G20 Interfaith Forum (IF20): Prof. Dr. Inayah Rohmaniyah, M.A., M. Hum berbicara mengenai Women Empowerment di India

G20 Interfaith Forum (IF20) adalah forum akademis yang diluncurkan pada tahun 2014, saat Australia menjadi Ketua G20. Pada gilirannya, forum ini berkembang dari pertemuan akademis menjadi aliansi yang berkelanjutan dari para pemimpin agama yang beragam, praktisi dari organisasi kemanusiaan, pembangunan perdamaian, dan para cendekiawan. Tujuan utamanya adalah memberi kontribusi pada agenda global melalui pengalaman praktis dan etis serta memberi masukan terkait penerapan kebijakan untuk mengatasi masalah-masalah mendesak yang dihadapi dunia dan para pemimpinnya.

Dalam sebuah sesi G20 Interfaith Forum, 08/05/2023 di New Delhi India, di depan seluruh peserta forum, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Prof. Dr. Inayah Rohmaniyah, M.A., M. Hum menyampaikan tentang pentingnya membangun program-program strategis terkait Women Empowerment, baik secara kultural maupun struktural. Secara kultural, semua elemen perlu memastikan terciptanya atmosfer yang sehat dalam hal gender atau perbedaan lainnya (vocal point sebagai penjaga lingkungan yang sehat). Mengarusutamakan kepekaan dan kesetaraan gender; dan membangun keluarga yang kuat dan memfungsikan keluarga.

Sedangkan secara struktural, Prof. Inayah merinci tujuh poin utama agar program-program tersebut dapat terealisasi dengan baik. Pertama, perlunya kurikulum yang inklusif terutama dalam membahas isu gender. Kedua, perlu adanya perencanaan strategis yang inklusif, untuk memastikan bahwa program-program yang dijalankan akan menciptakan keadilan dan harmoni. Ketiga, secara kelembagaan, perlu adanya program atau kegiatan khusus yang ditujukan untuk memperkuat literasi gender dan pemberdayaan perempuan. Seperti di UIN Jogja misalnya, Prof. Inayah melanjutkan, ada Rumah Gender di tingkat fakultas yang mengembangkan berbagai program bagi dosen dan mahasiswa perempuan untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang isu-isu gender. Termasuk penafsiran agama yang inklusif gender, rumah bagi korban kekerasan berbasis gender, dan pengawal atmosfer kesetaraan gender di universitas. Keempat, perlunya Gender Budgeting. Hal ini tentu untuk memastikan bahwa anggaran yang ada di dalam tubuh universitas akan mencakup program-program pemberdayaan perempuan, memberikan akses dan partisipasi kepada laki-laki dan perempuan, meningkatkan representasi dan jumlah yang setara antara perempuan dan laki-laki.

Profesor Inayah melanjutkan, program berikutnya adalah penyebarluasan penafsiran agama yang inklusif gender melalui kanal online, seperti YouTube, podcasting, dan lain sebagainya. Tentu diperlukan fasilitas yang memadai seperti studio podcast dan lain sebagainya. Keenam, melakukan publikasi secara masif untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat menunjang peningkatan literasi gender. Yang terakhir, perlunya kolaborasi dan kerja-kerja kolaboratif dengan berbagai lembaga yang memiliki kepedulian terhadap pemberdayaan perempuan dan penafsiran agama yang inklusif gender. Seperti di UIN, beliau merinci kerja kolaboratif yang sudah dilaksanakan dengan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dan Institut Leimena.

Di akhir presentasinya Prof. Inayah menjelaskan tentang sepak terjang KUPI dalam melakukan Rekonstruksi Hermeneutika Inklusif Gender. Jaringan KUPI juga mengkritisi epistemologi yang ada yang telah memungkinkan terjadinya dominasi maskulin dan bias patriarki dalam memproduksi pengetahuan agama. Jaringan ini mengembangkan epistemologi baru dalam menafsirkan teks-teks keagamaan secara kontekstual. Jaringan ini memunculkan perspektif keadilan yang sejati.

Pesentasi Prof. Inayah tersebut mendapat sambutan positif dari seluruh peserta forum karena sejalan dengan tema yang diusung IF20 pada tahun ini, yaitu: Partnerships in Action: towards “One Earth, One Family, One Future”. (Hasna/Doni/Ihza)