Usai Mewisuda 1.128 Sarjana Baru, Rektor UIN Suka Menyampaikan Dua Kesepakatan Besar Forum Rektor PTKIN
Usai mewisuda 1.128 sarjana baru (Rabu, 7/8/19), Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, MA., Ph.D., menyampaikan dua kesepakatan besar hasil Forum Group Discussion (FGD) para Rektor PTKIN se-Indonesia, yang diselenggarakan di Gedung Prof. RHA. Soenarjo, SH, kampus UIN Sunan Kalijaga, Senin, Selasa, 5,6/8/19, kepada sejumlah wartawan cetak dan elektronik. Dua kesepakatan tersebut adalah : Yang pertama, menolak diangkatnya Menteri Agama dari partai politik dan mengajukan 2 nama rektor PTKIN untuk diusulkan menjadi menteri agama kepada Presiden Joko Widodo. Kesepakatan yang kedua, menolak wacana Menristekdikti untuk mendatangkan Rektor asing dalam rangka mendongkrak rangking dunia, perguruan tinggi di Indonesia.
Di hadapan sejumlah awak media Prof. Yudian Wahyudi menyampaikan, munculnya kedua nama tersebut, diakui Yudian, terjadi saat pertemuan PTKIN yang dilakukan di Jakarta dan Yogyakarta. Dua nama yang diajukan forum Pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih Jokowi-Maruf Amin untuk jabatanmenteri agama (menag) periode 2019-2024 adalah Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yudian Wahyudi dan Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Fauzul Iman. Munculnya kedua nama tersebut, terjadi saat pertemuan PTKIN yang dilakukan di Jakarta dan Yogyakarta.
Keputusan pertama mengajukan dua nama ini diambil 29 Juli lalu di Grand Mercure di Jakarta. Yang kedua tanggal 5 Agustus lalu disini (UIN Sunan Kalijaga). Untuk menindaklajuti hasil pertemuan tersebut, dua rektor tersebut diminta membuat curriculum vitae (CV) yang akan disampaikan ke Jokowi. Dengan harapan Presiden Jokowi bisa mempertimbangan usulan tersebut. “Ada voting dari rapat. Tapi saya kira pertimbangannya dari track record masing-masing yang dianggap bisa mewakili rektor PTKIN,” jelas Prof. Yudian Wahyudi.
Yudian menjelaskan, pengajuan nama dari dunia akademisi tersebut disampaikan menyikapi fenomena korupsi dan jual beli jabatan yang terjadi di lembaga Kemenag, akibat menteri diisi dari partai politik. Sehingga, PTKIN sepakat mengajukan dua nama yang dicalonkan posisi Kemenag periode 2019 s/d 2024.
Menurut Yudian, meski pemilihan nama-nama menteri merupakan hak prerogatif Presiden sekaligus menjadi jabatan politik, usulan tersebut paling tidak menjadi moral force dari akademisi dalam menyikapi persoalan-persoalan di Kemenag. Sebab sudah semestinya jabatan Menag diserahkan orang profesional dan bersih dan itu dimiliki para Rektor PTKIN.
Sebagai profesional, para rektor pun pantas diusulkan sebagai Menag sesuai kriteria jabatan menteri. Dari sisi akademis atau otorita ilmu pengetahuan jelas sudah masuk, begitu pula dari pengalaman kepemimpinan yang juga terbukti. “Apalagi saat ini Pak Jokowi sedang mencari profesional untuk menteri-menterinya,” paparnya. Yudian menambahkan, dua nama Rektor UIN yang diajukan, dilihat berdasarkan rekam jejaknya selama ini.
Kesepakatan yang kedua, Rektor PTKIN dengan tegas menolak wacana Menristekdikti Muhammad Nasir, mendatangkan rektor asingke Indonesia. Prof. Yudian menyebut Menristekdikti tidak paham masalah pendidikan nasional hingga nekat berencana mengimpor rektor asing. "Harusnya (Menristek) tanya dulu kenapa kita tidak masuk seratus besar (PT terbaik dunia), terus lihat kenapa Singapura masuk, jangan malah mengundang rektor asing," kata Yudian.
Menurut Yudian, jika Menristekdikti ingin membandingkan pendidikan di Singapura dan Indonesia tidak bisa aple to aple. Hal ini dikarenakan jumlah kampus di negara itu jauh dibawah Indonesia yang mencapai lebih dari 4.000perguruan tinggi (PT). Ia kemudian mengusulkan pada Menteri Nasir memperbanyak anggaran untuk publikasi internasional sebagai salah satu indikator World Class University (WCU) untuk beberapa kampus terpilih seperti UGM, UI atau ITB yang saat ini sudah masuk 100 besar PT terbaik di dunia.
Kampus-kampus besar tersebut diberikan anggaran publikasi yang besar dengan target 10 tahun harus mampu menjadi kampus terbaik di dunia. Sebab belum tentu rektor asing memiliki kompetensi yang hebat padahal diberikan gaji yang besar. "Atau orang asing itu ditarget menerbitkan seribu makalah internasional tapi anggarannya dikurangi seribu persen, bisa tidak? Kalau tidak ya ini mubazir," tandasnya.
Dosen asing, lanjut Yudian, bisa saja didatangkan sebagai dosen tamu. Namun bila dijadikan rektor maka justru bisa mengacaukan karena rektor merupakan satu kunci dari pendidikan di PT."Kalau tidak, Nasir minta apa ke saya, jadi rektor UI asal dikasih anggaran besar maka tidak perlu ngundang rektor asing," tandasnya.
Yudian menyebutkan, persoalan yang dialami pendidikan tinggi di Indonesia lebih pada dosen-dosen yang lebih banyak terlatih menghapal daripada memiliki budaya menulis. Persoalan ini yang sebenarnya harus diatasi terlebih dulu alih-alih mengejar peringkat dunia. "Ini masalah kehormatan bangsa, jangan jadikan orang asing top leader," katanya. (Weni)