Dies Natalis, HMPS Manajemen Dakwah Adakan Seminar Nasional Bersama Bupati Sleman

Dalam rangka Dies Natalis ke-21 Prodi Manajamen Dakwah (MD), Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) MD Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyelenggarakan Seminar Nasional Manajemen Dakwah dengan mengusung tema Mengemas Dakwah dan Budaya di Era Society 5.0, Senin (03/10/22) di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga.

Acara yang menghadirkan Bupati Sleman Dra. Hj. Kustini Sri Purnomo ini berlangsung dengan lancar dengan dimeriahkan penampilan tari tradisional Gandrung Banyuwangi. Para peserta seminar pun antusias mengikuti materi demi materi yang dipaparkan oleh narasumber.

Dalam acara pembukaan seminar, yang dihadiri juga oleh Wakil Dekan FDK, Kaprodi dan Sekprodi MD, dosen, serta mahasiswa ini, Ketua HMPS MD, M. Farhan menuturkan bahwa seminar nasional ini diadakan sebagai rangkaian merayakan hari jadi ke-21 Prodi Manajemen Dakwah. Berbagai agenda digelar untuk memeriahkan Dies Natalis, seperti bakti sosial, sekolah manajemen, pekan budaya dakwah yang diisi dengan panggung kreasi, lomba video kreatif, lomba esai, lomba dai, dan lomba MTQ.

“Selain itu, kami juga mengadakan perlombaan futsal dan mobile legend. Dan pada puncaknya nanti di tanggal 29 Oktober 2022, kami akan menyuguhkan sajian pentas seni, bazar UMKM, serta bintang tamu yang sangat menarik pastinya! Ada Tipe-X, Last Child, dan Soegi Bornean. Jadi, jangan lewatkan momen penting Madafest Vol 2. Kita bakal seru-seruan bareng di Lapangan Parkir GOR Amongrogo Yogyakarta,” ujar Farhan.

Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama FDK, Dr. Pajar Hatma Indra Jaya, M.Si., dalam sambutannya mengatakan bahwa FDK sangat mengapresiasi kerja keras HMPS MD yang memanfaatkan momen dies dengan kegiatan yang positif.

Selain itu, beliau berharap Prodi MD bisa menghasilkan para pendakwah yang bukan hanya menyampaikan tetapi juga memberi pencerahan dan penyadaran. Ada beberapa prinsip yang harus dipegang ketika memerankan diri sebagai pendakwah. Antara lain: harus gigih, tidak memaksakan kehendak, tawakal, dan lakukan dengan strategi yang mencerdaskan dan penuh kelembutan sehingga bisa menyentuh hati.

Senada dengan Wakil Dekan, Kaprodi MD FDK H. M. Torik Nurmadiansyah, M.Si. pun mengiyakan pernyataan tersebut. Saat ini Indonesia telah memasuki era society 5.0, yang mana eranya sudah era generasi Z. Tetapi fenomena yang bisa kita lihat bahwa semua teknologi lebih cepat perkembangannya, lebih canggih lagi dan bersifat digital. Sebagai generasi Z seharusnya bisa leluasa dalam memanfaatkan teknologi tersebut untuk berdakwah yang lebih luas jangkauanya. Karena itulah kita dituntut berdakwah dengan kreatif mengikuti perkembangam zaman. Terlebih bisa memanfaatkan keberadaan teknologi tersebut dengan sebaik mungkin dan berhati-hati karena ada rambu-rambu yang harus dijadikan pegangan dan pemanfaatan dalam berdakwah menggunakan sosial media.

Sementara itu, Bupati Sleman Dra Kustini yang didapuk sebagai keynote speaker, menyampaikan bahwa budaya bukan hanya sekedar kesenian semata, akan tetapi budaya juga harus menjadi way of life. Dakwah di era 5.0 dengan kemajuan teknologi harus bisa mengintegrasikannya dengan kemasan dakwah digital. Seiring lahirnya berbagai ragam media sosial untuk berdakwah di era sekarang ini seperti TikTok, Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube yang dapat diakses oleh semua kalangan, pendakwah tidak harus pergi ketempat-tempat untuk berdakwah sehingga biaya dan energi relatif terjangkau. Namun, pendakwah harus bisa menyajikan konten-konten yang kreatif, mudah dinikmati dan dipahami semua kalangan.

Dalam materinya sebagai narasumber, Dosen MD FDK Dr. Andy Dermawan, M.Ag. memaparkan bahwa sampainya Islam ke Indonesia yaitu dengan berkendara budaya. Disrupsi pada saat ini mengalami percepatan di mana era 5.0 pakaian adat menjadi atraktif. Mengemas dakwah dan budaya dilakukan agar values masuk, selain itu juga agar humanitiesnya juga masuk. Karena sejatinya knowledge milik semua orang bukan hanya kaum terpelajar saja. Adapun ketika memisahkan budaya dengan dakwah bukan hanya goalnya tidak tercapai, tapi juga tidak dipahami. Budaya yang dikemas pun harus memiliki wajah asli. Keyword di era 5.0 ini yaitu inovasi atau tertinggal, sehingga diharapkan dakwah di era 5.0 ini dapat terus berinovasi sehingga tidak tertinggal.

Pemateri kedua, Awwaludin G Muallif S.Sos. yang merupakan Ketua PW Lesbumi NU DIY menyampaikan bahwa dakwah tanpa budaya akan liar, budaya tanpa dakwah akan kering. Beliau juga menyimbolkan Islam dengan filosofi jari tangan yang berjumlah masing-masing 5, di mana yang 5 itu adalah rukun Islam. Para ulama terdahulu menyampaikan nilai ketuhanan melalui infrastruktur budaya. Degradasi yang dialami menjadi cermin besar untuk muhasabah diri. Budaya tidak akan hancur ketika berdampingan dengan Islam. Beliau juga memberikan filosofi Sunan Kalijaga yaitu “Ngali yen ora ngalir”. Dakwah dan budaya di ibaratkan mata uang yang berkaitan, berhubungan dan saling membutuhkan. Jejak histori mengabarkan bahwa pendahulu/ulama kita bijak dalam berdakwah dan berbudaya. Artinya mereka mampu mengekspresikan diri dan menempatkan porsi ideal sebagaimana mestinya budaya dan dakwah dikolaborasikan. Dengan bantuan teknologi budaya lebih mudah dan cepat berkembang, namun juga mudah mendegradasi nilai. Budaya adalah cipta, rasa, karya dan kepercayaan yang terus berkembang mengikuti irama perjalanan kehidupan. Yang selalu menyesuaikan dengan perubahan zaman. Namun untuk menyampaikan sebuah budaya harus mempunyai kejelasan yang jelas. Di era digital saat ini sudah tidak bisa dihindari tapi masih bisa diakali. Jika dilihat dari situasi ini kita akan menemukan 2 sudut pandang yang berbeda. Sisi positifnya yaitu lahan dakwah lebih leluasa dan mudah sampai ke mana-mana, tetapi negatifnya yaitu bertebarannya pemuka agama yang baru dan tidak didasari keilmuan yang jelas.

Di samping itu, pemateri ketiga, Nurul H Ummah (Dosen Manajemen Dakwah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Co-Chair Y20 Indonesia tahun 2022) ini menjelaskan bahwa media sosial sangat bermanfaat untuk melakukan komunikasi, edukasi, rekreasi, promosi, berinteraksi dan lain-lain. Media sosial adalah sebuah platform berbasis yang mudah digunakan sehingga memungkinkan para pengguna untuk membuat dan berbagi konten (informasi, opini, dan minat) dalam konteks yang beragam (informatif, edukasi, sindiran, kritik, dan sebagainya) kepada khalayak yang lebih banyak lagi. Oleh karena itu, media mempunyai efek berantai sehingga proses transmisi yang terjadi tidak berhenti pada satu audiens pokok saja. Konsep Society 5.0 tidak lagi berpusat pada industri, melainkan berpusat pada orang-orangnya atau dalam hal ini adalah masyarakat.

Pemerintah Jepang menginisiasi gerakan ini untuk menciptakan masyarakat yang super pintar dengan memanfaatkan teknologi sebagai penggerak. Teknologi utama yang digunakan Jepang untuk menyukseskan Society 5.0 adalah Internet of Things (IoT), Artificial Intellegence(Al), big data, dan robotic. Aktivitas dakwah di ruang digital ini melahirkan begitu banyak masyarakat virtual, dakwah maupun mengaji online semakin diminati. Selain itu konten dakwah banyak didistribusikan melalui berbagai kanal digital, seperti Youtube Channel, live streaming, media sosial, gaming dan aktivitas digital lainnya. Aktivitas dakwah di ruang digital ini juga dapat melahirkan propaganda, hate speech, hoaks fraud dan lain-lain.

“Tentu budaya digital ini memberikan dampak yang baik bagi seluruh kalangan masyarakat di dunia dengan semakin mudahnya akses informasi dan kecanggihan teknologi yang mempermudah aktivitas. Namun perlu diperhatikan dampak negatif dapat tumbuh apabila kegiatan ini tidak dibarengi kecakapan digital,” tutupnya. (Nurul)