One Country Two Systems, Solusi Alternatif Dosen UIN Sunan Kalijaga Untuk Perdamaian di Israel - Palistina
Konflik Palestina dan Israel sudah berlangsung jauh sejak 1932. Kemudian pada tahun 1948 paramiliter Israel mulai melakukan aksi-aksi militer untuk memperluas daerahnya. Peristiwa ini bernama Nakba yang berlngsung atas tuntutan kekuasaan wilayah bagi bangsa yahudi pasca genosida pada perang dunia kedua yang dilakukan oleh Nazi. Nakba menelan korban sekitar lebih dari 100 rakyat Palestina dari golongan laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Kemudian, pada tahun 1967 terjadi perang enam hari. Perang ini terjadi karena karena ketegangan politik yang sudah berlangsung sejak beberapa dekade oleh Israel dengan negara-negara arab. Adapu korban dari perang ini teridiri dari 20.000 orang arab dan 800 orang Israel. Pada tahun 1973 terjadi Perang Yom Kippur. Perang ini terjadi karena Mesir dan Suriah ingin merebut kembali wilayah yang berhasil direbut oleh Israel karena perang enam hari pada tahun 1967. Perang ini menelan korba n sebanyak 2800 orang dari pihak Israel tewas dan 35.000 pasukan Mesir dan Suriah tewas..
Terkiat konflik Palestina-Israel, Dr.Munawar Ahmad, dosen Mata Kuliah Hubungan Internasional UIN Sunan Kalijaga, Bersama Iqramah, SPd, menyampai makalah berjudul “The Darut Taawun : The New Metatheorical Of Islamic IR’s Conception For Peace Building in Israel And Palestine Recently. Di forum AICIS 2024, yang bertema “ he Main Theme of the 23nd is “Redefining the Roles of Religion in Addressing Human Crisis: Encountering Peace, Justice, and Human Rights Issues”.
Dalam paparannya, Dr.Munawar menyampaikan Islam memliki kaidah tentang hubungan Internasional bukan objek dari ortodoksi belaka namun juga mengacu pada nilai pokok hubungan internasional. Jika mengacu pada sejarah masa lalu, maka akan nampak sebuah kesan mengenai perang dan damai. Di mana, keduanya merupakan salah satu alasan adanya hubungan antar negara. Kemudian, di dalam fiqh siyasi Islam terdapat sebuah konsep definisi yang universal dimana, Islam berfungsi sebagai sistem negara Internasional yang lebihluas dengan konsep independen. Abu Hanifah, membangun argument tentang hubungan internasional dengan membuat definisi-definis, yakni konsep Dar al-Islam dan Dar al-Hurb Dar al-Islam berarti wilayah atau kekuasaan Islam sementara Dar al-Harb yakni kawasan yang sedang berperang.
Kelekatan Hamas dengan konsep dar al harbi , dapat dilacak dari kedekatan ideology gerakan dengan gerakan Ikhanul Muslimin (IM) di Mesir. Hamas adalah gerakan militan Islam dan salah satu dari dua partai politik besar di wilayah Palestina. Kelompok ini memerintah lebih dari dua juta warga Palestina di Jalur Gaza, namun kelompok ini terkenal karena perlawanan bersenjatanya terhadap Israel. Pada 7 Oktober 2023, Hamas melancarkan serangan mendadak besar-besaran di Israel selatan, menewaskan lebih dari 1.400 orang dan menyandera puluhan lainnya. Israel telah menyatakan perang terhadap kelompok tersebut sebagai tanggapannya dan mengindikasikan bahwa militernya berencana melakukan kampanye jangka panjang untuk memusnahkan kelompok tersebut sepenuhnya.
Menurut Dr.Munawar “ Secara esensial, Dar al-Islam tidak dimaknai mengenai kepemilikan negara atas nama masyarakat Islam sebagai identitas beragama, melainkan sebuah negara yang menetapkan nilai Islam sebagai landasan. Syaikh Manna di dalam kitab Al-Qaththa’n, Iqāmah al-Muslīm fī Balad Ghair Islāmī menyebutkan bahwa Dar al-Islam disebut juga Dar al-‘adl (wilayah keadilan), atau dar al-Tauhid (wilayah orang yang beriman kepada Ke-Esaan Tuhan). Dengan demikian, Dar al-Islam dalam sistem politik hanya sebuah esensi dari penerapan nilai-nilai Islam dari keadilan dan ketuhanan, kendati pemimpin negara-pun bukan dari kalangan Islam. “
Selanjutnya, Munawar juga mengatakan pendapat Jhon Turner berpendapat bahwa “Hubungan Internasional Islam bukan mengenai interaksi internasional melainkan sebuah konsep tatanan dunia “
Paparan Dr. Munawar menawarkan defnisi baru konsep darul. yang secara Das Sein, maka dipilih Dar al qawmi, merupakan istilah yang menunjukkan tempat atau wilayah suatu kaum berada, bermukim. Ini merujuk pada Al Hujarat (49);11, Al Araf (7):65. Jadi secara realisme, keberadaan suatu negara saat ini erat kaitannya dengan suatu kaum yang mendiami suatu tempat, meskipun atas nama hokum internasional belum diakui sebagai suatu negara hokum, akan tetapi keberadaan suatu kaum mendiami suatu tempat, menjadi dasar relasi hubungan internasional. Dar al qawm akan berrelasi dengan dar al qawm lainnya, meskipun mereka dikategrokan sebagai qawm dalam perlindungan, seperti para migran dari negara lain, pun haruus dihargai sebagaimana relasi Das Sollen dengan negara lain yang merdeka. kaum migran ini keberadaanya dalam perlindungan dari negara yang memberi perlindungan, konsep ini identic dengan istilah dar al Dzimmi, jadi bukan pada status keagamaan mereka yang menjadi ciri, akan tetapi dari status mereka sebagai manusia yang patut dihormati.
Darul qawm akan berelasi dengan dar al qawn atau dar al dzimmi lainnya, melakukan 4 hubungan internasional mendasar, yakni Tajarah (perniagaan), Tahaluf (berkoalisi), Taaruf (saling mengenal ) dan Taawun (saling kerjasama dalam kebaikan). Ke empat bentuk hubungan internasional tersebut, terdapat dalam alQuran, yakni Relasi Tajarah terdapat dalam surat AlBaarah(2):275, An Nisa (4):29, AlBaqarah (2):282, prinsip Tahaluf, terdapat dapat surah At Taubah (9):71, Taaruf terdapat dalam Surat Al Hujarat (49):13, dan prinsip Taawun terdapat pada surah al Baqarah (2):45, 68, dan 153, surat Al Maidah (3):2, Al Araf :128, Yusuf : 18, al Kahfi ():95, An-anbiya :112,Al Furqon, : 4, Al Maun :7, dan AL Bayinan :5 .
Akan tetapi pada realitanya, dinamika dar al qawm akan berhadapan dengan dar al baghy, yakni sekelompok manusia yang beringas, pemberontak, sebagaimana surat Al Hujarat(49) :9, akan melakukan infiltrasi terhadap dar al qawm, yang memicu terjadi berkecamuk perang, dar al harbi , seperti tertulis dalam Surah Al Baqarah (2):216, Al Hajj (22):39, Al Baqarah (2):190. Pada konteks inilah konsep dar al harbi digunakan sebagai panduan hukum perang (ius ad bellum) untuk bertindak baik dalam peperangan (ius in bello) , guna melindungi hak-hak yang tergerus sebagai respon atas adanya kondisi pemberontakan atau perlawanan, sehingga akan berakhir bukan dengan pembantaian tetapi pada kondisi dar al adli wal asli, perjanjian untuk kesepakatan menjadi hidup pada kondisi damai dan tenang.
Itulah upaya reedefinisi yang disampiakan Dr.Munawar Ahmad Bersama Iqromah, S.Pd. konsep darul ini bukan bagian dari jus in bello atau jus ad bellum, akan tetapi berangkat dari landasan pokok relasi natural antar bangsa (asyobiyah) atau suku (qabail), sebagaimana tersurat dalam surat Al Hujarah (49); 13, untuk membangun system social dunia yang damai, adil makmur lahir batin dengan berdasar pada saling hormat.
Usulan yang ditawarkan penyelesaian Palestina-Israel, setelah One State Solution tahun 1938, yakni melepaskan tumpuan gerakan dari konsep dar al islam dan dar al harbi diubah menjadi dar ut Taawun, yakni upaya kedua belah pihak demi menjaga addharuriyah alkhamsah, sekaligus menjaga marwah dhuriyah mereka , mencari titik untuk saling bekerjasama dalam kebaikan yang maslahah mursalah bagi masa depan kedua belah pihak. Adappun tawarnnya, untuk membangun kehudpan damai di Palestina dan Israel ke dalam satu anak bangsa bersama dalam satu wilayah one country two systems (ad daulah wahid wan nadzariyah al furu). Konsep ini terlah diterapkan oleh pemerintah Cina terhadap Taiwan sejak 1979.