Soroti Ketahanan Organisasi Aisyiyah, Prof. Syamsiatun Dikukuhkan Sebagai Guru Besar
Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Hj. Siti Syamsiyatun, M.A., Ph.D.
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengukuhkan Prof. Dra. Hj. Siti Syamsiyatun, M.A, Ph.D., sebagai Guru Besar. Prosesi pengukuhan Guru Besar Prof. Syamsiyatun dilaksanakan dalam Sidang Senat Terbuka yang dipimpin oleh Ketua Senat Universitas, bertempat di Gedung Prof. Soenarjo, S.H., 28/3/2024. Prof. Syamsiatun dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Kajian Islam dan Gender oleh Ketua Senat Universutas, Prof. Kamsi, berdasarkan S.K. Menteri Agama RI Nomor: 116215/B.II/3/2023, tanggal 19 Oktober 2023. Hadir pada agenda rapat senat terbuka kali ini antara lain; Rektor UIN Sunan Kalijaga, para pimpinan universitas, Dekanat, pimpinan unit dan lembaga, jajaran kepengurusan Organisasi Aisyiyah DIY dan dari berbagai wilayah di Indonesia, civitas akademika UIN Sunan Kalijaga, serta dari keluarga dan kolega.
Di hadapan para hadirin pada Sidang Senat Terbuka kali ini, Prof. Syamsiyatun menyampaikan Orasi Ilmiahnya berjudul “Strategi Ketahanan Organisasi Perempuan Islam di Indonesia – Perspektif Transformasi Konflik dan Islah.” Pada Orasi Ilmiahnya Prof. Syamsiatun antara lain menyampaikan, perempuan Islam Indonesia telah berorganisasi sejak awal abad kedua puluh, jauh sebelum lahirnya negara Indonesia pada tahun 1945. Perempuan telah berorganisasi karena berbagai alasan, namun mereka semua sepakat bahwa dengan berorganisasi mereka dapat mencapai tujuan yang jauh lebih bermakna dibandingkan dengan bertindak secara individu.
Dijelaskan, melalui berorganisasi perempuan Indonesia memimpikan kehidupan yang lebih baik bagi perempuan, anak-anak pada khususnya, dan kemanusiaan pada umumnya. Beberapa organisasi memfokuskan pekerjaan mereka pada pendidikan, sementara yang lain pada pemberdayaan ekonomi dan peningkatan kesehatan.
Ketika berorganisasi, tidak diragukan lagi, mereka menghadapi berbagai konflik yang terus-menerus di dalam organisasi dan antar organisasi. “ Jika kita mengawali dengan sekitar 30 organisasi perempuan yang mengikuti Kongres Perempuan pertama pada bulan Desember 1928, kini kita hanya menemukan tiga organisasi yang masih eksis, yaitu ‘Aisyiyah, Wanito Katholiek, dan Wanito Taman Siswa. Selebihnya, sebagian besar organisasi perempuan memudar dan mati,” demikian ungkap Prof. Syamsiyatun.
Penelitian Prof. Syamsiyatun menemukan bahwa kemampuan menyelesaikan konflik menjadi faktor penting yang membuat organisasi perempuan berkembang atau punah. ‘Aisyiyah sebagai salah satu peserta aktif Kongres Perempuan Pertama, menunjukkan adanya startegi bertahan dan keberlanjutan yang beragam dalam menghadapi berbagai konflik, baik internal maupun eksternal. Sejak didirikan pada tahun 1917, Aisyiyah senantiasa melayani kepentingan perempuan dan anak-anak, melalui berbagai bidang pekerjaan dan model layanan.
Seperti semua organisasi, ‘Aisyiyah telah menghadapi permasalahan dan konflik dalam menjalankan roda organisasi yang telah memiliki ribuan amal usaha yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Startegi apa yang dipilih oleh ‘Aisyiyah untuk mempertahankan eksistensinya sementara organisasi lain tercerai-berai dan lenyap?
Dijelaskan Prof. Syamsiyatun, beberapa jawaban dari perspektif teori transformasi serta islah adalah: pertama, ‘Aisyiyah memiliki kemampuan fleksibel dalam beradaptasi dengan lingkungan dan tantangan baru; ia bersedia untuk berevolusi; seperti dalam kasus perubahan nama. Ketika nama Jawa-sentris Sapa Tresna sudah tidak lagi menginspirasi dan relevan bagi anggota baru di luar Jawa maka organisasi tersebut mengadopsi nama baru ‘Aisyiyah. Nama baru ini terbukti inspiratif dan melampaui batas budaya lokal.
Kedua, kemampuan ‘Aisyiyah dalam memilih berbagai strategi untuk mengatasi konflik organisasi yang mereka hadapi sehari-hari. Penelitian yang dilakukan Prof. Syamsiyatun menunjukkan bahwa ‘Aisyiyah telah menerapkan berbagai strategi untuk menyelesaikan dan mengubah konflik organisasi mereka dari tindakan yang mengancaman, dan perlawanan menjadi negosiasi, musyawarah dan bahkan transformasi menjadi modal maju berkembang bersama.
Secara umum, dapat dilihat bahwa ‘Aisyiyah lebih memilih negosiasi dibandingkan konfrontasi dalam sebagian besar kasus konflik yang saya ulas. Ketika ‘Aisyiyah menolak rencana yang diajukan organisasi perempuan lain, hal tersebut tidak hanya menjelaskan dalil yang dibantah oleh ‘Aisyiyah, yaitu dalam hal menjual lotre untuk penggalangan dana. ‘Aisyiyah tidak hanya menolak ide penjualan lotre, namun juga menunjukkan cara baru yang bisa diterima oleh seluruh anggota dan tidak melanggar norma agama yang dianut oleh organisasi terkait, yaitu dengan mengusulkan bazar dan donasi dari fasilitator.
Aisyiyah memiliki daya tahan dalam mencari cara namun tetap menjaga hubungan, bahkan dalam kasus organisasi “X” dimana ‘Aisyiyah sering mengalami konflik organisasi. Mengenai strategi ketahanan organisasi ‘Aisyiyah dalam menyikapi konflik, dalam penelitiannya Prof. Syamsiyatun menemukan bahwa, kepemimpinan ‘Aisyiyah menyimpan hikmah dan pengalaman yang ditunjukkan oleh para aktivis ‘Aisyiyah dari waktu ke waktu. Kepemimpinan ‘Aisyiyah saat ini telah menegaskan bahwa seluruh aktivis ‘Aisyiyah dibekali dengan dasar-dasar kebajikan dan keterampilan untuk menangani kasus-kasus konflik. Kepentingan kesatuan dan keberlangsungan organisasi dihormati dan diutamakan di atas kepentingan pribadi anggota. Pemimpin ‘Aisyiyah di semua tingkatan dibekali dengan pengetahuan tentang peraturan organisasi dan etika.
Mengakhiri Orasi Ilmiahnya ibu 1 anak dari suami : Drs. H. Muhammad Arif Prajoko ini menyampaikan kesimpulannya bahwa kemauan dan kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi dan tantangan baru, serta keuletan untuk menemukan kepentingan bersama dari berbagai lembaga, intra dan antar organisasi telah membantu ‘Aisyiyah untuk dapat bertahan utuh lebh dari seratus tahun. Kemampuan lebih untuk memilih dan menerapkan strategi yang berbeda dalam mengatasi konflik juga merupakan faktor kunci bagi kelangsungan organisasi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. “Tanpa keterampilan minimal untuk mengatasi konflik, sebuah organisasi mempunyai peluang lebih besar untuk berantakan dan musnah, “demikian tegas Prof. Syamsiyatun. (Humas)