Mengembalikan Spirit PBAK
Oleh: Dr. Fathorrahman Ghufron (Wakil Dekan 3, bidang Kemahasiswaan dan Kerja-sama Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga)
Baru baru ini UIN Sunan Kaliaga (UIN Suka) sudah menyelenggarakan Perkenalan Budaya Akademik dan Kampus (PBAK) dengan terkendali. Di dalam pelaksanaan PBAK selama tiga hari (18-20 Agustus 2022) terdapat berbagai dinamika yang sangat menarik dijadikan sebagai pelajaran berharga bagi setiap pelaksana. Selain itu, dalam pelaksanannya terdapat keterlibatan berbagai pihak yang saling bersinergi. Salah satu simpul penting yang terlibat dan menjadi trigger kesuksesan PBAK adalah mahasiswa.
Keberadaan mahasiswa yang sejak dahulu menjadi entitas penting dalam bangunan civitas akademika UIN Suka, terlibat dalam penyiapan dan pelaksanaan berbagai kegiatan akademik dan non akademik seperti PBAK. Dalam menentukan komposisi acara, tema, dan kegiatan lainnya mahasiswa mempunyai nalar yang memadai dalam menentukan setiap bentuk dan formulanya. Bahkan, di setiap prosesnya terdapat ruang interrelasi yang dialektis antara ketua panitia dari unsur dosen dengan ketua pelaksana dari unsur Mahasiswa.
Pada titik ini, berbagai pihak yang terlibat mempunyai harapan bersama bahwa PBAK tahun 2022 akan menjadi titik masuk tumbuhnya penyegaran spirit akademik yang santun dan beradab. Apalagi setelah dua tahun lamanya berbagai kegiatan akademik dan non akademik dilakukan secara on line lantaran pandemi covid-19 yang memaksa setiap orang harus patuh terhadap aturan jarak sosial.
Problem Indoktrinasi
Akan tetapi, ketika PBAK masuk dalam tahap pelaksanaan terdapat persoalan substantif yang nyaris melepaskan spirit PBAK dari jangkar nilainya. PBAK yang sejatinya menjadi ruang edukatif dan medan pencerahan bagi mahasiswa baru, sebagaimana diamanatkan dalam keputusan Direktur enderal Pendidikan Islam Nomor 4962 tahun 201 tentang pedoman umum PBAK, mulai bergeser pada ruang indoktrinatif yang “menyesatkan”.
Salah satu indikasi yang paling kentara adalah, ketika dominasi peran yang dilakukan kakak tingkatnya dalam menginfiltrasi mahasiswa baru dengan nalar mosi tak percaya kepada pimpinan institusi Pendidikan. Bahkan, secara emosional, menganggap pimpinan institusi melakukan penyumbatan informasi tentang skema pembiayaan Pendidikan yang dianggap memberatkan.
Padahal, skema pembiayaan pendidikan berbasis Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2013 pasal 1 ayat 3 menekankan pada kondisi ekonomi orang tua. Konsekwensinya, semakin tinggi penghasilan orang tua, maka semakin tinggi juga nilai UKTnya. Akan tetapi, ketika ada orang tua yang kondisi ekonominya rendah, maka rendah pula nilai UKTnya.
Bahkan, untuk mengatasi persoalan lain ketika ada orang tuanya yang merasa keberatan membayar UKT yan sudah ditentukan, setiap perguruan tinggi menerapkan kearifan lokal dengan cara banding UKT. Sehingga, setiap mahasiswa yang dalam perjalanannya tidak lagi mempunyai kemampuan membayar uang Pendidikan, bisa tetap melangsungkan proses belajarnya di perguruan tinggi.
Secara sosiologis, penentuan UKT yang dalam skema pembiayaan Pendidikan perguruan tinggi sebenarnya menganut sistem distribusi silang. Di mana, pemerintah memfasilitasi prinsip saling kerja sama (ta’awun) agar orang tua yang bertaraf ekonomi tinggi mau membantu pihak yang bertaraf ekonomi rendah. Dan, dalam model distribusi silang seperti ini, sebenarnya model UKT berupaya menegakkan asas keadilan bagi masyarakat yang sama-sama ingin melanjutkan Pendidikan di perguruan tinggi.
Namun, kebijakan UKT yang diberlakukan secara nasional sejak tahun 2013 ini dipelintir sedemikian rupa oleh kakak tingkatnya. Seolah-olah UKT merupakan proyek komersilisasi yang tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat miskin untuk kuliah. Adapun modus pelintirannya dilakukan ketika berlangsungnya PBAK. Dampaknya, PBAK menjadi arena kekerasan simbolik, di mana kakak tingkat mengindoktrinasi mahasiswa baru agar “tidak percaya” kepada pimpinan perguruan tinggi.
Untuk mengatasi “reportoir kekerasan simbolik” yang dilakukan oleh kakak tingkat di PBAK melalui cara indotriknatif, maka beberapa kampus pun melakukan pelibatan otoritas kepemimpinan untuk mencegah terjadinya “kemudaratan akademik”. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh UIN Suka yang membatasi kegiatan PBAK. Namun, dalam membatasi PBAK tidak mengurangi substansi kegiatan intinya sebagai sarana pengenalan iklim kampus yang mencerahkan dan mendidik.