IMG-20251002-WA0138.jpg

Kamis, 02 Oktober 2025 10:57:00 WIB

0

Menembus Gelap, Menyalakan Cahaya: Arif Prasetyo, Mahasiswa Tunanetra UIN Sunan Kalijaga Penggagas Sedekah Iqro dan Al-Qur’an Braille

Di tengah gemerlap lampu panggung Grand Final Kalijaga Changemaker 2025, sosok Arif Prasetyo berdiri mantap. Ia tidak melihat sorot lampu yang menyorot wajahnya, tidak pula melihat ekspresi kagum dari ratusan pasang mata yang memandangnya di Aula Convention Hall UIN Sunan Kalijaga, Rabu (1/10/2025). Tapi Arif hadir dengan cahaya lain, cahaya dari visi yang ia bawa untuk anak-anak tunanetra sepertinya di seluruh penjuru negeri.

Arif adalah mahasiswa penyandang disabilitas netra dari Program Studi Manajemen Pendidikan Islam pada Program Magister, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), UIN Sunan Kalijaga. Dengan gagasan program bertajuk “Campaign Sedekah Iqro dan Al-Qur’an Braille bagi Anak-anak Tunanetra di Indonesia,” ia terpilih sebagai salah satu dari tujuh finalis terbaik, menyisihkan puluhan pendaftar dari berbagai fakultas.


Namun siapa sangka, di balik keberaniannya berdiri di panggung besar itu, terselip kisah awal yang sederhana.

"Awalnya saya tidak ingin ikut ajang ini, tapi Ibu Winarti, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama FITK, meminta saya mendaftar. Saya pikir, kenapa tidak mencoba?" kisah Arif, lirih namun yakin.

Program yang digagas Arif bukan sekadar ide kompetisi. Ia lahir dari pengalaman nyata, dari kegelisahan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang hidup dalam gelap.

"Banyak teman-teman tunanetra belum bisa membaca Iqro Braille, karena mahalnya alat. Al-Qur’an Braille bahkan lebih sulit dijangkau. Saya ingin mereka bisa belajar membaca dan mengaji secara mandiri, tanpa tergantung pada orang lain," ungkap Arif.

Sejak tahun 2021, Arif mulai menginisiasi program ini. Perlahan tapi pasti, buku-buku itu menjangkau anak-anak tunanetra dari berbagai pelosok negeri. Hingga kini, program tersebut telah menyalurkan lebih dari 267 Iqro dan Al-Qur’an Braille, dengan sistem distribusi 10 eksemplar setiap bulan di masjid yang berbeda.

Al-Qur’an Braille terdiri dalam dalam format 1 juz1 buku, agar lebih mudah digunakan. Tak hanya membagikan, Arif dan timnya juga merekrut pengajar di setiap wilayah penerima untuk mendampingi anak-anak dalam proses belajar. Ini bukan sekadar program amal, tapi gerakan kesetaraan dan pemberdayaan.

"Kami ingin anak-anak bisa membaca sendiri, menghafal sendiri. Banyak dari mereka yang menghafal Al-Qur’an, tapi tidak dapat membaca Alquran. Kami ingin mengubah itu," kata Arif dengan nada tulus.

Di tengah era teknologi dan AI, Arif menyuarakan sesuatu yang sangat mendasar dan sering terlupakan. "Iqro dan Al-Qur’an Braille tidak bisa digantikan teknologi apa pun. Ada dimensi sentuhan, pengalaman, dan spiritualitas yang tidak tergantikan," ujarnya.

Kalimat itu menggema di aula. Tak sedikit audiens yang terdiam. Ada yang menyeka air mata. Tidak hanya karena kisah Arif, tapi karena realitas yang ia bawa ke permukaan: bahwa di balik kemajuan dunia, masih banyak anak tunanetra yang kesulitan membaca kitab sucinya sendiri.

Tak mengherankan jika Arif akhirnya meraih posisi Harapan II dan dinobatkan sebagai Peserta Favorit dengan dukungan lebih dari 800 suara dari audiens. Suaranya bukan hanya terdengar, tapi menyentuh hati, menggugah kesadaran, dan menginspirasi banyak orang. Gagasannya lahir dari pengalaman nyata, bersumber dari empati yang dalam, dan menyuarakan isu yang kerap terabaikan, sebuah bentuk keberanian yang langka, orisinal, dan sarat makna.

Kisah Arif Prasetyo bukan sekadar cerita inspiratif. Ia adalah manifestasi dari core value "inklusif" yang diusung UIN Sunan Kalijaga. Di kampus ini, mahasiswa difabel tidak hanya diterima, tetapi diberdayakan dan diberi ruang untuk tumbuh, menyuarakan perubahan, dan memberi kontribusi bagi masyarakat.

"Saya bersyukur kuliah di UIN Sunan Kalijaga. Di sini saya merasa dihargai, diberi kesempatan yang sama. Saya ingin membuktikan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk berpendidikan tinggi, meraih cita-cita, dan memberi manfaat," ungkapnya.

Di hari itu, Arif memang tidak melihat lampu sorot yang menerangi wajahnya. Tapi justru dialah yang menyalakan cahaya untuk banyak jiwa, menembus gelap dengan kasih, ilmu, dan ketulusan.(humassk)