Ibu Kota Negara
Oleh: Prof. Phil Al Makin (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Perpindahan pusat pemerintahan dan politik dalam sejarah peradaban manusia itu wajar dan sering terjadi. Dalam segala bentuk pemerintahan dari kerajaan, dinasti, sampai konsep modern negara bangsa terjadi perpindahan pusat memerintah.
Tentu istilah tidak sama antara ibu kota dalam konsep negara bangsa pasca Perang Dunia II dengan pusat pemerintahan era klasik, kuno, dan pra-sejarah. Kita mengenal budaya kuno seperti Romawi yang mengatur dunia selama lebih dari dua milania dengan perpindahan pusat politik.
Utamanya, dari Romawi Barat di Italia ke Romawi Timur Konstantinopel di Turki, perpindahan pusat politik, sosial dan agama. Perpindahan tersebut juga ditandai dengan penyebaran ajaran Kristiani di wilayah emperium itu.
Dalam konsep tempo dulu masa pra-industrial, pra-modern, dan pra-sejarah, pusat pemerintahan menyatu dengan pusat ekonomi, sosial, dan agama. Penguasa politik sekaligus mendominasi ekonomi dan mengatur agama. Penguasa mengendalikan total, tanpa oposisi.
Inilah yang diusahakan untuk dipisahkan dalam konsep negara modern, dengan istilah sekularisasi. Sekularisasi tidak hanya merujuk pada pemisahan geraja dan negara, masjid dan pemerintahan, pura dan politik, vihara dan kerajaan, atau raja dan pendeta, tetapi sekularisasi juga sekaligus pemisahan kepentingan-kepentingan.
Ini konsep baru dan dijalankan sejak lahirnya negara bangsa seiring dengan konsep demokrasi modern. Pemisahan kepentingan-kepentingan antar sektor diharapkan melahirkan konsentrasi dan profesionalisme dan menjaga tidak campur aduknya otoritas-otoritas.
Otoritas yang menyatu bisa berbahaya dalam kehidupan modern ini, karena konsep negara modern tidak lagi ingin mengulang model kekuasaan pra-industrialisasi. Otoritas dan kekuasaan dalam era kita sudah terbagi. Negarawan mengurus politik. Pengusaha mengurus ekonomi. Pemuka agama mengurus ibadah. Guru mengurus murid-murid. Cendikiawan memberi pandangan-pandangan yang sehat. Rakyat bekerja secara profesional. Hukum berlaku bagi semuanya. Semua terpisah-pisah secara hukum dan ditaati. Itulah tujuan sekularisasi dalam demokrasi. Otoritas politik idealnya dipisahkan dari otoritas yang lain. Tentu tempo dulu melihat otoritas agama yang hampir sepadan dengan politik. Tokoh agama masa lalu sangat kuat pengaruhnya karena sekaligus mengatur sosial, politik dan bahkan ekonomi. Lihat Juga: Softbank Mundur Jadi Investor IKN Baru, Luhut Sibuk Cari Pengganti
Lihatlah Amerika, New York sebagai pusat metropolitan yang ramai, bandingkan dengan ibu kota pemerintahan Washington yang sepi. Sydney lebih ramai daripada Canberra. Memang ada konsep berbeda, seperti Tokyo sebagai pusat keramaian sekaligus ibu kota. Paris juga sama. Tetapi mungkin alternatif pandangan lain perlu.
Mumbai di India lebih besar dari Delhi. Sanghai lebih megah dari Beijing. Tetangga kita Kuala Lumpur masih menjadi tempat gedung-gedung termegah di Malaysia. Perpindahan kekuasaan dan musim politik dalam sejarah Nusantara itu sendiri juga sering. Di abad empat sampai abad sepuluh Sumatera menjadi pusat dunia. Keuntungan dua angin yang membawa layar kapal-kapal ke arah Palembang Sriwijaya dari arah China menjadikan Sriwijaya tempat singgah sebelum kapal itu lanjut ke arah India.
China dan India dihubungkan dengan pusat budaya dan spiritualitas Buddhisme. Sekali lagi, agama dan politik menyatu di sini, sama seperti era Romawi kuno.
Budhisme juga mempengaruhi pola politik Nusantara, sebagaimana kita saksikan hasil karyanya seperti Borobudur di Jawa. Batavia atau Jakarta adalah warisan Belanda. Di kota itu tempat bercampurnya berbagai etnis dan budaya. Eropa, China, Arab, India, Melayu, Bugis, Jawa, Sunda, Madura, Dayak, Batak, dan lain-lain sejak tinggal di Batavia sebagai melting pot (bercampurnya berbagai ras dan etnis).
Batavia era kolonial tentu menyatukan politik dan ekonomi. Belanda sendiri memegang prinsip bahwa penguasaan Nusantara bisa dilakukan dari Jawa. Bandara-bandara laut terhubung dengan kapal-kapal. Secara infrastruktur Jawa juga paling awal digarap.
Dibangunnya rel kereta api dan jalan dari Anyer ke Panarukan menunjukkan kesiapan Jawa. Batavia sendiri hampir menyerupai Singapura, kota kecil yang diharapkan menjadi pusat politik dan ekonomi.
Kembali pada Sriwijaya sebagai salah satu model Nusantara. Kemungkinan besar negara itu semacam federal dalam arti modern, yang tidak sama dengan konsep seribu lima ratus tahun yang lalu. Kebesaran Sriwijaya sebagai pusat Asia Tenggara sampai pada benua Asia. Pengaruh dan kekuasaannya menjadi saksi bahwa Nusantara pernah besar sebelum era industrialisasi yang membawa bangsa-bangsa Eropa ke Nusantara untuk berdagang lalu menjajah.
Sriwijaya ini posisinya unik sebagai simbol dalam sejarah pergerakan nasionalisme dan patriotisme Indonesia. Satu sisi para tokoh Sumatera dari Padang seperti Datuk Ibrahim Tan Malaka, M Hatta, Sjahrir dan Agus Salim, dan Moh Yamin terutama mengajak kembali ke Majapahit yang notabenenya adalah Jawa.
Pada waktu revolusi dan kemerdekaan, penelitian tentang Sriwijaya masih belum seperti saat ini. Kebesaran dan wilayah Sriwijaya belum begitu disadari. Tampaknya Moh Yamin mempunyai referensi yang cukup untuk Majapahit dan Gajah Mada. Majapahit ibu kotanya di situs Trowulan mengatur wilayah dalam dan luar pulau Jawa.
Jika ibu kota negara direncanakan pindah ke Kalimantan, tepatnya di dekat kerajaan paling tua di Nusantara, Kutai, ini adalah wacana tidak asing lagi. Kalimantan pernah menjadi pusat. Hutan-hutan yang menjadi jalan menuju lokasi, daerah perbukitan akan memberi warna lain. Semoga perpisahan politik, ekonomi, agama, pendidikan, dan sektor-sektor lain terjadi di ibu kota baru. Ibu kota baru semoga mampu memilah kepentingan politik, ekonomi, agama, sosial, dan lainnya.
(Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Senin, 21 Maret 2022 - 11:13 WIB).