TANTANGAN DAKWAH KONTEMPORER (Hamdan Daulay)

Di tengah dinamika sosial, politik, ekonomi, budaya, dan kesenjangan sosial, membuat peran dakwah menjadi sangat penting dalam mewujudkan kedamaian di tengah masyarakat. Seiring dengan maraknya tantangan dakwah, mulai dari persoalan kemiskinan, gesekan politik, hingga banyaknya ujaran kebencian, seyogyanya harus ada reaktualisasi dakwah. Pesan dakwah yang sejuk untuk menguatkan toleransi, moderasi dan kedamaian bagi semua, perlu terus ditingkatkan. Seiring dengan perkembangan budaya di tengah masyarakat, tantangan dakwah pun semakin berat. Juru dakwah perlu memahami persoalan-persoalan kontemporer, sehingga bisa memberi solusi dakwah yang tepat.

Ketika tokoh-tokoh agama (kiai) semakin banyak yang terlibat dalam politik praktis dengan pilihan politik yang berbeda, dengan sendirinya memunculkan polarisasi di tengah masyarakat. Bahkan tidak hanya sebatas polarisasi, namun bisa menimbulkan konflik, ujaran kebencian dan juga terjebak dalam “politisasi agama”. (Kedaulatan Rakyat, 19 September 2023). Kebijakan pemerintah untuk mencegah “politisasi agama” terkesan hanya sebatas retorika yang tak konsisten, karena dalam realitanya hampir semua tokoh politik melakukan hal yang sama. Ketika tokoh politik mengatakan “jangan lakukan politisasi agama”, tapi anehnya dalam waktu yang sama, ia juga melakukan “politisasi agama” untuk menyerang lawan politik.

Tokoh agama (juru dakwah) yang terjebak dengan “politisasi agama” akan mengutip ayat-ayat al Qur’an sesuai dengan kepentingan politiknya. Realita seperti ini akan memunculkan “perang ayat” antar tokoh-tokoh agama yang berbeda pilihan politik. Ayat-ayat yang suci disalahgunakan untuk kepentingan politik praktis, bahkan untuk “menyerang” lawan politik. Sungguh sangat disayangkan dan memprihatinkan manakala terjadi “politisasi agama” dengan menggunakan ayat-ayat suci untuk menyerang lawan. Padahal sejatinya ayat-ayat dakwah yang ada dalam al Qur’an mengandung pesan damai untuk semua lapisan masyarakat.

Dakwah Kampus

Reaktualisasi dakwah dari kampus adalah bagaikan cahaya dalam kegelapan yang memberi pencerahan bagi masyarakat di tengah berbagai persoalan berat yang dihadapi. Terkadang berbagai terpaan berat yang dihadapi oleh masyarakat, mulai dari persoalan politik, sosial, hingga himpitan ekonomi, membuat mereka mengambil jalan pintas di luar akal sehat. Berbagai kasus patologi sosial yang terjadi di tengah masyarakat, sering dikaitkan dengan faktor himpitan ekonomi dan praktik politik yang sering menghalalkan segala cara. Di sisi lain pemahaman akan nilai-nilai agama yang mengajarkan tentang kesederhanaan, kesabaran dan kekuatan moral semakin tercerabut di tengah semakin kuatnya budaya hedonis.

Di tengah budaya hedonis dan arus globalisasi yang begitu pesat dewasa ini, banyak masyarakat yang terpuruk dan dilanda krisis moral, salah langkah dan terjerumus pada berbagai tindakan negatif. Pergaulan bebas, keterpurukan moral, maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme, hingga praktik politik yang menghalalkan segala cara, memerlukan sentuhan dakwah. Dakwah tidak hanya sekedar ceramah di masjid dan di media massa, namun perlu tindakan nyata (dakwah bilhal). Gaya hidup masyarakat saat ini yang cenderung sekuler membuat lahirnya kegersangan spiritual yang memprihatinkan. Dalam kondisi seperti inilah kahadiran dakwah yang menguatkan, memotivasi, memberi solusi, yang mampu memberi kesejukan dan ketenangan batin sangat dibutuhkan. Reaktualisasi dakwah seperti inilah yang diinginkan masyarakat, dengan langsung pada tindakan nyata bukan hanya sebatas retorika.

Kampus memiliki sejarah panjang dalam usaha penguatan dakwah di tengah masyarakat. Dakwah kampus tidak hanya sebatas ceramah di kampus, di masjid dan tempat pengajian. Dakwah kampus juga terjun langsung ke masyatakat melakukan pemberdayaan, mendampingi kaum miskin, menguatkan yang lemah, memotivasi yang terpuruk, dan juga memberi resolusi konflik. Sejatinya reaktualisasi dakwah untuk konteks kontemporer saat ini adalah pada apek konsistensi antara ucapan dengan tindakan.

Dakwah yang ideal akan terwujud manakala juru dakwah (apakah dia kiai, dosen, mahasiswa, politisi, pengusaha, birokrat) bisa konsisten mewujudkan satunya kata dengan tindakan. Ketika kita mengatakan jangan korupsi, jangan kolusi dan jangan nepotisme, maka tidak hanya sebatas retorika, justru harus diwujudkan dalam perbuatan nyata (keteladanan). Bagaimana masyarakat bisa percaya pada pesan dakwah yang disampaikan tokoh agama dan politisi, kalau ucapan tidak sesuai dengan tindakan. Padahal sesungguhnya aspek penting dari reaktualisasi dakwah adalah pada nilai kejujuran, konsistensi dan tindakan nyata (dakwah bilhal). **

(Dr. Hamdan Daulay, M.Si. M.A. Ketua Program Magister KPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler