, berdasarkan SK. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 52833/M/07/ 2023, tanggl 18 September 2023. Sementara Prof. Na’imah dikukuhkan sebagai Guru Besar didang Ilmu Linguistik berdasarkan SK. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 46256/M/07/2023, tanggal 25 Agustus 2023.
Dalam orasi ilmiahnya berjudul “Giving, Altruisme, Dan Filantropi Islam: Implikasi Untuk Praktik Dan Pendidikan Pekerja Sosial” Prof. Lessy antara lain menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan riset lapangan tentang kemanfaatan zakat melalui lembaga-lembaga filantropi Islam. Dijelaskan, lembaga karitas modern kini lebih proaktif dalam memberi layanan, agar kehidupan penerima manfaat mengalami progres dan berkelanjutan. Dalam risetnya Prof. Lessy fokus pada tiga bentuk bantuan: penguatan ekonomi, layanan kesehatan, dan program pendidikan gratis. Penerima manfaat penguatan ekonomi adalah orang-orang miskin yang terdampak langsung oleh bencana alam dan krisis ekonomi. Zakat membantu mereka untuk kembali menjalankan bisnis. Ketika usaha mereka berkembang, banyak yang merasa puas dan bahkan memperkerjakan mereka yang sedang menganggur.
Penerima manfaat layanan kesehatan umumnya adalah perempuan dengan pendidikan dasar tetapi mendapatkan lima tahun jaminan kesehatan gratis dan pendidikan berwirausaha. Walaupun layanan kesehatan dapat menghemat pengeluaran, beberapa masih membutuhkan bantuan ekstra makanan. Para penerima melaporkan dampak positif atas income, kesehatan, dan kehidupan sosial mereka. Kebanyakan penerima manfaat dari program pendidikan merasa puas dengan pendidikan anak, ektrakurikuler, dan kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas sosial. Beberapa melaporkan bahwa sekolah berbasis karitas dan gratis lebih menekankan pendidikan moral; karena itu, mereka mulai kuatir tentang bagaimana mempersiapkan anak mereka dalam dunia pendidikan yang lebih kompetitif. Pendeknya, para penerima manfaat merasa lebih beruntung jika dapat menerima tiga bentuk bantuan yang ditawarkan sekaligus.
Prof. Lessy berharap layanan-layanan yang sifatnya parsial, dan berorientasi jangka pendek perlu ditinjau ulang untuk menghasilkan layanan yang lebih baik di masa depan. Dalam risetnya Prof. Lassy juga mengungkap Layanan-layanan didanai untuk, dan disediakan oleh, institusi zakat yang telah ada dalam masyarakat dimana penerima zakat berada. Diungkap terdapat penerima manfaat zakat. Sebab itu, model intergratif dapat mempertimbangkan dua atau lebih program dengan hanya satu aplikasi. Satu aspek kunci dari riset Prof. Lessy adalah penggunaan pendekatan fenomenologi, yang berdasar pada pengambilan data melalui narasi-narasi partisipan. Karena itu, jejak dan langkah partisipan didokumentasikan secara ekstensif dengan cara elisitasi dan merekam data berkaitan dengan kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan mereka. Proses ini memerlukan evaluasi yang dapat dibuat dan rekomendasi untuk riset di masa yang akan datang. Namun, perlu ada studi kuantitatif dengan mengambil data dari sejumlah penerima zakat dari demografi yang berbeda-beda agar dapat berguna untuk mengkorfirmasi hasil-hasil riset yang ia lakukan.
Dari hasil risetnya Prof. lessy berharap, Untuk advokasi bagi penerima manfaat zakat, para pekerja sosial perlu memahami cara yang terbaik untuk mengintegrasikan pengembangan ekonomi, layanan kesehatan, dan layanan pendidikan dari program-program lembaga zakat. Sementara itu, Jurusan Pekerjaan Sosial di Indonesia sebaiknya memastikan bahwa kurikulum mereka terhubung dengan strategi advokasi, desain program, best praktis, dan konsep-konsep pemberdayaan sehingga ini semua dapat dikaitkan dengan kebutuhan keluarga miskin. Dalam rangka meningkatkan pemahaman Mahasiswa tentang manfaat dan tantangan menjadi penerima zakat, maka baik yang sedang menerima maupun ex-penerima zakat dapat diundang untuk berbicara di hadapan Mahasiswa Jurusan Pekerjaan Sosial di semua level, atau mereka dapat berinteraksi langsung dengan Mahasiswa praktikum di lembaga-lembaga zakat secara langsung untuk transfer ilmu dan pengalaman.
Belajar secara langsung dari penerima zakat dapat meningkatkan sensivitas para pekerja sosial yang profesional dan mereka secara baik dapat mempersiapkan diri untuk memberikan advokasi yang efektif. Melihat ada potensi yang besar dari pengumpulan zakat yang memberdayakan, Pendidikan Pekerjaan Sosial dapat menjadi inspirator bagi para praktisi filantropi untuk mengusahakan pendidikan gratis yang dibiayai oleh zakat. Selama ini datanya sekolah gratis masih terbilang sedikit sekali, tidak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang kini berjumlah 264 juta, dan jumlah usia anak sekolah. Banyak college dan higher educational institution yang berbasis agama kini bermunculan di Negara negara dengan minoritas Muslim. Misalnya, Muslim di Amerika kini mulai mengorganisasikan dan mewujudkan kemungkinan yang diusahakan melalui organisasi nonprofit mereka. Pengalaman komunitas-komunitas agama yang lain menyatakan bahwa organisasi nonprofit milik Muslim akan memperoleh kesempatan-kesempatan yang signifikan untuk membangun institusi-institusi agama, pendidikan, atau bisnis komunitas guna kesinambungan kepercayaan mereka ke generasi berikutnya, kemudian dapat bersinergi dengan komunitas dengan kepercayaan lain, dan mendemonstrasikan keyakinan mereka melalui pergaulan dengan komunitas lain, serta mengusahakan pengakuan . Kini, para pegiat zakat hendaknya mampu menunjukkan bahwa tendapat potensi untuk mengetuk hati nurani para donatur bahwa sebaiknya mereka akan melihat perubahan dalam diri orang orang yang kurang mampu karena pemberian (giving) mereka yang tulus, memberdayakan, dan berkelanjutan. “Inti dari semua ini adalah voluntary action for the public good yang berakar dari altruism,” tegas Prof. Lessy.
Sementara itu, dalam orasi ilmiahnya berjudul “Urgensi Penguasaan Bahasa Bermuatan Metafora Berbasis Linguistics Penerjemah (Inglish-Indonesian) Prof. Na’imah antara lain menjelaskan, penguasaan bahasa sangatlah urgent bagi masyarakat luas, terutama akademisi, karena bahasa sebagai alat komunikasi terpenting bagi manusia di dunia ini. Bahasa bermuatan metafora terjadi karena jumlah lambang dalam bahasa masih sangat terbatas, sedangkan benda-benda yang ada di sekeliling manusia di dunia ini tidak terbatas jumlahnya, bahkan cenderung terus berkembang. Daya cipta metafora berimplikasi pada budaya kreativitas penggunanya dalam mengekspresikan kekuatan bahasa sebagai idiografi, gambaran gagasan atau pikiran dalam bentuk lambang dan makna yang sangat spesifik.
Ilmu Linguistik adalah ilmu tentang semua bahasa manusia di dunia ini (first languages, second languages, andInternational languages) dengan segala aspeknya. Berbagai cabang ilmu Linguistik umum berdasarkan objek kajiannya terbagi atas Phonology, Morphology, Syntax, dan Semantics. Bahkan, bidang kajian Interdisciplinary-Linguistics mencakup: Psikolinguistics, Sociolinguistics, Etnolinguistics, Antropolinguistics, Neurolinguistics, Ecolinguistics, Genolinguistics, Forensic Linguistics, Philology, Semiotics, Stylistics, Phonetics, Epigraphy, Language Philosophy, Language Typology, dan Discourse Analysis.
Dijelaskan, Studi linguistik mampu membuka mata kita pada dunia yang sebelumnya tersembunyi, sebenarnya ada di depan mata. Penerjemahan metafora (English-Indonesian) selalu melibatkan dua bahasa sumber (Bsu) dan bahasa sasaran (Bsa), dan harus memperhatikan dengan cermat 3 aspek utamanya, yaitu ‘Tenor’, ‘Vehicle’, and ‘Sense’. Hal ini termuat dalam ‘Vehicle’ sebagai metaphoric rule, bersifat figuratif, literal, bukan harfiah. Secara singkat, ‘Metaphor is an implied comparison between two things’, “the thing we are talking about, and that to which we are comparing it’. Metafora adalah suatu perbandingan antara dua hal yang berbeda secara tidak langsung. Sesuatu ‘Tenor’ merupakan sesuatu yang kita bicarakan, dan ‘Vehicle’ sesuatu yang terhadap tenor kita membandingkannya. In English there are two types of metaphors, they are Death metaphors and Live metaphors.
Untuk menerjemahkan; Death metaphors (metafora mati) lebih mudah. Karena, metafora mati merupakan bagian dari konstruksi idiomatis dalam leksikon sebuah bahasa itu sendiri. Dengan metafora mati atau Idioms, maka penutur, pendengar ataupun pembaca dapat memikirkan secara langsung makna idiomatik nya, tidak perlu berpikir panjang tentang pembandingnya. Misal: the legs of table (kaki meja), black sheep (kambing hitam), dsb. Sedangkan, Live metaphors (metafora hidup) adalah metafora yang hanya dapat dimengerti sesudah pendengar atau pembaca memberikan perhatian khusus pada perbandingan yang dibuat oleh penutur, dan kita masih dapat menentukan makna dasar dari konotasinya sekarang. Misal: ‘Use your head’ (= Gunakan pikiranmu, in Indonesian), ‘Killing two birds with one stone’ (= Sekali dayung dua pulau terlampaui), dan banyak lagi lainnya.
Dewasa ini, masyarakat Indonesia ada yang bilang: ‘Banyak partai politik yang berfungsi sebagai perahu pemimpinnya, bahkan mereka memuaskan syahwat politiknya menjadi presiden’. ‘Hebatnya pemimpin itu menjadikan korupsi musuh utamanya’, dsb. Berdasarkan ilmu penerjemahan metafora, penerjemah yang profesional lazim melakukan penerjemahan metafora secara benar, yaitu: 1). Penerjemah memperhatikan dan menentukan ciri-ciri perbandingannya yang merupakan metafora hidup ataukah metafora mati. 2). Jika telah diketahui metafora mati (idioms) yang digunakan, maka citra pada metaforanya tidak perlu dipertahankan dan maknanya dapat diterjemahkan secara langsung idiomatisnya. Karena, metafora mati dapat diterjemahkan secara langsung, tidak perlu dipertahankan isi metaforisnya. 3). Apabila perbandingan itu merupakan metafora hidup, maka tugas pertama penerjemah adalah menganalisis metafora itu dengan lebih teliti. Bila perlu penerjemah menulis secara eksplisit topik, citra, dan titik kemiripan kedua proposisi pada metaforanya. 4). Apabila salah satu dari ketiganya (topik, citra, dan titik kemiripan) tidak jelas, penerjemah harus melihat teks secara keseluruhan untuk mendapat penafsiran yang paling tepat dalam paragraf dimana metafora itu digunakan. 5). Setelah diketahui penafsiran metafora itu, penerjemah dapat mulai mempertimbangkan bagaimana metafora itu diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran dengan tepat. 6). Jika diperlukan dan masih ingin membuktikan ketepatan makna secara benar-benar akurat, bisa mengujinya dengan melakukan cross-check (pemeriksaan ulang) ke sejumlah penutur bahasa aslinya untuk memastikan ketepatan maknanya. Implikasi penggunaan metafora produktif, masyarakat mampu berpikir imajinatif, ekspresif, ilmiah, puitis, efektif, dan powerfull yang secara otomatis menggambarkan kompetensi penuturnya yang luar biasa. Hal itu semua ada dalam kajian Linguistics dan cabang Linguistics. Demikian jelas Prof. Na’imah. (tim humas)