Kajian Sastra Feminis bersama Prof. al-Gayyar
“Apa sebenarnya Sastra Feminis itu? Apakah ia sebatas sastra yang ditulis oleh kaum perempuan yang menyuarakan tuntutan emanispasinya atau mencakup sastra yang ditulis kaum lelaki namun menyuarakan emansipasi dan kebebasan perempuan?”
Kajian tersebut menjadi pokok pembahasan pada Kuliah Umum Fakultas Adab dan Ilmu Budaya yang bertajuk “Sastra Feminis” pada Rabu, 25/10/17 lalu. Acara tersebut menarik perhatian dan antusiasme yang sangat tinggi ratusan Mahasiswa S1 dan S2 Prodi Bahasa dan Sastra Arab, karena menghadirkan pembicara Prof. Dr. Sherif Saad al-Gayyar, Guru Besar Sastra Banding dari Universitas Banisuef, Mesir yang juga merupakan mantan Menteri Pendidikan Tinggi dan Riset Mesir.
Dalam pandangan al-Gayyar, meskipun kedua definisi tersebut bisa masuk kategori sastra feminis, namun ia lebih cenderung memilih pada pengertian yang pertama. Sebab, sastra feminis akan lebih original jika lahir dari tuntutan dan ekspresi kaum perempuan sendiri. Salah satu tokoh terpenting dalam sastra feminis di Barat, menurut al-Gayyar, ialah Julia Kristiva yang sangat intens menulis teori-teori linguistik dan sastra termasuk sastra feminis.
Dalam uraianya yang ilmiah, lengkap dan runtut, al-Gayyar memaparkan historisitas lahirnya kritik sastra feminis. Menurutnya, sastra feminis lahir di Eropa dan Amerika pasca Perang Dunia Ke-2 dimana para aktivis perempuan mulai bangkit menyuarakan hak-hak dan kesetaraan perempuan dengan kaum lelaki dalam kiprah sosial, politik, pendidikan dan kesempatan kerja.
Gerakan emansipasi perempuan yang terjadi di Barat-pun berimbas ke Timur Tengah, khususnya Mesir. Meskipun terminologi sastra feminis semula belum dikenal di Mesir, tetapi upaya-upaya membebaskan perempuan dari hegemoni kaum lelaki dalam akses pendidkan dan peran sosial-politik, sudah mulai diserukan oleh beberapa tokoh yang pernah mengenyam pendidikan di Barat seperti Qasim Amin yang menulis buku “Tahrir al-Mar’ah” (membebaskan perempuan), dan “al-Mar’ah al-Jadidah” (perempuan baru), juga diserukan oleh Rifaah al-Tahtawy, dan lain-lainnya.
Pada fase berikutnya muncul para aktivis dan sastrawan yang membela dan menyerukan emansipasi dengan karya-karya hebat mereka, diantaranya ialah Aisyah Taimuriyah, Zaenab Fawwaz, Kutaibah Hasyim, Aisyah Abdurrahman (Binti Syati’), Gamilah, Shufi Abdallah, Nagibah al-Ass?l, Nawwal al-Sa’d? w?, dan Lathifa al-Zayy?t. Nawwal al-Sa’d?w?, yang juga adalah seorang dokter, beberapa karyanya sudah dikenal di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
Studium General yang dihadiri dosen, mahasiswa Magister (S-2) Bahasa dan Sastra Arab dan juga perwakilan dari strata satu (S-1) fakultas Adab dan Budaya UIN Suna Kalijaga ini kian hangat ketika sesi tanya jawab mulai dibuka. Beberapa pertanyaan kritis baik yang dikemukakan oleh mahasiswa maupun bebebrapa dosen mendapat apresiasi tersendiri dari Prof. al-Gayyar. Menurutnya, kemampuan dan pengetahuan dosen dan mahasiswa Indonesia tidak kalah dengan kemampuan mahasiswa dari negara-negara maju. Mereka kritis, menguasai teori dan berani. Al-Gayyar optimis jika potensi dosen dan mahasiswa Indonesia dikelola dengan baik dan diberi kesempatan untuk mengembangkan pengetahuannya, Indonesia akan menjadi negara mayoritas Muslim terkemuka di masa depan. Sebab, kata al-Gayyar, Islam di Indonesia sudah punya modal untuk maju karena sikapnya yangi’tid?l(moderat), tidak ada diskriminatif antara suku, ras, gender, dan agama. Demikian al-Gayyar memuji Umat Islam Indonesia. (ZAF-Royyan/Doni-Humas).