Seminar Kebangsaan; Pemilu untuk Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Gemericik pesta demokrasi dalam bentuk Pemilihan Umum sudah dimulai, Partai-partai dan para calon pemimpin Bangsa ini Nampak muncul kepermukaan. Namun, Pesta lima tahunan ini sejatinya harus tetap mengedepankan penghayatan atas Nilai-nilai.
Pancasila, karena diatas hiruk-pikuk politik adalah kemanusiaan. Pemilu harus melahirkan rasa keadilan dan prosesnya harus berjalan diatas jiwa bangsa yang beradab.
Perguruan tinggi sebagai bejana kebijaksanaan ilmu pengetahuan memiliki tanggungjawab dalam memberikan Pendidikan dan pemahaman tentang sejatinya Pemilu. Untuk itu Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora beserta ISAIs (Institute of Southeast Asian Islam) UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan Seminar Kebangsaan dengan tema “Pemilu untuk Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Acara yang dilaksanakan pada 07/07/2023 di Conference Room FISHUM ini menghadirkan pembicara nasional sekaligus tokoh dalam pengamalan Pancasila. Dr. Benny Susteyo atau akrab disapa Romo Benny staff khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP RI.
Acara diawali dengan Bersama menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Hymne UIN Sunan Kalijaga, kemudian seraya mengucapkan salam Pancasila. Dalam sambutannya Dekan FISHUM Dr. Moh. Sodik, M.Si. menyampaikan bahwa tema yang diangkat sangat penting dan memiliki landasan filosofis yang kuat mendasar pada UUD dan Pancasila kita. “Keadilan dan keberadaban itu penting kita miliki. Perguruan tinggi memiliki peran penting dalam mewujudkannya. UIN Sunan Kalijaga dengan BPIP memiliki hubungan kuat karena ini penting dalam rangka mewujudkan manusia yang adil dan beradab. Kerjasama yang baik ini diperlukan untuk keberlangsungan negara ini. Mari kita lanjutkan semangat dan visi dari Romo Benny, para luluhur kita semuanya”. Dekan berharap kegiatan seperti ini menjadi bagian dari ikhtiar kampus dalam mengawal pesta demokrasi yang jujur, adil dan berkeadaban. “Dalam konteks pemilu, mari kita jaga masing-masing untuk dapat mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab” imbuhnya.
Acara yang dipandu oleh Tika Fitriyah, M. Hum. Dosen sekaligus anggota ISAIs UIN Sunan Kalijaga ini memulai dengan pembukaan wacana tentang pemilu yang akan datang. Dalam kesempatan ini, Romo Benny Susetyo menyampaikan tentang pentingnya kita tahu apa itu latar belakang dari pelaksanaan pemilu. “Pemilu merupakan perebutan kekuasaan, yaitu bagaimana partai politik dengan segala cara mendapat simpati rakyat. Oleh karena itu, carilah pemimpin yang dosanya paling kecil, yang rekam jejaknya paing kecil dosanya- frans magnis suseno” sambungnya.
Lebih lanjut Romo Benny menyampaikan “politik elektoral akan semakin gegap gempita sehingga sejak dini, kita harus meluruskan cara pandang tentang bagaimana seluruh pihak yang berkepentingan dengan pemilu 2024 tetap menjaga kualitas pemilu kita agar konsolidasi demokrasi kita terjaga dan tetap menuju arah yang tepat”. Untuk mewujudkan pemilu yang demokratis, di Indonesia ini menghadapi berbagai macam tantangan yaitu dalam menghadapi isu politik identitas yang memanipulasi agama dan sifat kedaerahan.
Isu-isu tersebut yang membuat demokrasi mengalami kemunduran. Pemilu itu seharusnya ditegakkan dengan menggunakan nalar rasional bukan irasional. Namun, tantangan yang kita hadapi di Indonesia ini terkait dengan adanya disonansi kognitif. Disonansi kognitif dipahami sebagai ketidakcocokan hubungan antaelemen kognisi. Pengetahuan, pendapat, keyakinan atau apa yang dipercayai tentang dirinya sendiri dan lingkungannya merupakan bagian dari elemen-elemen pokok kognisi (Leon Festinger dalam A Theory of Cognitive Dissonance).
Kepada para peserta yang hadir dalam acara ini yang merupakan para dosen, peneliti dan mahasiswa, Romo Benny berpesan untuk saat ini cara yang ampuh dalam memberikan edukasi tentang pemilu salah satunya dengan menggunakan media social. Namun, Penggunaan media sosial menjadi salah satu tantangan dalam pelaksanaan pemilu. Media sosial digunakan sebagai alat untuk menjadi pemecah persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini dikarenakan minimnya literasi digital. Kita perlu waspada jangan sampai muncul gap yang menganga antara keinginan elite baik caleg, calon senator DPD, maupun calon presiden/wakil presiden dengan harapan masyarakat, yang bisa menimbulkan disonansi kognitif yang makin mendalam dan meluas.
Dr. Benny Susetyo mengatakan bahwa pemilu yang berkualitas terjadi jika seluruh kontestan bisa meraba suasana kebatinan di masyarakat bahwa yang dibutuhkan dari regularitas penyelenggaraan pemilu itu ialah perbaikan nasib bangsa dan negara ini ke depan, yang akan berdampak ada kehidupan masyarakat. Bukan semata menjadi “hajatan” elite yang bisa dinikmati dai, oleh, dan untuk elite semata. Pemilu berkualitas itu merupakan komitmen partai politik untuk menghadirkan kualitas kompetisi yang berkualitas dalam konteks keadaban demokrasi. Para peserta pemilu menjadikan ide sebagai perdebatan. Bukan identitas, isu SARA, ataupun memori-memori masa “keemasan” jaman dahulu. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Pemilu itu merupakan alat dalam menarik simpati rakyat bukan untuk politik identitas, menyebarkan berita bohong, hoax namun untuk menyebarkan gagasan, dialektika, dan pendidikan politik.
Pemilu berdasarkan pancasila dapat diwujudkan jika masyarakat memiliki nilai ketuhanan, mereka takut pada Tuhan; mereka mencintai Tuhan sehingga tidak akan menghancurkan martabat manusia lainnya. Martabat manusia lainnya tidak akan direduksi sehingga nilai kemanusiaan dijunjung tinggi. Karena nilai kemanusiaannya dijunjung, maka mereka akan menjaga persatuan; itulah nilai persatuan. Karena bersatu, tidak ada mayoritas moniritas, semua orang sama, itulah sila keempat. Dan dari situ, tercipta kolaborasi untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk membangun pemilu yang beradab maka perlu kita kobarkan pendidikan politik berdasarkan etika dan moral Pancasila. Berpolitik adalah untuk kesejahteraan umum, itulah cita-cita kita berbangsa dan bernegara, sebagaimana dituang dalam Pembukaan UUD 1945. elite politik mengedepankan Pancasila sebagai etika publik dan alat pemersatu. Mereka tidak boleh bicara soal keluar dari Pancasila. Partai politik mengendalikan tim sukses dan sosial yang menyebarkan hoaks dan kebencian serta selalu mengedepankan nilai musyawarah mufakat.
Penggiat media sosial menjadi pemutus kata buka pengiya kata, menjadi kritis untuk menelaah informasi. Kita harus menjadi wasit yang adil agar media sosial bukan penghancur tetapi menjaga persatuan Indonesia. Partisipasi publik diperlukan untuk menjaga moral dan pendidikan pemilih yang cerdas. Oleh karena itu, gunakan konten positif di media sosial dengan menyebarkan informasi yang benar, edukatif, menghibur, dan inspiratif.
Pesta demokrasi melalui pemilu yang adil dan beradab memang tidak langsung terlihat hasilnya, namun membutuhkan kesabaran. Demokrasi itu proses menjadi, maka dalam proses tersebut tidak ada yang ideal tetapi paling tidak mendekati. Pemilu bukan mencari yang terbaik tetapi mencegah yang buruk untuk berkuasa. Kampus merupakan agent of change, melalui kampus dapat menyebarkan edukasi untuk menyemarakkan pesta demokrasi 2024 nanti. (Tim Media FISHUM)