Meneguhkan Spirit Perbedaan Kemanusiaan
Ditulis oleh Dr. Dra. Hj. Khurul Wardati, M.Si., Dekan Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga; dan Dr. Ir. Shofwatul 'Uyun, S.T., M.Kom., Wakil Dekan Bidang 1 Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa dan bersuku agar kamu saling mengenal.” (QS al-Hujurat: 13). Ayat Alquran di atas mendedahkan pesan moral adiluhung dan luhur. Melalui ayat tersebut, Alquran ingin memompa spirit dan naluri kedirian setiap orang bahwa perbedaan adalah fitrah dalam kehidupannya. Melalui ayat itu pula, Alquran ingin menegaskan kepada kita semua, tak ada daya apa pun dari manusia yang bisa memaksa kehendak untuk sama dan seragam kepada yang lainnya.
Lalu ketika Alquran yang menjadi sumber utama dalam setiap pikiran, tindakan, dan sikap sudah meniscayakan perbedaan sebagai landasan ekspresi pergaulan, apakah kita masih mau mengingkarinya? Bukankah perbedaan menjadi arena bagi setiap orang untuk saling mengenal? Bahkan, perbedaan menjadi instrumen penting dalam menggapai kerahmatan. Pada titik ini, sangat miris rasanya bila masih ada di antara kita yang selalu berjibaku mempertahankan keseragaman untuk meraih kepuasan emosional kelompok. Ini terbentang jelas pada era digital, media sosial yang menjadi perangkat utama persuaan secara lintas batas hanya dimanfaatkan sebagai alat indoktrinasi pemaksaan kehendak.
Setiap warganet (netizen) yang berduyun-duyun memasuki belantara dunia maya untuk sekadar mengunggah aktivitas keseharian, membagi pikiran, mencurahkan unek-unek persoalan hidupnya, sering terjebak dalam kubang pembenaran diri sembari mendiskreditkan pihak lain. Tak jarang warganet mempersekusi siapa pun yang dianggap tidak mempunyai pandangan dan tindakan yang sama dengan cara-cara tak manusiawi. Dampaknya, media sosial mulai kehilangan fitrahnya sebagai arena bertegur sapa dan silaturahim yang positif-konstruktif. Bahkan, pada titik paling nadir, media sosial digunakan sebagai alat propaganda untuk menumpahkan perlawanan dan permusuhan antarkelompok. Tak jarang pula, media sosial sengaja didesain sekelompok orang untuk memprovokasi perpecahan dan konflik sosial.
Perbedaan Kemanusiaan
Berangkat dari problem sosial yang semakin akut dan kronis, yang salah satu penyebabnya ketidakarifan menggunakan media sosial, UIN Sunan Kalijaga mengingatkan dan membentengi masyarakat agar tidak semakin terpapar. Yakni, dengan menggaungkan kembali pesan moral “kebersamaan kemanusiaan dalam perbedaan–perbedaan kemanusiaan dalam kebersamaan”. Pesan moral berlatar landasan teologis, yuridis, filosofis, dan landasan sosio-antropologis ini ingin ditegakkan secara masif ke berbagai ruang maya. Ini penting agar era digital yang menjadi bagian penting peradaban global manusia, tak terjerembab dalam aksi tak bertanggung jawab dan hipokrit. Justru, yang perlu didigdayakan, bagaimana menjadikan media sosial sebagai ruang katalisator dalam membumikan spirit keragaman.
Sebab, disadari atau tidak, ketika netizen bergabung dalam berbagai platform media sosial, sejatinya berangkat dari niat setara. Yaitu, bagaimana menganggit berbagai potensi dan inovasi agar bermanfaat bagi semua kalangan dengan latar belakang afiliasi dan posisi beragam. Karena itu, betapa pentingnya spirit “kebersamaan kemanusiaan dalam perbedaan–perbedaan kemanusiaan dalam kebersamaan” pada era digital, UIN Sunan Kalijaga menggandeng berbagai simpul komunitas yang selama ini menjadi penggerak diseminasi dan merawat keragaman. Keberadaan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan umat Kristiani yang sudah hadir dan berkembang pesat di Indonesia sebelum merdeka menjadi bagian representasi komunitas yang setia mengawal spirit koeksistensi, dalam tatanan pergaulan yang beragam.
Demikian pula, komunitas sosial dan komunitas keagamaan lainnya, yang turut dalam ikatan kebangsaan menjadi trigger yang saling mengisi dan saling melengkapi. Atas peran dan khidmat tiga komunitas —NU, Muhammadiyah, dan Kristiani— yang sudah teruji konsistensinya, pada Senin ini, 13 Februari 2023 UIN Sunan Kalijaga memberikan doktor kehormatan (doctor honoris causa) kepada ketiga tokohnya. Mereka adalah KH Yahya Cholil Staquf (ketua umum PBNU), dr. Sudibyo Markus (ketua PP Muhammadiyah), dan Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot (Presiden Badan Kepausan untuk Dialog Lintas Agama dan Vatikan). Melalui penganugerahan doktor kehormatan, ada harapan besar pada tiga komunitas keagamaan, juga komunitas lainnya, agar bisa bekerja sama mengawal dan merawat spirit “kebersamaan kemanusiaan dalam perbedaan–perbedaan kemanusiaan dalam kebersamaan”.
Semoga penganugerahan doktor kehormatan kepada tiga tokoh di tiga komunitas ini menjadi amal saleh UIN Sunan Kalijaga, yang mampu menginspirasi siapapun agar melek keragaman dan sadar perbedaan sebagaimana ditegaskan Alquran (QS al Hujurat: 13).