Prof. Dr. Hj. Istiningsih, M.Pd., Dikukuhkan sebagai Guru Besar UIN Sunan Kalijaga
Orientasi program studi kependidikan saat ini sangat terpengaruh oleh era digital dan memberikan perhatian yang besar pada penggunaan teknologi dan media digital dalam proses pembelajarannya, serta keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan di era digital.
Hal tersebut disampaikan Prof. Dr. Hj. Istiningsih, M.Pd. saat menyampaikan orasi ilmiah Guru Besarnya yang bertajuk “Trend dan Orientasi Program Studi Kependidikan di Era Digital,” 09/5/2023, di Gedung Prof. RHA. Soenarjo, SH., atau Convention Hall, kampus UIN Sunan Kalijaga. Prof. Dr. Hj. Istiningsih, M.Pd. dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Teknologi Pendidikan oleh Ketua Senat UIN Suka, Prof. Siswanto Masruri berdasarkan SK Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI nomor 5421/M/07/2023.
Hadir dalam Rapat Senat Terbuka kali ini antara lain: Rektor UIN Suka, Prof. Phil Al Makin, para Wakil Rektor, anggota senat universitas, Para Dekan, tenaga kependidikan, keluarga besar, tamu undangan dan segenap Sivitas Akademika UIN Sunan Kalijaga.
Lebih lanjut, Prof. Dr. Hj. Istiningsih, M.Pd., menjelaskan bahwa judul orasi ilmiahnya terinspirasi oleh hadirnya Robot Sophia dan Artificial Intelligence (AI) yang menjadi topik ketika berdiskusi dengan Rektor UPI beberapa waktu yang lalu. Disebutkan bahwa kehadiran Robot tersebut merupakan bagian dari perkembangan teknologi informasi yang sangat berpengaruh dalam bidang pendidikan dan mampu memberikan dampak positif bagi perkembangan pendidikan di era digital. ”Sophia memiliki kemampuan untuk berbicara, berpikir, dan menunjukkan emosi seperti layaknya manusia, yang membuatnya menjadi robot. Al yang menarik dan menyedot perhatian. Al juga memiliki aplikasi dalam perawatan kesehatan, berbagai bidang, seperti pemasaran, penerbangan, dan banyak lagi, tidak terkecuali juga bidang pendidikan. Kita berharap, peran Guru, Dosen, Pendidik tidak sepenuhnya digeser oleh robot.” ujarnya.
Kemudian, perempuan yang baru saja dilantik sebagai Ketua Program Doktor Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) pada akhir bulan Februari yang lalu ini menuturkan bahwa perguruan tinggi harus terus menyesuaikan diri dengan perubahan dalam dunia pendidikan. Perguruan tinggi dapat melakukan peninjauan dan memperbarui kurikulum, menjalin kerja sama dengan industri, dan menyediakan fasilitas dan sumber daya yang memadai.
Selain itu, program studi kependidikan perlu melakukan beberapa langkah untuk membangun mahasiswa di era digital. Langkah-langkah tersebut antara lain memperkenalkan teknologi digital, mendorong kreativitas dan inovasi, memberikan akses ke sumber daya digital, dan mendorong kolaborasi. Semua hal tersebut bertujuan untuk membangun mahasiswa yang siap menghadapi tantangan di era digital, memiliki hard dan soft skill yang dibutuhkan.
“Ada penelitian yang menyebutkan bahwa terlalu lama menghabiskan waktu di media sosial dapat mengacaukan kemampuan dalam berpikir rasional dan membuat kesepian. Sehingga pendidikan juga harus memperhatikan pengaruh teknologi digital terhadap kesehatan mental dan fisik Mahasiswa dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi dampak negatifnya.” jelasnya. Kurikulum dan metode pembelajaran harus diadaptasi agar sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Pentingnya penerapan pendekatan pembelajaran berpusat pada mahasiswa dan berorientasi pada pengembangan kompetensi yang relevan dengan tuntutan zaman. Peran teknologi dalam pendidikan semakin besar di era digital, sehingga diperlukan pengembangan kemampuan digital bagi para dosen dan mahasiswa.
Menanggapi pidato ilmiah pengukuhan Guru Besar Prof. Istiningsih, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Al Makin antara lain menyampaikan, Pendidikan di era digital telah memunculkan respon kecemasan. Era digital, 4.0 ataupun 5.0, menunjukkan kecemasan dan kekhawatiran masa depan. Karena teknologi digital dan kemampuan ciptaan manusia sudah melebihi manusia itu sendiri. “Kita cemas dan khawatir, tugas-tugas manusia akan diambil alih oleh robot. Prof. Isti menggambarkan generasi masa lalu yang cemas. Dan terbukti tahun 2000 sudah kita lewati. Betul pintu kaca di bank terbuka sendiri. Tak terbayangkan tahun 1980. Juga mesin melayani ATM, QRIS, dan ponsel tambah sakti. Google dan Chat GPT. Semua sudah ada.”
Indonesia dituntut beradaptasi. Kesempatan kerja sempit, sehingga dituntut beradaptasi menciptakan lapangan pekerjaan berbasis digital. Misalnya, perawatan robot, atau pekerjaan berbasis pesan online. Corona 19 tidak hanya menciptakan krisis kesehatan, dan pola kita berinteraksi, sekaligus juga covid 19 mengajari zoom, google meet, delivery, dan lain-lain. Jadi kekhawatiran akan hilang jika ada kreativitas.
Menurut Prof. Al Makin, sangat penting dunia Pendidikan beradaptasi dengan dunia digital. Namun tidak kalah penting untuk mengatasi krisis keteladanan. Banyak teori tentang demokrasi, aturan baru keluar setiap hari, jargon-jargon digital dibunyikan terus untuk menakut-nakuti kita. Pendidikan telat, pendidikan lambat, akademisi kalah. Semua bisa disalib dengan Artificial Intelligence, tetapi tidak peran moral. Banyak orang hebat, banyak orang karirnya melejit, tetapi kalah oleh nafsu dan moralitas. Oleh karena itu dunia pendidikan tetap penting untuk menekankan moral. Pesan moral perlu ditegakkan dengan cara era digital dan media digital pula. Sikap demokrasi para akademisi dalam era saat ini juga penting terutama menghadapi: keterbukaan dan aksesibilitas fleksibel dan mandiri: Mahasiswa dapat belajar dimana saja dan kapan saja tidak terikat waktu dan tempat. Pembelajaran harus adaptif:
Namun kenyataannya dalam pembelajaran dunia pendidikan, peran digital masih menyisakan masalah. Misalnya; zoom meeting atau google meet tidak benar-benar diikuti (hanya meninggalkan gambar profil saja). Maka tatap muka tetap penting. Tatap muka tetap memberi berkah. Tatap muka memastikan kita membaca mimik wajah. Tatap muka, salaman, saling menatap, dan saling mendengar langsung tak tergantikan oleh digital. Berlebihan kalau digital bisa menggantikan hubungan manusia dengan manusia, kata Prof. Al Makin.
Di era digital, Guru atau Dosen berperan sebagai pelaksana dan pemandu pendidikan daring; penyedia bimbingan dan dukungan atau fasilitator dan mediator; penyedia keterampilan digital; penelitian dan inovasi; pengembang strategi pembelajaran, pemandu pembelajaran; assessor dan evaluator; terus belajar dan mengembangkan diri; menjaga komunikasi dan interaksi dengan mahasiswa. Namun semua peran itu tidak bisa memandu moral Mahasiswa. Kejujuran, yang saat ini langka, harus dengan tatap muka. Publik kita merindukan contoh dan tauladan kejujuran, yang bukan digital. Kejujuran perlu contoh dan interaksi. Semangat hidup dan keteladanan perlu interaksi langsung. Demokrasi kita sudah menjadi demokrasi tiktok, joget-joget, nyanyi-nyanyi kecil, tetapi pesan moral tidak tersampaikan. Hanya pengajian-pengajian pendek yang bisa dinikmati lucunya atau kontroversinya. Dunia kita dipenuhi dengan kebencian dan pemojokan. Komentar negatif dan menjatuhkan yang tidak disukai, imbuh Prof. Al Makin.
Era digital membantu dalam hal teoritis, seperti statistik, astronomi, matematika, atau hal-hal yang bisa dihitung dan membantu pemahaman. Tetapi pada hal yang bersifat pengalaman, harus berjumpa dan bertatap muka. Pendidikan membutuhkan etika, moral, dan contoh. Semua metode digital adalah shortcut, jalan pintas yang memudahkan. Tetapi proses panjang dalam kehidupan, ketangguhan dalam hidup, tidak putus asa, mencintai sesama, dan solidaritas sesama manusia tetap membutuhkan pengalaman langsung. Problem di Indonesia adalah problem integritas. Aturan, teknologi, dan semua artificial intelligence membantu memecahkan masalah angka, tidak dengan tingkah laku dan sikap manusia. Dosen tetap menjadi acuan. Dan perlu ditegaskan bahwa bahwa moral dan etika harus tetap ada di sekolah dan kampus melalui keteladanan Guru dan Dosen, demikian tegas Prof. Al Makin. (RTM/Weni/Ihza)