Sumbang Pemikiran Keamanan Manusia, Habib Chirzin Dianugerahi HC dari UIN Sunan Kalijaga

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menggelar Sidang Senat Terbuka Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Sosiologi Perdamaian kepada Drs. M. Habib Chirzin, bertempat di Gedung Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., atau Convention Hall, Rabu (21/09/2022).

Penganugerahan gelar kehormatan Dr. HC tersebut didasarkan pada Keputusan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Nomor 172.1 Tahun 2022 tertanggal 21/09/2022 atas dedikasi Drs. M. Habib Chirzin yang luar biasa dalam bidang sosiologi perdamaian, memberikan kiprah dalam mengembangkan dan mengarusutamakan nilai-nilai perdamaian melalui kegiatan sosial di lapangan, seminar, workshop, dan diskusi-diskusi, baik di dalam maupun luar negeri sejak tahun 1982 hingga kini.

Hadir dalam perhelatan ini antara lain: Ketua Senat, Prof. Siswanto Masruri, Anggota Senat, Rektor UIN Suka, Prof. Phil Al Makin, para Wakil Rektor, Para Dekan, Rektor Perguruan Tinggi dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P., Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si., Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, Pimpinan Pondok Pesantren Pabelan Magelang, Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta, dan sejumlah tamu undangan lainnya.Ketua Promotor,Prof. Dr. M. Amin Abdullah, turut hadir dibersamaiDr. Achmad Zainal Arifin, M.A.,sekaligus sebagai Sekretaris,Prof. Dr. Euis Nurlaelawati, M.A.,Prof. Dr. Bermawy Munthe, M.A.,danProf. Dr. Sangkot Sirait, M.Ag.,sebagai Anggota.

Dalam sambutannya, Prof. Al Makin antara lain menyampaikan, penganugerahan ini adalah rangkaian dalam rangka memperkuat tiga penganugerahan setelah ini: Cardinal Miguel Guixot Ayuso dari Vatikan atas nama Paus Fransiskus, Kyai Yahya Khalil Staquf dari PBNU, dan Dubes Hajriyanto Tohari, perwakilan dari Muhammadiyah. Ketiganya simbol dari kedamaian dan persaudaraan umat manusia.

UIN berusaha berkontribusi dalam wacana dunia dan perdamaian dunia. Sesuai dengan tulisan dan pidato Muhammad Habib Chirzin. Penganugerahan ini tentu pantas dan layak dipertahankan di publik. Ini penganugerahan pertama periode kita. “Keempat dari seluruh Rektorat: Syekh Ahmad Badreddin Hassoun (Mufti besar Suriah) dan K.H. Bisri Mustofa (alim dan seniman) di era Prof. Amin Abdullah. Ibu Shinta Nuriyah Wahid dan Habib Chirzin di era Prof. Yudian dan kita lanjutkan,” kata Prof. Al Makin.

UIN Sunan Kalijaga siap bertanggungjawab ke publik. Karena secara akademis dan secara kualitas kontribusi sosial, untuk bangsa dan Negara, penganugerahan ini harus dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban itu terletak pada figur yang menerima anugerah. Ini bisa dilihat pada biografi M. Habib Chirzin. Pada buku beliau, Agama, Pembangunan dan Perdamaian (2022) ada biografi di belakangnya. Disitu tercantum presentasi internasional Chirzin sebanyak 92 kali, dari negara berbeda: Sri Langka, Bangkok, Manila, Kathmandu, Rio de Janeiro, Kuala Lumpur, Melaka, Kota Kinabalu, Penang, Singapura, Brunei Darussalam, Dhakka, Islamabad, Ciangamai, Hanoi, Zamboanga, Vienna, Roma, Tokyo, Minamata, Fukuoka, Hongkong, Cheong Pyong, Kuwait, Jeddah, Benghazi, Canberra, Doha, Brisbane, Washington, New York, Fordham, Hawaii, Tennessee, Brussel, Paris, Cairo, Oxford, Den Haag, Strasbourg, Berlin, Bonn, Budapest, Geneva, dan lain-lain.

Pak Habib sudah presentasi keliling dunia, temanya adalah kedamaian, Kerja sama, aktif. Jadi anugerah ini sangat layak dan kita harus mengakui reputasi beliau yang melampaui kita. Anugerah hanyalah pengakuan formal, reputasi sudah mendahului. Pengalaman jabatan nasional dan internasional Pak Habib juga bisa dilihat: International Study Days for Society Overcoming Domination, Paris, South East Asia Regional Institute for Community Education, Asian Cultural Forum, Komisi Pendidikan Hak Asasi Manusia dan Perdamaian, International Advisory Board Global Education, Asian Muslim Action Network, International Institute of Islamic Thought, Wellbeing and Research dan lain-lain. Pak Habib berperan sebagai anggota dewan (council) penasehat (advisory) dan lain-lain di berbagai negara. Tentu kita harus jujur, ini sudah melampaui kita-kita di universitas yang sudah professor, imbuh Prof, Al Makin.

Penghargaan juga sudah teruji: Agaha Khan Award, Ambassador of Good Will Bill Clinton, Ambassador of Peace, Ikon prestasi Pancasila. Pengalaman NGO nya juga nasional dan internasional. Pendidikan beliau di pesantren, Muhammadiyah, Gontor, dan UGM. Beberapa workshop dan short course juga berlevel international.

Penganugerahan oleh kampus adalah upaya menghubungkan kampus dan luar kampus, dunia nyata di luar sana, agar kampus tidak menjadi Menara gading. Kampus harus jujur mengakui kelebihan dan temuan dari luar. Kampus harus jujur mengakui kelemahannnya dan mengakomodasi kemajuan dan kelebihan dari luar. Honoris causa mewadahi ini.

UIN Sunan Kalijaga saat ini adalah satu-satunya kampus Akreditasi Unggul di PTKI Indonesia, dan akan menyelenggarakan Akreditasi Internasional FIBAA (Foundation for International Business Administration Accreditation). UIN Sunan Kalijaga juga leading dalam merespons isu-isu penting: Isu gender berupa PSW (Pusat Studi Wanita/studi gender) pusat kita tertua di PTKI, menjadi standard dan acuan bagi PT lain; Disabilitas dan inklusi, PLD (Pusat Layanan Difabel kita pertama bahkan di PT Indonesia) mendapatkan anugerah beberapa kali bahkan di Kemendiknas; Integrasi interkoneksi (web Prof. Amin Abdullah) relasi antar ilmu atau interdisipliner menjadi rujukan bagi Kementerian Agama RI; Jurnal pertama kali Scopus; Dialog antar iman, keragaman, ini merupakan tempat yang paling kondusif di UIN Sunan Kalijaga karena keseimbangan komposisi NU dan Muhammadiyah dan tetap mempertahankan keragaman, bahkan menjangkau keragaman antar iman; Dan Pancasila, Prof Yudian, Prof Amin Abdullah, Prof Najib Burhani berada di BPIP. UIN Sunan Kalijaga bisa dikatakan pioneer, karena ditopang dua organisasi besar yang seimbang: NU dan Muhammadiyah, dan bahkan semua iman, budaya, etnis kita buat nyaman di kampus kita. Katolik, Kristen, Hindu, Buddha pemuka ataupun umatnya harus nyaman berada dan menjadi bagian UIN Sunan Kalijaga.

Tentang Pak Habib Chirzin, menurut Prof. Al Makin, wawasan beliau global, merujuk pada dokumen dan kesepakatan PBB. Tentang kesetaraan gender juga merujuk pada PBB: Sejalan dengan pandangan Pak Habib Chirzin, UIN Sunan Kalijaga mempunyai PSW (Pusat Studi Wanita) dan PLT (Pusat Layanan Terpadu). Prof. Al Makin berharap, melalui Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa terkait dengan kurikulum merdeka, kerja sama antara pihak kampus dan luar kampus, Pak Habib dapat menjadi penghubung. “Selamat Pak Dr. Muhammad Habib Chirzin, UIN layak menyematkan gelar kehormatan atas kontribusi amal dan pemikirannya. Baik pikiran dan tindakan, tangan dan otak terhubung memikirkan manusia, dunia, dan Indonesia. Tumbuh sebagai orang santri Muhammadiyah, sebagai warga Indonesia, dan warga dunia,” demikian Prof. Al Makin mengakhiri sambutannya.

Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Prof. H.M. Amin Abdullah selaku Promotor menyampaikan, UIN Sunan Kalijaga sudah berperan sebagai pioneer dalam upaya mewujudkan perdamaian melalui dialog antar agama (inter-religious dialoque) atau dialog antar iman (interfaith dialogue). Selain itu, ada istilah lain yang seringkali dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk mewujudkan perdamaian, seperti studi perdamaian (peace study), rekonsiliasi konflik (conflict reconciliation), dan dialog antar budaya (intercultural dialogue), yang cukup akrab di lingkup Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).

Dan kontribusi PTKI dalam upaya mewujudkan perdamaian, baik di level lokal, nasional, maupun internasional, tidak perlu diragukan lagi. Meskipun demikian, upaya tersebut masih perlu untuk lebih dioptimalkan, mengingat dinamika keilmuan terkait hal ini berkembang sangat pesat seiring dengan beragam peristiwa yang terjadi di masyarakat, termasuk pandemi Covid-19. Perhatian dunia atas upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia juga meniscayakan adanya perdamaian dalam makna yang tidak hanya terkait dengan upaya mendialogkan perbedaan dan meminimalisir konflik. Akan tetapi juga terkait dengan isu keamanan manusia (human security) yang lebih luas, termasuk kajian-kajian terkait indeks kebahagian manusia (human happiness index), yang mengerucut pada terciptanya Gross National Happiness sebagai indikator penting dalam menilai keberhasilan pembangunan yang sebelumnya lebih didominasi oleh indikator-indikator ekonomi semata. Menghadapi perkembangan masyarakat dan tuntutan akademik baru ini, Universitas Negeri Islam (UIN) Sunan Kalijaga, ditantang untuk memberikan perhatian yang lebih serius terhadap kajian-kajian yang mampu mengintegrasikan aspek normative-teologis dengan beragam disiplin ilmu sosial, humaniora dan teknologi.

Prof. Amin Abdullah menjelaskan, urgensi ide dan gagasan promovendus terkait dengan human security dan human happiness index yang selama ini kurang mendapatkan perhatian serius dari sivitas akademik di lingkup Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Bisa jadi, dua tema tersebut selama ini dipandang “jauh” atau tidak bersentuhan secara langsung dengan aspek agama yang menjadi kajian utama di lingkup UIN Sunan Kalijaga. Meski transformasi menjadi universitas seharusnya dapat membuka peluang bagi UIN Sunan Kalijaga untuk berkontribusi lebih jauh tentang dua tema tersebut.

Fokus utama pendekatan human security ini didasarkan pada pandangan bahwa dunia saat ini adalah tempat yang tidak aman (insecure), penuh dengan ancaman di berbagai bidang. Bencana alam, konflik kekerasan, kemiskinan kronis dan terus menerus, pandemi, terorisme internasional, dan kemerosotan ekonomi dan keuangan, telah menimbulkan berbagai kesulitan dan melemahkan prospek untuk pembangunan berkelanjutan, perdamaian dan stabilitas. Krisis terkait human security ini bersifat kompleks, melibatkan berbagai bentuk ketidakamanan manusia. Ketika ketidakamanan yang beragam tersebut tumpang tindih, maka akan tumbuh secara eksponensial, tumpah ke semua aspek kehidupan masyarakat dan menghancurkan seluruh komunitas dan melintasi batas negara. Pendekatan human security, meniscayakan sinergi dan jejaring keilmuan dan adonan beragam disiplin, diyakini akan mampu menjawab problem kemanusiaan yang seringkali pemicunya juga melibatkan banyak faktor (multiple factors). Pendekatan ini memberikan arti penting bagi masyarakat luas, aktivis sosial serta pemangku kepentingan, penyelenggara negara dalam pembangunan yang memusatkan perhatian pada perlindungan manusia, orang per orang, dari beragam bentuk kekerasan, daripada keamanan nasional yang berpusat pada negara.

Selain itu, perhatian sivitas akademik di lingkup PTKI, terkait urgensi keberadaan indeks sebagai indikator penting untuk 6 mengukur tingkat kesejahteraan dan kebahagian masyarakat, nampaknya masih sangat minim. Sebenarnya, ruang untuk memperdebatkan variabel-variabel yang digunakan untuk menyusun sebuah indeks sangatlah terbuka, terlebih setelah munculnya beragam penelitian yang menyuarakan pentingnya Gross National Happiness (GNH) sebagai standar untuk menilai keberhasilan pembangunan, dibandingkan dengan memakai ukuran Gross National Product (GNP) yang hanya melihat faktor ekonomi semata. Gross National Happiness (GNH) bertumpu pada empat pilar, yaitu: (1) good governance (tata kelola pemerintahan yang baik); (2) sustainable socioeconomic development (pembangunan sosial-ekonomi yang berkesinambungan); (3) cultural preservation (ketahanan dan perlindungan budaya); dan (4) environmental conservation (ketahanan dan pemeliharaan lingkungan). Melalui keempat pilar ini, terbuka ruang untuk mendialogkan sekaligus menginterpretasikan kembali konsep-konsep dalam ajaran Islam, termasuk merumuskan Maqashid al Syari’ah sesuai dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan masyarakat. Selain itu, dengan memperhatikan perkembangan teknologi yang begitu pesat, lima atau sepuluh tahun kedepan, bisa dipastikan bahwa ruang bagi penggunaan indeks atau statisktik untuk kajian keagamaan dan perdamaian akan semakin terbuka.

Prosesi penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa pada kesempatan ini merupakan bentuk apresiasi UIN Sunan Kalijaga atas kontribusi dan konsistensi promovendus dalam upaya pengarusutamaan 7 wacana peace study, human security, gross national happiness, dan global ethic yang dibingkai dalam konteks Maqashid al-Syari’ah al-Mu’asirah, sebagaimana yang dituangkan dalam naskah pidato promovendus yang disampaikan pada forum ini. Tim Promotor berharap, penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa ini menjadi penyemangat bagi promovendus untuk terus berkarya dan memberikan kontribusi yang nyata bagi pengembangan kajian-kajian untuk mewujudkan perdamaian dan meningkatkan kualitas hidup manusia, sekaligus juga memberikan dorongan buat UIN Sunan Kalijaga secara kelembagaan untuk meningkatkan perhatian dan menginisiasi pembukaan program studi yang secara spesifik merespon perkembangan keilmuan terkait kajian-kajian perdamaian (peace studies), demikian Harap Prof. Amin Abdullah.

Drs. M. Habib Chirzin mengawali orasi ilmiah yang bertajuk, “Wacana Baru Perdamaian dan Perlunya Mengarusutamakan Keamanan Manusia”, dengan mengajak hadirin untuk turut mengarusutamakan keamanan manusia atau human security yang telah berkembang menjadi kajian di Asia, utamanya di Asia Tenggara. Menggunakan perspektif Maqashid al-Syari’ah di dalam masa Pandemi Covid 19, orasi ilmiah ini menjadi refleksi perjalanan dan keterlibatan Drs. M. Habib Chirzin dalam proses dialog diskursus pengembangan keamanan manusia, indeks kebahagiaan, dan etika global.

Habib Chirzin memaparkan bahwa konsep keamanan manusia ini penting dan dikemukakan agar Indonesia turut memberikan kontribusi yang signifikan karena konsep keamanan manusia ini terus berkembang sebagai bentuk perdamaian baru, dengan implikasi penting bagi kesehatan dan pembangunan manusia. Upaya keamanan manusia memperluas pemikiran keamanan yang semula dari keamanan nasional dan pertahanan militer batas-batas negara, menjadi pendekatan berpusat pada manusia orang per orang untuk mengatasi berbagai ancaman di dunia. Dalam konteks Indonesia, pengarusutamaan keamanan manusia untuk menggali nilai nilai luhur bangsa dalam mengembangkan dan menerapkan keamanan manusia di bumi Nusantara.

Drs. M. Habib Chirzin yang aktif menjadi penyaji makalah dalam Seminar, Workshop, dan Konferensi Internasional ini menuturkan selama ini dunia terjebak pada Gross National Product (GNP) atau pertumbuhan ekonomi. Terlalu mengejar pertumbuhan sehingga mengabaikan lingkungan, harga diri manusia, keluarga menjadi terlantar dan ini berbarengan dengan kajian-kajian keamanan manusia atau human security pasca perang dingin. Pasca perang dingin, terjadi perubahan besar di dunia. Dulu, dunia menggunakan semboyan si vis pacem, parabellum (jika kamu mendambakan perdamaian, bersiaplah menghadapi peperangan). Sementara sekarang semboyan itu berubah menjadi si vis pacem, parapacem (jika kamu mendambakan perdamaian, bersiaplah menghadapi perdamaian). Mulai ada upaya berbagai pihak termasuk para pemikir, konseptor maupun praktisi pembangunan untuk mencari “Jalan Ketiga” (the Third Way) dari kapitalisme dan komunisme. Seirama dengan perkembangan konsep keamanan manusia yang komprehensif pasca Perang Dingin tersebut, perkembangan konsep Indeks Kebahagiaan tumbuh lewat berbagai kajian dan percobaan. Gross National Happiness (GNH) adalah model pembangunan yang lebih kaya dan luas karena kesejahteraan material dianggap penting.Menurutnya,damai itu dimulai dari diri kita masing-masing (state of mind).

Keselarasan dan keterpaduan antara keamanan manusia, indeks kebahagiaan dan etika global dengan prinsip-prinsip utama dari Maqashid al-Syariah merupakan tujuan tertinggi pranata sosial, ekonomi, budaya, dan hukum Islam berupa kemaslahatan, keadilan, dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Keselarasan antara keamanan manusia, indeks kebahagiaan, dan etika global dengan al-kulliyah al-khamsah - lima prinsip perlindungan, pemeliharaan, dan pemenuhan hak, yakni untuk memelihara dan melindungi agama (Hifdz ad-Din), Memelihara kehidupan (Hifdz An-Nafs), memelihara akal pikiran (Hifdz Al-‘Aql), melindungi keluarga (Hifdz An-Nasl), melindungi harta dan kekayaan (Hifdz Al-Mal) dan dikembangkan dengan melindungi kehormatan (Hifdz Al ‘Irdhl) serta melindungi lingkungan hidup (Hifdz al Bi’ah). Meskipun demikian, Habib Chirzin mengungkapkan bahwa adanya batas lima atau tujuh tersebut karena merujuk pada ulama terdahulu mungkin terdapat masalah yang saat itu belum muncul. Pada saat ini prinsip-prinsip pemeliharaan, perlindungan, dan pemenuhan serta promosinya perlu dilandaskan dengan Maqashid, sehingga memenuhi kriteria pelestarian agama, kehidupan manusia, fakultas akal, keturunan dan kekayaan materi, harkat dan martabat manusia, lingkungan hidup dan lain-lain yang dirumuskan kemudian dari kajian maqashid selanjutnya. Menurutnya, Maqashid Syari’ah ini sangat pas karena membingkai transdisciplinary dari apa yang ingin disampaikannya.

Pengembangan peran perguruan tinggi dalam penyemaian budaya damai, kita harus menjadi bricoleurs modern dan belajar menggunakan sumber daya yang ada untuk pengentasan dari penderitaan dan berusaha untuk memungkinkan semuanya tumbuh berkembang. Semua agama, dengan caranya sendiri, berkomitmen mengurangi penderitaan. Jika kita dapat memulai dengan pengakuan bersama atas tanggung jawab menangani penderitaan, maka dialog antaragama dapat mengarah pada kerja sama timbal balik pada isu-isu kritis yang dihadapi semua orang dan tradisi. Mendukung apa yang disampaikan oleh Ketua Promotor, Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah sebelumnya, dialog antar agama, antar iman dan antar budaya perlu melibatkan dunia ekonomi, politik, dan teknologi pada era digital, serta pembuat kebijakan, agar kita bergerak melampaui topik-topik selama tiga dekade terakhir atau lebih, dan membangun bersama etika global yang sesuai dengan proses globalisasi tekno ekonomi dan menawarkan alternatif. Agama-agama perlu proaktif membantu globalisasi untuk menjadi dasar perdamaian global dan membangun keamanan manusia. (Tim Humas)