UIN Sunan Kalijaga Bertambah Dua Guru Besar

UIN Sunan Kalijaga Bertambah Dua Guru Besar

UIN Sunan Kalijaga mengukuhkan Prof. Muhammad Wildan, M.A., Ph.D., dan Prof. Dr. H. Subiantoro, M. Ag., sebagai Guru Besar. Prosesi pengukuhan Guru Besar keduanya dilakukan oleh Ketua Senat, Prof. H. Kamsi, berlangsung dalam Rapat senat terbuka di Gedung Prof. H.M. Amin Abdullah, kampus UIN Sunan Kalijaga, 5/9/2023. Prof. Wildan dikukuh sebagai Guru Besar bidang Antropologi Islam, berdasarkan S.K. Menteri Agama RI Nomor: 013696/B.II/3/2023, tanggal 15 Juni 2023. Sementara itu Prof. Subiantoro dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Pendidikan berdasarkan S.K. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI Nomor: 24321/M/07/2023, tanggal 18 April 2023.

Hadir pada acara akademik kali ini antara lain; Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. H. Al Makin, beserta para Wakil Rektor, Ketua dan Anggota Senat Universitas, pimpinan Dekanat, para Kepala Biro, Pimpinan Unit dan Lembaga, keluarga kedua Guru Besar yang dikukuhkan, kolega, serta Civitas Akademika UIN Sunan Kalijaga.

Dalam Orasi Guru Besarnya bertajuk ‘Tantangan Islamisme dan Masa Depan Pos-Islamisme Di Indonesia” Prof. Wildan memaparkan, Islamisme merupakan ideologi gerakan sosial agama yang meyakini bahwa prinsip-prinsip Islam (Syari’ah) harus diterapkan secara menyeluruh di ranah kehidupan sosial masyarakat dan politik. Di ranah akademik, term islamisme sering juga disebutsebagai Islam politik. Islamisme kemudian memunculkan varian gerakan. berbagai bentuk dan varian dalam rentang sejarah Indonesia, diantaranya adalah konservatisme, ekstremisme, dan terorisme. Di ranah akademik dapat disebut lebih bervariatif. Seperti fundamentalisme Islam, Islam ortodoks, revivalisme, fanatisisme, radikalisme dan seterusnya. Sampai saat ini gerakan Islamisme ini sangat kuat pengaruhnya baik di dalam negeri, maupun secara global seperti Ikhwanul Muslimin, Al-Qaeda, hingga Islamic State (ISIS).

Pengalaman menjadi santri selama enam tahun (1983-1989) di Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki menjadikan Prof. Wildan memahami bagaiman keras/radikalnya gerakan Islamisme, seperti yang dilakukan para pemimpin Ponpes Al Mukmin, Ngruki. Termasuk dua tokoh yang merupakan pimpinan tertinggi di Ponpes Ngruki, Ust. Abdullah Sungkar dan Ust. Abu Bakar Ba’asyir. Kedua tokoh ini juga telah membentuk pribadi Prof. Wildan memiliki ideologi konservatif dan bahkan mungkin ada potensi-potensi ekstremis. Menurut Prof. Wildan ada beberapa teman santrinya yang dibaiat untuk ikut harakah di pondok (mengikuti gerakan Islamisme) sehingga bermasalah dengan negara. Ada yang meninggal tertembak, ada yang masih menjalani hukuman seumur hidup.

Disampaikan Prof. Wildan, studi lanjut S2 dan S3 Prof. Wildan di kampus IAIN dan sekarang UIN Sunan Kalijaga banyak memberikan pencerahan pada pemikirannya. “Pidato ini merupakan bagian dari komitmen dan tanggungjawab moral saya selama ini untuk terlibat dalam mengarusutamakan Islam moderat dan memberikan alternatif pemikiran bagi kolega-kolega Pondok Ngruki dalam perjuangan Islam mereka, maupun kelompok kelompok Islamisme lainnya,” ungkap Prof. Wildan.

Melalui orasi Guru Besarnya ini Prof. Wildan menawarkan konsep pos-Islamisme. Menurut Prof. Wildan Konsep ini lahir setelah adanya kebuntuan terhadap perjuangan Islam di ranah Islam politik (Islamisme). Dan melihat potensi perjuangan Islam yang lebih baik melalui jalur demokrasi (pos-Islamisme). Secara sosiologis diharapkan adanya pergeseran perjuangan Islam dari orientasi mendirikan negara Islam (daulah atau khilafah) menuju
pemantapan masyarakat Islam (ummah), yang dapat dijabarkannya melalui konsep Antropologi Islam.

Lebih jauh Prof. Wildan memaparkan, Islam akan mendapatkan pengkayaan dengan diintegrasikan dan diinterkoneksikan Antropologi. Dengan Antropologi Islam akan selalu mendapatkan pengayaan dan dinamika kehidupannya relatif tinggi. Antropologi Islam ini sangat dibutuhkan bagi para ilmuwan untuk membaca secara jujur bagaimana hubungan tauhid, syariah, imamah, khilafah, ummah, ulama, fikih, hadis, tafsir, tarbiyah, membentuk peradaban yang khas bukan karena terpaksa ber-sejarah belaka. Namun karena konteks serta konten yang dibawa oleh Islam itu sendiri. Dengan sentuhan ilmu Antropologi Islam, al Qur’an berisi rancang-bangun peradaban yang Rahmatan lil alamin. Melalui kajian Antropologi Islam inilah Prof. Wildan menjabarkan gerakan Islamisme di Indonesia maupun Trans – Nasional.

Dipaparkan, gencarnya Islamisme global merupakan tantangan dan godaan bagi Islam Indonesia. Seiring dengan modernisasi dan perkembangan teknologi, semangat beragama Muslim. Maraknya penggunaan internet dan media sosial telah melewati batas-batas negara dan ideologi. Identitas Islam Indonesia yang sudah membumi sejak abad ke-13 mulai tergerus dengan ideologi Islam transnasional. Di ranah sosial-politik, beberapa partai dan gerakan Islam muncul sebagai manifestasi gerakan Islam trans-nasional dan mendapatkan pengikut yang signifikan. Sedangkan di ranah budaya, berbagai tradisi Islam asing masuk dan berbaur dengan tradisi Islam lokal. Islamisme sebagai gerakan Islam juga mendapatkan eksistensinya. Sebenarnya, godaan Islamisme tidak sekedar tuduhan atau asumsi tak berdasar. Selain gerakan Islam berhaluan terorisme, data keterlibatan Muslim Indonesia dalam beberapa kasus Islamisme bisa menjadi bukti nyata. Lebih dari 600 orang Indonesia pergi ke Syria dengan alasan jihad atau “sekedar” hijrah, dan juga tidak sedikit orang yang tertangkap di perbatasan Turki sebagai deportan. Berbagai kasus radikalisme sebagai upaya melawan pemerintah yang sah juga tidak bisa dianggap ringan. Selain itu, perjuangan gerakan Islam di ranah politik juga masih menyisakan kecurigaan beberapa pengamat akan “ketulusan” aspirasi politik sebagian partai Islam. Terakhir, populisme Islam seperti kasus 411 dan 212 serta pemenangan Anis Baswedan sebagai gubernur DKI pada 2017 juga tidak bisa dilepaskan dari fenomena Islamisme di Indonesia.

Di sisi lain, Islam Indonesia yang dikenal berkarakteristik moderat merupakan benteng yang kuat. Secara kultural, nilai-nilai Islam telah mendarah-daging di berbagai bidang kehidupan bahkan terkadang sulit dipisahkan antara tradisi Islam dan adat lokal. Akulturasi Islam dengan budaya lokal telah menjadikan Islam Indonesia dikenal berbeda dengan Islam Arab. Sebagian kelompok kemudian mem-branding Islam itu dengan Islam Nusantara. Terlepas dari pro-kontra istilah itu, suka atau tidak Islam Indonesia yang telah berabad membumi menjadi brand
tersendiri.

Sebenarnya, demokrasi Indonesia masih merupakan proses yang panjang. Sejak runtuhnya Orde Baru 1998, Indonesia memasuki era demokrasi baru. Namun demikian, di ranah sosial berbagai tantangan demokratisasi muncul silih berganti seperti konflik horizontal, intoleransi, dan Islamisme radikal. Setelah konflik di Ambon dan Poso berlalu, beberapa kasus intoleransi antar agama seperti antara Islam dengan Kristen, Ahmadiyah, dan juga Syiah. Saat ini, berbagai kasus Islamisme radikal masih merupakan tantangan yang masih cukup signifikan. Senada dengan Sindhunata (2000). Berbagai konflik horizontal di Indonesia merupakan proses pembentukan kembali (re-shaping) negara-bangsa Indonesia; ini semua proses demokratisasi. Untungnya, sebagian besar Muslim Indonesia tetap mendukung demokrasi. Argumen klasik yang sering dipakai adalah adanya titik temu antara demokrasidan syura;demokrasi identik dengan demokrasi ala Islam. Di sisi lain, beberapa mpengamat berargumen bahwa memang demokrasi bukanlah sistem sosial-politik yang terbaik, namun saat ini sistem ini yang paling memungkinkan bagi Muslim untuk memperjuangkan Islam.

Inilah yang sering disebut sebagai paradoks demokrasi; disatu sisi demokrasi adalah sistem Barat yang mengandung nilai nilai Barat, tapi di sisi lain sistem ini juga bisa digunakan untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam. Kebebasan berpendapat adalah salah satu prinsip penting demokrasi. Kebebasan pers, demonstrasi dan lain lain merupakan mekanisme penyaluran aspirasi dan kepedulian rakyat terhadap politik. Itulah yang sering
disebut sebagai street politics (politik jalanan). Itu semua menandakan bahwa Indonesia sedang mengalami pos islamisme. Sehingga dapat dimenyatakan bahwa demokrasi telah banyak ditolak oleh berbagai kelompok konservatif karena demokrasi telah dipraktikkan secara salah sehingga tidak membawa pada keamanan dan kesejahteraan. Jika demokrasi dilaksanakan dengan benar dan memberikan kepastian keamanan dan kesejahteraan bagi umat Islam, bisa dipastikan bahwa ekstremisme dan radikalisme tidak dianggap sebagai alternatif perjuangan Muslim Indonesia. Oleh karena itu Prof. Wildan berharap, semangat Islam dan Islamisme yang sedang tumbuh berkembang di Indonesia ini sebaiknya diarahkan pada mekanisme demokrasi (pos-Islamisme). Islam memang
tidak bisa dipisahkan dari politik karena agama (Islam) sudah mendarah daging dalam masyarakat Indonesia. Hal itu senada dengan fakta bahwa secara kultural agama di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari adat-istiadat atau budaya sesuai pengalaman historis Indonesia. Oleh karena itu, hubungan antara agama dan negara di Indonesia mengalami dinamika yang sangat hidup dan terus berkembang. Bagi umat Islam, penerimaan terhadap proses demokratisasi inilah yang sesuai dengan kaidah ushul fikih ma layutraku kulluhu, ya yudraku kulluhu (jika tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan suluruhnya), demikian papar Prof. Wildan.

Sementara itu dalam orasi ilmiahnya yang bertajuk “Mengembangkan “Family and Community Education” Melalui Pendidikan di Sekolah/Madrasah yang Humanis-Religius Integralistik di Era Digital” Prof. Subiantoro antara lain menyampaikan, Transformasi pendidikan abad 21 dihadapkan dengan derasnya arus revolusi industri 4.0 dimana kompetensi dari sumber daya manusia terus bersaing dengan dunia digital
dan robotic sehingga kondisi demikian pendidikan diharapkan mampu menjawab segala tantangan dan peluang yang ada. Tantangan Revolusi Industri 4.0 dimasa era digital pada revolusi industri 4.0, sumber daya manusia dihadapkan dengan era kemajuan teknologi yang terus berkembang pesat yang merambah di kehidupan sosial masyarakat, pendidikan dan lain lain. Dampak positifnya mempermudah, mem-percepat bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya termasukkebutuhan pendidikan bagi peserta didik. Di sisi lain, saat ini teknologi menjadi “candu” generasi muda dan membawa pengaruh besar dalam hidup mereka, bahkan merubah pola pikir, kepribadian, serta tingkah lakunya. Teknologi membuat masyarakat terbuai dalam gaya hidup hedonis, konsumtif, dan materialis. Dengan penggunaan gadget yang berlebihan, mereka (para remaja) cenderung berperilaku introvert, sulit bergabung dalam dunia nyata, anti sosial, dan bahkan suka melakukan perilaku penyimpangan sosial.

Karena hal tersebut di atas, pada masa era digital saat ini didalam pendidikan menuntut kepada seluruh stakeholders pendidikan untuk dapat meng-create, innovation, collaborate, link and match. Pengetahuan dan nilai-nilai yang sering dijadikan sebagai materi statis yang sekedar diterima dan diingat harus diubah pemahamannya sebagai suatu konsteks pemikiran, ide-ide kehidupan yang dinamis untuk dapat dilakukan dalam kehidupan dan bagi tujuan perbaikan kehidupan. Guru dan peserta didik harus menyadari dan memahami hakikat pengetahuan dan nilai bagi perubahan kehidupan sehingga mereka membangun kerjasama membangun pengetahuan, nilai, dan keterampilan bagi tujuan perubahan atau perbaikan martabat kehidupan manusia.

Implikasi pendidikan sekolah/madrasah yang humanis religius dan integralistik melalui penguatan family and community education di era digital, merupakan proses kesadaran yang diarahkan dalam meningkatkan karakter, spiritual individu serta menghasilkan kebebasan yang dinamis sehingga dapat menciptakan iklim kemanusiaan yang inovatif kritisprogresif secara keseluruhan dengan mengedepankan pola dialogis, reflektif, dan ekspresif pendekatan antara pendidik, peserta didik dan lingkungan.

Kualitas pendidikan dan karakter individu dalam menghadapi tantangan dan peluang di era digital maka peserta didik dalam proses pembelajarannya ditentukan oleh tiga pilar utama yaitu pendidikan keluarga (pendidikan informal), pendidikan di sekolah (pendidikan formal), dan pendidikan di masyarakat (kebudayaan nonformal). Hal tersebut sebagaimana konsep tripusat pendidikan yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara. Dalam konsep “tripusat pendidikan”, masyarakat berperan penting untuk keberhasilan suatu pendidikan. Peserta didik selain hidup di dalam keluarga dan sekolah, mereka juga banyak waktu hidup di masyarakat. Di masyarakatlah peserta didik mendapatkan banyak pengaruh yang secara sadar atau tidak sadar, secara sengaja atau tidak sengaja, anak dalam perkembangan pendidikannya dipengaruhi oleh masyarakat di mana dia hidup/berkiprah.

Kondisi realitas sekarang, peserta didik waktunya habis di sekolah, mereka beralasan banyak kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan di sekolah, sehingga penuh waktunya habis di sekolah. Dalam kondisi demikian, menjadikan sekolah seolah “terpisah” dengan masyarakat. Di sinilah diperlukan peran sekolah untuk menumbuhkan kembali pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat (“family and community education”) dalam bingkai “tripusat” pendidikan. Agar pendidikan efektif, sekolah perlu sadar bahwa “siklus Pendidikan” memerlukan input pendidikan tidak hanya siswa tetapi juga keluarga dan masyarakat (dalam hal ini tokoh masyarakat). Agar berfungsinya ketiga lingkungan pendidikan itu, sekolah bisa berperan mengkondisikan.

Dalam implementasinya (sebagai contoh) sekolah bisa memberi penugasan-penugasan kepada peserta didik (sesuai bakat dan minatnya), tugas-tugas siswa untuk ikut berperan serta/beraktualisasi dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat (misalnya kegiatan-kegiatan di Masjid, di Padukuhan atau Kalurahan). Sekolah juga bisa berperan menanamkan kesadaran pendidikan kepada orang tua peserta didik, tentang arti pentingnya pendidikan keluarga dan masyarakat bagi keberhasilan pendidikan. Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan parenting training secara rutin, terprogram dan berkesinambungan di sekolah.

Demikian juga masyarakat (tokoh masyarakat) juga perlu memberikan ‘fasilitas-fasilitas kegiatan” kepada para peserta didik (seperti anak-anak SMP/M.Ts dan SMA/SMK/MA) untuk agar anak didik ikut berkiprah dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat. Dengan demikian, maka “siklus pendidikan” (Keluarga, Sekolah dan Masyarakat) bisa berjalan dengan baik, sinergi dan fungsional, demikian papar Prof. Subiantoro. (tim humas)