Dialog Pada Pameran Tunggal Prof. Al Makin: Prof. Al Makin Beberkan Tentang Falsafah Dalam Seni Melukis
Dialog lukisan adalah rangkain dari pameran lukisan tunggal Prof Al Makin yang digelar di Museum Afandi Yogyakarta. Jumat (14/6/2024), sosok nomor 1 di UIN Sunan Kalijaga, mengungkapkan proses kreatifnya dalam melukis. Melukis ternyata bukan sesuatu yang baru bagi Al Makin dan keluarga. Sejak kecil, dia dan keluarganya sering melukis bersama, mulai dari membuat sketsa hingga menggunakan cat air. Proses kreatif itu beliau lakukan di belakang rumah di tengah pesawahaan bersama buah hatinya, diiringi suara burung perkutut dan burung emprit yang lalu lalang yang tidak jarang menjadi musuh bagi para petani.
Menurut akademika dengan background filsafat ini, melukis adalah sarana yang ampuh ketika ingin menyendiri dan memahami diri sendiri, bertanya dan berkonsultasi pada diri sendiri, penyembuhan diri sendiri, menyelami kainginan dan perasaan sendiri. Lebih jauh lagi melukis adalah bagian dari ibadah, berdoa, dan pembebasan. Melukis sama halnya dengan menulis buku harian yang di era 70,80,90 an sangat membumi, yang hari ini mulai tergeser dengan update status di social mendia untuk mendapat perhatian banyak orang. Melukis adalah cara, memerdekakan diri, cara lain untuk bercerita dan mengekspresikan perasaan dengan tidak berlebihan, tidak menarik perhatian orang banyak, tetapi memberikan manfaat.
Menjadi penting yang disampaikan Prof Al Makin, melukis adalah penyalur energi positif sehingga tidak ada waktu untuk menggerutu, tidak bersyukur, dan tidak sempat untuk berpikir negatif. Melukis membuat hari-hari disambut dengan penuh gembira. Menjadi pemimpin tidak penting untuk banyak berkata-kata, banyak memerintah, cukup dengan teladan yang salah satunya diungkapkan melalui gagasan lewat media lukisan.
Dr. Suwarno Wisetrotomo sebagai kurator yang hadir dalam kegiatan tersebut memberikan apresiasi tinggi terhadap paparan Prof. Al Makin. "Beliau telah memaparkan dengan sangat substansial mengenai apa yang dikerjakan dalam melukis, untuk apa lukisannya, dan bagaimana beliau menyerap realitas. Seniman adalah profesi terbuka yang bisa ditekuni oleh siapapun tanpa harus memiliki ijazah, karena yang diperlukan adalah totalitas sikap, pikiran, keterampilan, dan jiwa," ujar Pak Warno.
Lebih lanjut, Pak Warno menyatakan bahwa kesenian Prof. Al Makin adalah upaya untuk mengabadikan pengalaman hidup. Jabatan sebagai rektor yang saat ini diemban berbatas waktu, tetapi kecendekiawanan dan sikap itu abadi. Dengan melukis Prof Al Makin sedang memaknai seluruh laku dan lelakonnya lalu menjadi artepak yang akan bermakna kapanpun, baik ketika beliau masih ada maupun setelahnya ketika sudah berada di keabadian.
Disampaikan bahwasanya seni merupakan media dengan tujuan beragam. Namun demikian watak seni selalu menyembunyikan makna yang sesungguhnya, baik itu berupa sikap, perasaan, kritik, melalui garis, bidang, cahaya, bentuk, aroma, dan lain sebagainya. Seniman sarat akan cara dan watak spiritual untuk menghindari verbalitas, bahkan verbal sekalipun sesungguhnya adalah metaforik..
Pak Warno memberikan sampel bagaimana abadinya lukisan sebagai sebuah kekayaan budaya, kritik sosial, dan karya seni. Lukisan Haryadi Sumodijoyo dengan judul “Awan Berarak Jalan Bersimpang” diduga dituangkan pada tahun 1955 setelah pemilu yang dianggap paling demokratis. Lukisan lainnya adalah buah karya Sudoyono dengan judul “Telah Lahir Angkatan enam puluh enam”. Kedua lukisan tersebut tampak verbal tp sejatinya menyembunyikan banyak hal. Lukisan pertama dengan melihat konteks, melihat waktu dan siapa senimannya diduga kuat tulisan tersebut adalah kritik sosial politik pada tahun itu. Ketika Masyarakat sedang kacau, tidak punya orientasi krn kehilanagn teladan seperti situasi sekarang. Lukisan kedua, tampak sesosok pemuda membawa cat seperti sedang ikut coret moret demonstrasi di Jakarta dengan adegan demonstrasi Angkatan 66 di belakangnya.
“Apa benar seni hanya untuk bersenang-senang? Punya kekuatan melakukan provokasi? Seni untuk menumbuhkan refeleksi dan mempertebal spiritualitas? Potensi2 itu selalua ada. Karena tidak pernah ada makna seni yang absolut, ruang itu memungkinkan siapapun memahami dengan modal preferensi, referensi, pengalaman mengalami seni, ketajaman jiwa, kekayaan wawasan, seberapa banyak membaca, menonton, mendengarkan akan tampak bagaimana dia memahami seni. Ini adalah percakapan asyik dan menarik, Hal ini menjadi penting karena apapun, betapapun berkesenian dalam rangka kerja kebudayaan, menjadi sebuah dosa ketika kebudayaan tidak pernah dipercakapkan” pungkasnya. (Tim Humas)