Pameran Seni Rupa, Bersama dalam Beda, Berbeda dalam Sama
UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan Pameran Lukisan mengangkat tema “Bersama Dalam Beda, Berbeda Dalam Sama, berkolaborasi dengan para seniman rupa di Yogyakarta dan sekitarnya. Kegiatan ini berlangsung Gedung Prof. H.M. Amin Abdullah, kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 15 s/d 22/12/2021. Perhelatan kolaboratif ini akan dibuka Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas, 15/12/2021.
Mengawali pelaksanaan pameran seni rupa kali ini, di hadapan awak media pada jumpa pers (14/12/2021), Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Phil Al Makin menyampaikan, pameran seni rupa yang baru pertama kali di kampus UIN Sunan Kalijaga ini untuk merayakan Bhineka Tunggal Ika. Indonesia butuh konsep baru tentang Bhineka Tunggal Ika yang sesuai dengan kenyataan yang ada saat ini. Baik Bhineka dalam Agama, Sosial, ekonomi, kebudayaan, filsafat dan seterusnya. Seperti misalnya konsep kebhinekaan agama. Konsep orde baru mengakui 6 agama yang berbeda. Namun kenyataannya setelah melalui riset Prof. Al Makin menemukan bahwa di Indonesia ada lebih dari 1.300 kelompok keagamaan dengan banyak keragaman cara mengekspresikan nilai nilai luhur agama.
Dijelaskan, perlu adanya kesadaran baru tentang kebhinekaan/keragaman budaya, seni, etnis, praktek ritual dan seterusnya. Oleh karena itu pihaknya ingin melalui pameran ekspresi seni rupa ini dapat dilakukan devinisi ulang mengenai keragaman. Menurutnya, keragaman dalam politik atau ekonomi belum tentu dapat dipakai untuk menyelesaikan semua kasus atau permasalahan. Demikian juga dalam konsep keragaman dalam ilmu pengetahuan. Mengutip pemikiran Muhammad Iqbal bahwa “Ilmu Pengetahuan itu Terbatas, Seni itu Tidak Terbatas.” Maka bisa dilihat keragaman yang diekspresikan dalam seni itu bersifat surprise/banyak kejutan, dan memiliki makna spiritualitas yang mendalam.
Bisa dilihat yang dipamerkan ini, misal karya astuti Kusumo berupa karya Tarian Ritual, atau lukisan Gus Dur yang digambarkan sebagai Punakawan. Lukisan alam raya yang universal. Ada juga lukisan panorama berpadu dengan lukisan Candi Borobudur, Candi Prambanan, Pura, Klenteng, masjid dan gereja, ini menggambarkan keragaman dalam ekspresi keagamaan, yang tujuannya sama sebagai implementasi penghambaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lukisan Buya Syafii Maarif yang mengekspresikan personal yang sufi, teguh pendirian dan pluralis. Jadi dalam seni rupa lebih bersifat universal, personifikasi dan makna karya tidak dibatasi.
Prof. Al Makin meyakini seni lebih dominan dalam mengubah dunia. Seperti misalnya renaissance itu merupakan gambaran karya seni yang dapat membangkitkan sains dan sosial di Eropa, yang kemudian melahirkan kolonialisme Timur. Leonardo da Vinci adalah seorang Insinyur. Tetapi lebih dikenal sebagai seniman yang karya-karyanya sangat berpengaruh ke seluruh dunia. di Indonesia, karya-karya Basuki Abdullah, Raden Saleh dan generasi seniman seangkatannya berhasil mengawali lahirnya nasionalisme. Di era orde baru kepemimpinan Soeharto, program-program pemerintah, kebijakan strategis pemerintah dan kesadaran keberagaman dikampanyekan melalui seni. Seniman banyak menopang orde baru. Itu semua bukti bahwa seni lebih dominan mengubah dunia.
Namun sepertinya, di era reformasi gaung seniman belum optimal mendapatkan wadah, meskipun sudah masuk dalam kebijakan pemerintah. Apa lagi saat ini ada upaya-upaya satu pihak untuk melakukan gerakan penyeragaman, yang paling terlihat adalah upaya penyeragaman ideologi dengan adanya ekstrimisme, fundamentalisme dan radikalisme. Agama dijadikan alat hegemonisasi, pemaksaan kepada publik . Maka pihaknya ingin secara berkelanjutan berkolaborasi dengan para seniman. Seni di tarik ke kampus sebagai corong ilmu pengetahuan dan menyuarakan keberagaman.
Pameran kali ini untuk mencoba mengutarakan kembali bahwa keberagaman di Indonesia adalah kekayaan yang sangat berharga. Indonesia memiliki tafsir keberagaman untuk dunia. Cara berdo’a, tempat ibadah, tradisi, ritual, kearifan lokal, budaya nusantara adalah keragaman. Borobudur, prambanan, masjid, pura, klenteng adalah tafsir keberagaman. Yang bisa digambarkan tak terbatas dan bernilai spiritualitas tinggi melalui karya seni rupa. “Ke depan, selama kepemimpinan saya, saya butuh seniman, dan saya butuh berkolaborasi dengan seniman dalam berbagai misi akademik,” kata Prof. Al Makin.
Intelektual banyak yang mengalami kegagalan sebagai panutan. Masyarakat mengalami kegelisahan, siapa yang bisa jadi panutan. Maka senimanlah yang dapat merepresentasikan masyarakat, menyuarakan kegelisahan masyarakat, menyuarakan kenyataan. Proses membuat karya seni juga selain menjadi penghibur hati, juga merupakan proses zikir, meditasi, kontemplasi. Sehingga berkolaborasi dengan seniman, pengembangan akademik dunia kampus akan lebih bermakna bagi upaya pemberdayaan masyarakat, imbuh Prof. Al Makin.
Mewakili para seniman, Kus Indarto (Kurator) menyampaikan, pameran seni rupa di kampus UIN Suka kali ini melibatkan 104 seniman seniman, dari Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta. Sedangkan karya-karya yang dipamerkan berupa seni lukis, patung, stencil art, dan fotografi. Seperti tema yang diangkat yakni keberagaman, maka seniman yang terlibat juga beragam latar belakang (suku, ras, ekonomi, agama dan lain-lain). Tidak semua karya baru, banyak karya lama yang sesuai tema ditampilkan kembali .
Nasikun menambahkan, menjadi seniman harus meyakini untuk terus berkarya dan berpendapat dalam bahasa seni, merepresentasikan kegelisahan masyarakat. Dan meyakini dari karya seni itu rejeki dari Tuhan mengalir. Suara seniman berbeda dengan suara akademisi, maka di kampus UIN Suka ini, suara kampus Islam menyatu dengan suara galeri, semoga lebih mencerminkan keshalehan. Seperti apa hasilnya, bisa dilihat pada karya-karya yang dipamerkan, demikian harap Nasikun. (Tim Humas)