Prof. Euis Dikukuhkan sebagai Guru Besar UIN Suka, Sampaikan Pidato “Mengkaji Ulang Pembaharuan Hukum Islam Keluarga Islam Di Indonesia”
Prof. Noorhaidi dan Prof. Euis Tertawa Bersama Saat Mendengarkan Sambutan Rektor UIN Sunan Kalijaga, Kamis (4/10)
Prof. Dr. Euis Nurlaelawati, MA., Ph.D., mengatakan, modernisasi pelaksanaan hukum keluarga Islam di Indonesia masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Persoalan terkait ketidakadilan dalam managemen dan pengelolaan isu-isu keluarga. Masih banyak praktek hukum keluarga yang mengarah pada konservatisme pemikiran hukum, yang bertentangan dengan cita-cita negara untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh anggota masyarakat. UU Perkawinan No. 1/1874 belum diterapkan secara baik, karena masih banyak terjadi praktek pernikahan anak dan poligami arbitrer (sewenang-wenang), yang mengabaikan nilai-nilai budaya dan paradigma sosial kontemporer, Meskipun Pemerintah juga telah melengkapi UU Perkawinan dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 1/1991, tentang kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang mengkodifikasi aturan-aturan materiil terkait perkawinan, kewarisan, dan perwakafan dari berbagai macam kitab fikih.
Demikian kalimat pembukaan pidato pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Euis Nurlaelawati, M.A., Ph.D. di Gedung Prof. RHA. Soenarjo, kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis, 4/10/18. Prof. Euis dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam bidang Ilmu Hukum Keluarga Islam oleh Ketua Senat, Prof. Dr. H. Iskandar Zulkarnain.Prof. Euis menyampaikan pidato pengukuhan guru besar bertajuk “Mengkaji Ulang Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia- Negara, Agama, dan Keadilan dalam Keluarga.”
Lebih lanjut dalam pidatonya Prof. Euis banyak menyoroti praktek-praktek hukum keluarga yang masih mengabaikan kepentingan pembangunan negara, kesejahteraan, kesetaraan gender, dan keadilan bagi seluruh anggota keluarga. Penting diketahui, demikian kata Prof. Euis, kodifikasi hukum keluarga di Indonesia telah menyesuaian dengan trend kodifikasi hukum keluarga di negara-negara Muslim dunia seperti Turki, Iran, Tunisia, Maroko dan lain-lain, dan norma-norma universal, dipengaruhi modernisasi yang menuntut reformulasi konsep penerapan hukum keluarga Islam untuk menjawab tantangan-tantangan kontemporer. Hal ini disebabkan banyak kasus permasalahan keluarga di era modern ini tidak lagi bisa diselesaikan dengan kitab-kitab fikih klasik.
Namun dalam prakteknya, berbagai argumen dan pertimbangan hukum para hakim, ulama, dan masyarakat masih banyak yang tidak mempertimbangkan hukum yang dibuat negara, tatapi justru kembali kepada doktrin-doktrin fikih klasik yang sering tidak sesuai dengan upaya modernisasi hukum Islam dan realisasi keadilan dalam keluarga, menyangkut keadilan gender dan keadilan bagi anak-anak.
Hal ini terlihat banyaknya hakim yang mengabulkan keinginan poligami karena petimbangan agar tidak terjadi perzinahan antara laki-laki dengan calon istri kedua atau ketiga (tidak mempertimbangkan implikasi buruk bagi istri dari perkawinan pertama dan bagi kehidupan anak-anak selanjutnya dari istri pertama. Atau hakim yang memenangkan hak pengasuhan anak kepada bapak, bukan kepada ibu si anak dengan pertimbangan tertentu. Hal ini tentunya telah mengabaikan keadilan gender, dan implikasi buruk bagi kesejahteraan/ketenteraman anak karena dijauhkan dari ibu kandungnya.
Lebih lauh Prof. Euis banyak menyoroti masalah ketidakadilan gender, terabaikannya kesejahteraan anak akibat keputusan hakim dan penghakiman masyarakat yang semena-mena dalam kasus-kasus peralihan agama (riddah) dalam konflik perkawinan, penerapan wasiat wajiba ahli waris non Muslim, pengaturan kewarisan. Prof. Euis juga memaparkan tentang upaya melahirkan putusan hakim yang maslaha (mementingkan perlindungan kepentingan umum, pengayoman terhadap yang lemah/yang sedang bermasalah), sampai pada putusan hakim yang memberikan dispensasi nikah anak di bawah umur. Kesemuanya itu dalam realisasinya dapat dijadikan ukuran dari kemampuan negara memastikan kenyamanan dan keadilan bagi semua warganya, kata Prof. Euis.
Dalam kajian-kajian yang dilakukan, Prof. Euis menemukan ada masalah yang fundamental terkait reformasi hukum keluarga Islam baik di Indonesia maupun di negara-negara Muslim. Yakni terkait metode dan pembaharuan hukum yang tidak cukup diterima hakim dan masyarakat kebanyakan. Oleh karena itu menurut Prof Euis, agar pembaharuan hukum keluarga Islam bisa diterima dengan baik semua kalangan, perlu adanya pendekatan intra doctrinal reform (menekankan pada rujukan pandangan hukum para ulama fikih), dan extra doctrinal reform (pandangan di luar ulama fikih yang sifatnya universal-tidak dipengaruhi kepentingan sosial-politik temporal-dijiwai karakter kepribadian Indonesia). Dengan memadukan kedua metode ini diharapkan akan terbangun kondifikasi hukum keluarga Islam dengan jembatan penghubung antara gerakan kembali kepada al Qur’an dan as-Sunnah dengan orientasi keIndonesiaan yang konstitusional.
Di samping itu, di dunia akademik perlu didukung kurikulum yang melatih kemampuan berpikir yang analitis dan kritis para mahasiswa, ditopang wawasan teoritik dari ilmu filsafat, sosial-humaniora yang memadahi, namun tetap mempelajari kitab-kitab kuning sebagai dasar. Perlu juga dikembangkan kajian-kajian akademik hukum Islam keluarga yang menekankan pada law in action (living phenomenon), tidak sekedar law on the books. Yang bisa memberikan acuan bagi pemangku kebijakan dalam program pengembangan hukum. Yang bisa membuahkan perubahan wacana dan praktik hukum, penguatan sensitivitas gender bagi para hakim dan semua kalangan, serta dapat membawa kesejahteraan dan keadilan dalam keluarga.
Sementara itu, kecanggihan teknologi informasi hendaknya ditangkap sebagai wahana kemudahan bagi semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan keagamaan melalui program-program dakwah media. Meskipun penyajiannya mengikuti kehendak pasar dengan menampilkan tayangan tayangan keagamaan yang menghibur, diharapkan masyarakat bisa mengambil nilai positifnya terkait dengan demokratisasi dakwah, yang mampu memberikan kesadaran keadilan gender, kesadaran perlindungan terhadap anak-anak dan kaum yang lemah, demikian harap ibu 2 anak dari istri Prof. Noorhaidi (Direktur Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga ini).
Prof. Yudian Wahyudi menyambut baik pemikiran pembaharuan Hukum dari Prof. Euis. Menurutnya, para ulama dan ilmuwan Islam harus bisa lepas dari pemikiran purifikasi keilmuan agar bisa berkontribusi dalam mengatasi setiap permasalahan peradaban, karena Islam itu sesungguhnya Shalihun li Kulli Zaman (relevan sepanjang zaman). Sementara makna La Illahailallah dalam dunia akademik, secara Aqidah tidak bisa dirubah. Tetapi dalam tataran realistis, kalimat La Illahailallah bermakna pembebasan. Kebebasan untuk berjuang meraih prestasi tertinggi yakni Profesor (Guru Besar). Dengan menjadi Guru Besar akan memudahkan seseorang untuk mengabdi dan berbuat baik kapada orang banyak sebagai wujud ketundukannya kepada Allah SWT.
Oleh karenanya Prof. Yudian memotivasi para Dosen untuk segera menuntaskan guru besarnya. Rektor bersyukur guru besar perempuan UIN Sunan Kalijag bertambah 1 lagi, Satu guru besar lainnya adalah Prof. Syafaatun Al-Mirzanah. Karena selama ini guru besar perempuan sangat jarang, tidak hanya di UIN Sunan Kalijaga, tetapi juga di banyak perguruan tinggi di Indonesia. UIN Sunan Kalijaga sudah menyediakan beasiswa riset pasca Doktor, namun hanya sedikit perempuan yang ikut. “Kendalanya biasanya urusan domestik, seperti mengurus anak dan lain-lain,” kata Prof. Yudian.
Saat ini guru besar di UIN Sunan Kalijaga berjumlah 33 orang, karena meskipun bertambah terus setiap tahun, tapi banyak juga yang pensiun. Untuk percepatan jumlah guru besar, tahun ini pihaknya sudah menyediakan lebih dari 40 beasiswa riset pasca Doktor ke luar negeri untuk meraih gelar profesor. Diharapkan tiga tahun ke depan akan adan tidak kurang dari 50 guru besar di UIN Sunan Kalijaga, demikian tambah Prof. Yudian.
Pidato pengukuhan Guru Besar Prof. Euis dihadiri ratusan kolega dan para mahasiswa. Ada suasana romantis yang memicu keharuan para hadirin. Di tengah-tengah penyampaian pidato, rupanya panitia lupa untuk menyajikan air putih, sehingga menghambat penyampaian pidato. Prof. Noorhaidi yang juga hadir di tengah-tengah anggota senat dengan sigap mengampiri istrinya, membawakan air putih, membuat para hadirin serentak bertepuk tangan. Sepertinya Prof. Noorhaidi ingin menunjukkan bahwa seorang suami juga harus melayani istri di saat membutuhkan. Ini adalah wujud keadilan gender dalam keluarga. (Weni, Doni)