Prof. Dr. H. Agus Moh Najib, M. Ag., dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Ushul Fikih

Guru Besar Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. H. Agus Moh Najib, M. Ag., mengatakan, pandangan yang berlebihan terhadap sakralitas hukum Islam melahirkan sikap yang eksklusif, diskriminatif dan intoleran, bahkan kekerasan terhadap kelompok yang berbeda. Dalam realitasnya, sikap eksklusif dan intoleran tersebut tidak hanya dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok masyarakat, bahkan negara. Untuk menempatkan hukum Islam secara proporsional antara sakralitas dan profanitas, maka kajian yang dilakukan tidak cukup hanya pada wilayah fikih. Tetapi juga harus memasuki wilayah ushul fikih. Sebagai bidang keilmuan yang menjadi dasar bagi pembentukan fikih. Oleh karena itu perlu dilakukan redesain, reformulasi dan renovasi bangunan ushul fikih, tanpa harus mendekontruksi atau merobohkannya, dengan cara mengkaji ulang konsep-konsep dan teori-teori yang ada. Sehingga peran ushul fikih dapat lebih optimal dalam pengembangan keilmuan hukum Islam kontemporer, termasuk bagi proses legislasi dan praktek hukum di negara-negara modern saat ini.

Prof. Agus Najib menyampaikan hal tersebut saat dikukuhkan sebagai Guru Besar, bertempat di gedung Prof. H.M. Amin Abdullah, kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 4/11/2021. Prof. Agus Najib dikukuhkan sebagai Guru besar oleh Ketua Senat Universitas, Prof. H. Siswanto Masruri, berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 51749/MPK.A/KP.05.01/2021. Bapak tiga putri dari istri Sa’diyah Suhartatik, SP., ini menyampaikan pidato Guru Besar berjudul “Urgensi Redesain Ushul Fikih Bagi Pengembangan Hukum Islam Kontemporer,” dihadapan Rektor UIN Sunan Kalijaga, anggota senat universitas, dan segenap civitas akademika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Lebih jauh Prof. Agus Najib memaparkan, Redesain ushul fikih ini diarahkan untuk mendekatkan dan menginterkoneksikan antara hukum Islam dan keilmuan hukum pada umumnya. Disamping juga medudukkan posisi hukum Islam secara proporsional antara dimensi sakral dan dimensi profan yang dimilikinya. Untuk melakukan redesain tersebut, Prof. Agus Najib menawarkan empat hal.

Pertama; mendefinisikan dan memposisikan hukum Islam diantara istilah-istilah yang ada dalam tradisi keilmuan fikih klasik, yaitu; syari’ah, hukum syar’i dan istilah fikih itu sendiri. Berbeda dengan tiga istilah tersebut, hukum Islam merupakan demensi aturan hukum dari fikih yang merupakan hasil dari dialektika antara ayat-ayat dan hadis ahkam serta nilai-nilai syari’ah di satu sisi, dengan ‘urf dan realitas empirik di sisi lain. Dengan penilaian seperti ini, hukum Islam mendekati pengertian hukum pada umumnya. Sehingga bisa dilakukan dialog, interkoneksi, dan saling memberi kontribusi satu sama lain.

Redesain kedua; memposisikan mujtahid sebagai pembuat hukum(al-hakim).Dalam pembahasan ilmu ushul fikih, yang disebut sebagai pembuat hukum hanyalah Allah SWT. Bahkan Rasulullah SAW pun tidak ditempatkan sebagaial-hakim. Hal ini menyebabkan dimensi teologis dari hukum Islam lebih menonjol dari pada dimensi profanitasnya. Hukum Islam membawa beban teologis yang besar, sehingga lambat untuk berkembang mengikuti laju perubahan jaman. Padahal Rasulullah dan para mujtahid dalam keilmuan ushul fikih memiliki peran yang sangat besar dalam proses pembentukan hukum Islam. Atas dasar itu, dalam pembahasanal-hakimseharusnya semua para pembuat hukum tersebut perlu dikaji.

Allah SWT merupakan pembuat hukum yang hakiki(al-hakim al-haqiqi).Rasulullah pembuat hukum penjelas(al-hakim al-mubayyin),yang menjabarkan dan memerinci syari’ah yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Para mujtahid merupakan pembuat hukum relatif(al-hakim al-nisbi)yang berupaya membumikan nilai-nilai syari’ah, sesuai dengan konteks ruang, waktu dan peradaban yang terus berubah. Dengan menempatkan mujtahid sebagai pembuat hukum berimpikasi pada pandangan tentang kedudukan hukum Islam yang proporsional antara dimensi sakral dan profan.

Redesain ketiga; membedakan antara sumber dan metode dalam pembahasanmasadir al-ahkamatauadillah al-ahkam.Dalil dalil hukum yang setidaknya berjumlah sebelas buah, yakni; Al Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istislah, Istishab, Istihsan, sadd az-Zari’ah, Urf, Qaul Shahabi, dan Syar’u Man Qablana. Selama ini dibahas sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Hal ini berimplikasi secara tidak langsung bahwa sakralitas Al qur’an, As-Sunnah seakan-akan tidak ada bedanya dengan Qiyas, Sadd az-Zari’ah dan lain-lain. Padahal apabila dilihat secara epistemologis, sebelas buah dalil tersebut dapat dibedakan menjadi sumber, metode dan produk pemikiran hukum. Sumber hukum adalah Al Qur’an dan As-sunnah. Yang harus selalu didialektikakan oleh para mujtahid dengan sumber realitas empirik (‘Urf) sebagai sumber ketiga. Sementara Qiyas, Istislah, Istishab, Istihsan, sadd az-Zari’ah adalah metode interpretasi hukum yang didasarkan pada makna rasional dari nash (‘illah dan maslahah). Sementara Ijma’ adalah produk hukum yang disepakati, Qaul shahabi adalah produk hukum dari sahabat Rasul SAW. Dengan pembedaan tersebut, hasil ijtihad para ulama yang didasarkan pada metode-metode tertentu, dengan mempertimbangkan konteks ‘urf-nya masing-masing, tidak harus disamakan dengan Al Qur’an dan As-Sunnah itu sendiri.

Redesain keempat; adalah memformulasi fikih sebagai norma hukum. Fikih memiliki makna yang lebih luas dari sekedar hukum. Karena fikih memiliki sisi norma moral yang kuat disamping sisi norma hukum yang dimiliki. Dalam proses perumusan norma hukum Islam , hasil dialektika internal antara nash dan maqashid, kemudian didialektikakan dengan realitas empirik yang ada. Dengan demikian norma hukum Islam dapat dikatakan seperangkat aturan sebagai hasil dialektika antara nilai-nilai syari’ah dengan norma kebiaaan masyarakat, yang dirumuskan secara sadar dan sengaja untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat. Penegasan fikih selain ‘ibadah mahdah, sebagai norma hukum ini menjadi penting setika hukum Islam akan memberikan kontribusi bagi pembentukan hukum dan aturan perundang-undangan dalam konteks negara, demikian papar Prof. Agus Najib.

Ditambahkan, redesain ushul fikih sebagai fondasi bagi fikih dan hukum Islam, merupakan langkah yang urgen untuk dilakukan. Redesain tersebut menjadi dasar bagi pengembangan konsep, teori dan metodologi hukum Islam. Hukum Islam, yang dibedakan dengan fikih, misalnya, akan diposisikan secara proporsional diantara dimensi sakral dan profan-nya. Dan juga didekatkan dengan keilmuan hukum pada umumnya. Disamping itu hukum Islam bersama-sama hukum tradisi lain akan dapat lebih berkontribusi bagi pembentukan aturan hukum dan perundang-undangan dalam konteks negara, terutama Indonesia yang masih terus melakukan pembinaan hukum nasionalnya. Hukum nasional Indonesia yang berwawasan nusantara akan sangat membutuhkan kontribusi hukum Islam. Karena hukum Islam dalam perumusannya tidak saja didasarkan pada norma ideal moral dari syari’ah (nilai-nilai religius). Tetapi juga mempertimbangkan budaya dan realitas empirik yang ada dalam masyarakat Indonesia, kata Prof. Agus Najib.

Sementara itu, dalam sambutannya, Prof. Phil Al Makin antara lain menyampaikan bahwa, keilmuan Prof. Agus Najib sebagai Mazhab Syari’ah, jika dihadapkan dengan Mazhab Ushuluddin akan terlihat jelas,chain of transmission, sanad atau rawi disini. Mazhab Syari’ah dari Hasby Asshiddiqiey, yang merupakan thesis MA Prof Yudian, lalu ke bawah terus Pak Yai Malik Madani, Prof. Abdussalam Arif, Ismail Thaib, Prof. Saad Abdul Wahid, Abdurrahim, Hamim Ilyas, Prof. Syamsul Anwar. Ushuluddin merupakan pindahan dari Syariah. Masa transisi itu ditandai dengan Pak Yai Sahiron, sebagai alumni TH Syariah menjadi dosen TH di Ushuluddin. Sebagian besar dosen yang mengajar di Ushuluddin dari fakultas Syariah: Pak Hamim Ilyas, Prof. Syamsul Anwar, Kyai Malik Madani, Saad Abdul Wahid, Ismail Thaib, Prof. Abdussalam Arif, Pak Anhar Rasyid, Prof. Husein Yusuf.

Prof. Phil Al makin salut diagram Prof. Agus Najib yang ditampilkan pada tulisan pidato Guru Besarnya. Dalam diagram diterangkan tentang Norma Ideal Moral Syari’ah, yaitu merupakan hasil Dialektika Internal antara: Maqāṣid ‘Āmmah, Maqāṣid Khāṣṣah, Maqāṣid Juz’iyyah, ‘Illat al-Ḥukm, dan Naṣṣ Syarī’ah. Prof. Najib menghubungkan dengan jelas dengan norma kebiasaan: Al-Wāqi’, Al-‘Urf, (yang disebut sebagai Data empiris hasil penelitian lapangan). Inilah yang diharapkan menghasilkan: Norma Hukum Islam.

Menurut Prof. Al makin, Prof. Agus Najib seorang Syariah, yang juga memiliki jejak Ushuluddin, dengan logika berfikir realistis dan sudah bercampur hermeneutika dan ilmu sosial. Prof. Phil Al makin juga menyampaikan sependapat dengan Prof. Agus Najib, yang menegaskan watak pluralitas (keragaman atau kebhinekaan) dalam naskah pidatonya. Semangat otokritik dan sekaligus menunjukkan bahwa Prof. Najib adalah seorang aktivis antar-iman di DC bersama Dr. Zainuddin, Fatma Amalia, Radino, Mahmud Arif .adalah kalimat ini:

Prof. Agus Najib menghayati aktivitas antar iman, antar kelompok, dan sekaligus kritik terhadap sikap eksklusif, intoleran, diskrimintaif. Ini adalah juga sekaligus khas Yogyakarta, mazhab Sapen. Sapen menawarkan tidak hanya moderasi, tetapi hubungan antar iman yang jelas dan sudah tua. Antar iman, antar kelompok, antar mazhab, antar organisasi sudah menjadi tradisi sejak berdirinya kampus UIN Suka. Prof. Najib memperlihatkan ada nilai-nilai Mukti Ali, Amin Abdullah, dan Machasin yang masuk dalam pidato itu. Tentu Prof. Agus Najib adalah kubu Syariah, kubu barat jalan, tetapi juga kubu timur jalan, fakultas Ushuluddin dan juga kubu Adab masuk disitu, Prof. Agus Najib akomodatif dan dialektik. Pembahasan hukum Islam, tidak hanya pada fiqh, tetapi juga dasar dan logika berfikir, yaitu ushul fiqh. Ini juga mencakup persoalan ilmu sosial dan empiris. Namun yang membuat ini lebih lagi adalah semangat dialog antar iman.

Pemikiran lain dari Prof. Agus Najib yang juga sejalan dengan Prof. Phil Al makin adalah:usulan redesign Usul fiqh, tanpa merobohkannya. Satu sisi reformis, tetapi juga mempertahankan yang lama,al-akhdu bi al-jadid al-aslah, tetapi jugaal-hifd ala al-qadim al-salih, relasi antara Islam dan negara, peran hukum Islam dan hukum negara, demikian Prof. Phil Al makin.