Dialog Kebangsaan dan Launcing Buku “Ulama dan Negara Bangsa” & “Ulama, Politik, dan Narasi Kebangsaan” Program Pascasarjana

Dr. Shofiyullah Muzammil, M. Ag., mengatakan, Dalam Kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini, eksistensi ulama bukan hanya menjadi agen setral masalah keagamaan saja. Namun ulama juga menjadi elemen penting dalam kontestasi sosial politik membawa misi Islam. Di era orde baru, eksistensi ulama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didominasi oleh ulama arus utama dengan mengawal doxa yang menunjukkan arena yang harus diterima apa adanya (taken for granded) bahwa kebenaran agama dan Pancasila tidak perlu diperdebatkan lagi. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasar Pancasila dan UUD 45, serta mengakomodir pluralitas dipegang teguh oleh negara dan dilegitimasi oleh ulama arus utama.

Namun Indonesia pasca 1998, era reformasi dengan kebebasan berdemokrasi yang didengungkan berkontribusi besar terhadap lahirnya aktor-aktor baru dari beragam latar belakang pendidikan dan profesi ikut berbincang dan berupaya mendefinisikan Islam dalam hubungannya dengan negara dan masyarakat. Kemunculan aktor aktor baru tersebut membawa implikasi destabilisasi otoritas politik dan keagamaan konvensional. Dekade pertama pasca reformasi 1998, negara tampak gamang merespon wacana-wacana yang mengarah pada upaya mengusung syariah sebagai landasan hukum negara, ditengarai karena pengalaman pahit indoktrinasi Pancasila di masa orde baru (1966 s/d 1998).

Dalam perkembangannya, aktor-aktor baru ini terus berupaya melahirkan narasi-narasi keagamaan dengan gagasan penerapan syariat Islam (NKRI Bersyariat) hingga yang mempunyai aspirasi untuk menegakkan negara Islam atau khilafah. Untuk memahami ulama dan persepsi mereka tentang gagasan negara bangsa, serta peran mereka dalam mengintervensi pemahaman publik, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bekerja sama dengan Pusat Pengkajian Islam, Demokrasi dan Perdamaian (PusPIDeP) Yogyakarta, didukung Convey Indonesia telah melakukan riset survey dan wawancara mendalam dengan 450 ulama yang tersebar di 15 kota di Indonesia (Banda Aceh, Medan, Padang, Jakarta, Bandung, Surakarta, Surabaya, Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, Makassar, Manado, Denpasar, Ambon, dan Kupang).

Riset melibatkan para dosen dan peneliti Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Noorhaidi Hasan, Suhadi, Najib Kailani, Munirul Ikhwan, Ahmad Rofiq, Euis Nurlaelawati, Eva Latipah, Ibnu Burdah, Moch Nur Ichwan, Muhammad Yunus, Muhrisun, Nina Mariani Noor, Ro’fah, Roma Ulinnuha, Sunarwoto, Anas Aijudin) berhasil menunjukkan gambaran baru kehidupan berbangsa di Indonesia pada dekade terakhir.

Secara gamblang hasil riset tersebut dituangkan dalam dua buah buku berjudul “Ulama Politik Dan Narasi Kebangsaan –Frekmentasi Otoritas Keagamaan di Kota-Kota di Indonesia,” dan “Ulama Dan Negara Bangsa-Membaca Masa Depan Islam Politik Di Indonesia.” Shofiyullah menyampaikan hal tersebut mengawali diselenggarakannya Seminar Nasional dan Dialog Kebangsaan “Ulama dan Negara, serta launching buku “Ulama Dan Negara Bangsa,” dan “Ulama, Politik, Dan Narasi Kebangsaan.” Shofiyullah selaku ketua panitia menambahkan, Seminar Nasional, Dialog Kebangsaan dan Launching Buku yang dihelat oleh Program Pascasarjana UIN Sunan bertempat di Gedung Prof. RHA. Soenarjo, kampus setempat, 29/2/2020 kali ini menghadirkan pembicara kunci, , Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Prof. Mahfud, MD., dan Kepala PBIP, Prof. KH. Yudian Wahyudi, serta nara sumber : Rektor UNU (Guru Besar Ilmu Politik UGM), Prof. Purwo Santoso dan Staf Khusus Wakil Presiden (Guru Besar Ilmu Politik Islam), Prof. Masykuri Abdillah, dan Direktur Program PascasarjanaUIN Sunan Kalijaga (Guru Besar Ilmu Sosiologi Politik Islam), Prof. Noorhaidi Hasan. Setidaknya 500 orang hadir mengikuti forum ini terdiri daripara Rektor dan Direktur Program Pascasarjana lingkup PTKIN, dinas/instansi terkait, pimpinan dan awak media, serta mahasiswa di lingkup DIY.

Sementara itu dalam laporannya, Direktur Program Pascasarjana, Prof. Noorhaidi menyampaikan, riset yang dilakukan timnya dilatarbelakangi oleh rasa keterpanggilan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga untuk merespon persoalan-persoalan strategis yang dihadapi bangsa, khususnya ancaman radikalisme dan terorisme yang jika tidak diatasi dengan baik mampu meruntuhkan sendi-sendi NKRI. Karya riset timnya mengungkap Temuan penting antara lain; 71,56% ulama mendukung konsep negara bangsa dengan tingkat dukungan bervariasi. 4,4% diantaranya merupakan ulama yang sangat progresif mendukung konsep negara bangsa. Akan tetapi di sisi lain 16,44 % ulama menolak konsep negara bangsa. Bentuk penolakannya juga bervariasi. Sebagian masih ada yang membuka diri, namun ada yang radikal dan sangat ekstrem menolak. Temuan tersebut tentunya menjadi PR besar Pemerintah Indonesia.

Menurutnya, pemerintah punya pekerjaan rumah untuk mengatasi para ulama yang menolak konsep negara-bangsa. "Pemerintah harus melakukan pendekatan dan deradikalisasi kepada mereka. Hal ini diperlukan untuk memberi pengertian mengenai konsep negara-bangsa yang merupakan konsensus bangsa Indonesia yang harus dihormati," jelasnya.

Menurut Noorhaidi, penolakan atas konsep negara-bangsa sebagian ulama itu mudah tersebar melalui dunia maya. Apalagi 16,4 persen ulama ini aktif di media sosial menyebarkan radikalisme dan ekstrimisme agama. Noorhaidi menyebut pemerintah juga memiliki PR besar untuk memperkuat pemahaman ulama yang menerima konsep negara-bangsa. "Sebab mereka terkadang belum menerima penganut agama lain memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum dan negara ini," ujarnya.

Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah diminta terus mengampanyekan Islam moderat. Selain itu, ulama juga diajak untukmenyebarkan gagasan bahwa Islam cocok dengan konsep negara-bangsa Indonesia. "Yang paling penting adalah perbaikan ekonomi dan pemerataan akses. Inisangat besar pengaruhnya terhadap penerimaan utuh konsep negara-bangsa," katanya.

Dalam sambutan pembukaannya, PLT Rektor UIN Sunan Kalijaga, Dr, Phil Sahiron Syamsuddin menyambut baik penyampaian hasil riset dalam agenda dialog kebangsaan seperti ini. Hal ini sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Hasil2 riset perlu disampaikan kepada masyarakat. Tidak hanya ditulis dalam buku. Menurut Sahiron, meskipun hasil riset kontroversial, asalkan itu hasil dari penelitian dengan pemaparan argument-argumen yang logis dan teruji, maka seharusnya disampaikan kepada masyarakat dalam rangka memberikan pencerahan kepada masyarakat. Sebab yang berlaku secara popular belum tentu benar, kata Sahiron.

Prof. Yudian Wahyudi menambahkan, Hasil riset ini memberi pemahaman bahwa masih ada problem agama dan negara bangsa. Masih ada sebagian umat Muslim utama ulama Muslim yang belum bisa bertransisi dari negara Islam ke negara nasional. Yang perlu dipahami bahwa Muslim di Indonesia termasuk umat yang beruntung , karena memiliki kebebasan yang penuh untuk menjalankan ibadah dan berkarya, bahkan semua memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin, bersaing secara sehat dengan semua umat beragama di Indonesia. Sebagai Kepala BPIP, pihaknya akan membuat program-program berkesinambungan di semua propinsi melalui sekolah sekolah dan perguruan tinggi untuk memberi pemahaman keunggulan negara bangsa. Bila program program tersebut bisa dikawal sebaik mungkin, menurut Prof. Yudian Wahyudi akan menjadi topik internasional dalam hal politik dan Islamic Studies, paparnya.

Prof. Mahfud MD dalam paparannya menyampaikan, hasil riset yang menunjukkan adanya perbedaan penerimaan dan penolakan terhadap konsep negara pancasila menunjukkan bahwa sejak lama sampai hari ini selalu ada saja yg menerima dan menolak negara bangsa itu, tetapi sekarang secara kuantitas sudah jauh lebih banyak yg bergerak. Tahun 1945, yang menerima 4 dan yang menolak 5. Pemilu 1955, selalu terjadi perselisihan di konstituante. Sekarang 71:16, dulu 4:5.

Dulu piagam Jakarta menyebutkan negara berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam, presiden Indonesia adalah orang Islam. Piagam Jakarta tidak berlaku, tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI diganti KetuhananYang Maha Esa, pembukaan alinea ketiga UUD 1945 diganti atas berkat rahmat Tuhan. Pasal 6 UUD 45 diganti presiden indonesia adalah orang indonesia asli, dan disahkan. Berdasar hasil reportasi tempo agustus 1995 edisi hari ultah ke 50 Indonesia. Disebutkan pula dalam buku berjudul The Struggle of Islam In Modern Indonesia (disertasi th 1961). Bahwa perubahan adalah permintaan kolaborasi Bung Kkarno dan Bung Hatta karena pemerintah Jepang waktu itu menolak kata Islam, dengan kompensasi pemerintah Jepang menyetujui adanya kementerian agama di Indonesia yang diurus Islam dan didirikanannya universitas Islam di Indonesia. Pencoretan kata Islam membawa hikmah, tidak menimbulkan keributan dari adanya banyak perbedaan agama di Indonesia. Negara melindungi sepenuhnya bagi siapa saja yg ingin berislam ataupun beragama dengan baik. . Ini amanat konstitusi yang harus dihormati dan dijaga bersama," kata Prof. Mahfud.

Oleh karena itu menurut Prof. Mahfud MD, para ulama harusnya bisa menerima negara bangsa, karena memang Islam sendiri tidak mengajarkan satu sistem Islam. Selanjutnya kita bersaudara dalam berkebangsaan. Indonesia melindungi semuam pemeluk agama. Sementara soal kebenaran masuk dalam ranah privat. Maka Islam di Indonesia yang cocok dan diterima adalah Islam Wasathiyah/Islam yg moderat/moderasi Islam, itu konsepnya. Di ranah hukum, prinsip-prinsip ajaran Islam yang berdasarkan maqasid syariah yang diterapkan. Kita memperjuangkan prinsipnya, bukan simbolnya. Hukum-hukum modern diambil dari hukum Islam. Orang yang hidup di Indonesia, termasuk umat Islam harus sadar berada dalam perbedaan, karena Allah menciptakan manusia yang berbeda-beda. Perbedaan itu sunnatullah. “Mari bernegara dengan baik di Negara Pancasila ini,” demikian ajak Prof. Mahfud mengakhiri paparannya.

Sementara itu, masih adanya paham Koservatisisme, radikalisme, ekstrimisme, terorisme. Prof. Masykuri Abdillah menekankan adanya integrasi nasional dan wawasan kebangsaan, cara pandang yang memberi pemahaman tentang negara dan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan secara ideologis (Pancasila), geografis (NKRI), demografsi (Bhinneka Tunggal Ika) dan yuridis (UUD 1945). Upaya-upaya mempertahankan persatuan dan kesatuan terus dilakukan melalui pendidikan, di antara melalui buku2 kurikulum sekolah dan juga di perguruan tinggi. Karena hingga saat ini masih ada masalah di lingkup pendidikan dan birokrasi. Ada guru bahkan kepala sekolah, sampai kepala daerah masih memiliki pemahaman-pemahaman yang radikal.

Prof. Purwosantoso menawarkan pandangannya supaya riset para akademisi Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga ini bukan hanya sebagai sebagai updating data dan pemaparan peta ulama. Perlu dilanjutkan tindakan-tindakan riil dan program-program kerja dilapangan menggandeng badan-badan/lembaga-lembaga daerah seluruh wilayah tanah air, untuk mengatasi permasalahan yang ada. Yang kedua bagaimana menciptakan mata kuliah pendidikan karakter yang menyatukan ilmu dan amal, meramu pendidikan agama dan pancasila agar pintu radikalisme semakin sempit geraknya. (Weni/Doni/Habib)