Mural Sebagai Rem Moral
Oleh: Thoriq Tri Prabowo, M.IP.
Dosen Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Ilmu BudayaUIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Mural berada pada persimpangan antara seni dan vandalisme, karenanya ruang kosong bisa menjadi indah ataupun rusak. Terlepas dari pro-kontra atas maraknya mural di ruang-ruang publik, saat ini mural menjadi lebih dari sekadar aksi mencoret-coret tembok. Seni lukis tersebut dapat menjadi media ekspresi publik untuk mencurahkan pendapatnya, terutama kritik atas kebijakan publik.
Pemberitaan mengenai penghapusan mural yang sering terdengar belakangan ini, mencerminkan sikap dari penguasa yang terkesan anti-kritik. Tidak sekadar menghapus muralnya, pembuat mural tertentu konon juga tengah dicari-cari. Hal tersebut menunjukkan bahwa mural benar-benar dapat menjadi media kritik efektif, tercermin dari bagaimana pihak yang dikritik merespons kritikan tersebut.
Apabila pencekalan mural dilakukan dengan dalih mengganggu ketertiban umum ataupun merusak fasilitas publik, lalu bagaimana dengan selebaran poster dan baliho dari politisi yang terkadangmenyerobotruang-ruang kosong menjelang pemilihan umum? Aparat perlu menyikapi keduanya secara proporsional. Perusak fasilitas umum memang perlu diadili atas tindakannya, namun bukan karena ekspresinya. Pencekalan atas ekspresi yang bahkan tidak merugikan siapapun, tentu merupakan kemunduran dalam berdemokrasi.
Muralisasi kritik, terlebih pada tempat yang tepat, justru patut diapresiasi karena menjadi manifestasi pengawasan publik atas kinerja dari sosok-sosok yang dipilihnya pada pemilihan umum atau pemilihan legislatif melalui jalur keindahan. Hal ini sebenarnya bukanlah barang baru, sebuah lembaga negara pernah mengadakan lomba kritik melaluistand-up comedy. Artinya, apabila ruang untuk melakukan kritik tersebut difasilitasi, maka justru mural-mural tersebut akan menjadi ruang kritik yang estetis dan terlokalisasi tanpa merusak fasilitas publik.
Alih-alih mengapresiasinya dengan menyediakan fasilitas, pemangku kebijakan justru memilih jalan untuk melakukan penghapusan mural. Penghapusan mural tersebut ternyata tidak membuat publik jera, malah memicu kreativitas lainnya. Belum lama ini terdapat lomba mural, bukan lomba terkait aspek seni maupun kreativitas mural, melainkan mural yang paling cepat dihapus lah yang akan menjadi juaranya.
Terdapat sebuah asumsi bahwa gagasan visual mampu menjangkau alam bawah sadar. Hal yang sering dicontohkan ialah apabila seseorang memiliki hal yang ingin dicapai, maka dengan sesering mungkin melihat gambarnya, maka secara tidak langsung orang tersebut akan memikirkan bagaimana cara untuk mewujudkannya. Prinsip mengenai bagaimana mural mampu menjangkau alam bawah sadar juga perlu dipahami pembuat mural. Selain membuat mural yang mampu ‘mengganggu’ pemangku kebijakan, seniman mural juga perlu membuat mural yang mampu memicu optimisme publik. Dengan demikian publik juga akan merasa bahwa pembangunan bangsa tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, melainkan juga bergantung atas kontribusi mereka.
Momentum Kolektif
Persoalan mengenai mural baru-baru ini dapat menjadi momentum kolektif sebagai rem moral, baik untuk pemangku kebijakan maupun masyarakat. Untuk pemangku kebijakan, seni yang dibuat masyarakat perlu dijawab dengan seni dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan. Apakah kebijakan-kebijakan tersebut sudah berpihak pada masyarakat atau belum. Kesejahteraan masyarakat sudah semestinya menjadi landasan utama dalam mengambil kebijakan.
Di sisi lain, ketika pemangku kebijakan tengah melakukan evaluasi atas kinerjanya, publik juga perlu merefleksikan peran dan kontribusinya sebagai warga negara. Bisa jadi persoalan-persoalan sosial yang terjadi justru terjadi karena abainya publik terhadap perannya. Sebagai contoh, di masa pandemi COVID-19, masih banyak publik yang abai terhadap protokol kesehatan sehingga pandemi tidak kunjung berakhir. Dalam hal ini publik turut menjadi penyebab persoalan yang mereka visualisasikan melalui mural.
Akhirnya, mural ini hanyalah visualisasi dari ekspresi kritik publik. Pemangku kebijakan cukup menyikapinya secara proporsional, tanpa perlu bertindak represif. Memberikan ruang untuk berekspresi justru akan merekatkan hubungan pemangku kebijakan dan masyarakat, yakni hubungan antara pembuat kebijakan dengan pengawasnya.
(Artikel telah dimuat di kolom Opini SKH Kedaulatan Rakyat edisi Jumat, 3 September 2021)