Wayang Kekayon Khalifah Menghiasi Lobby Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Ada yang unik di Lobby Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada hari Senin (12/12). Ruangan itu dipenuhi dengan display Wayang Kekayon Khalifah. Adalah Luthfianto atau biasa dikenal dengan nama panggung Ki Lutfi Caritogomo mahasiswa S3 Studi Islam Konsentrasi Kependidikan Islam UIN Sunan Kalijaga dengan promotornya Prof. Dr. Abdul Munip, S.Ag., M.Ag. Ki Lutfi tinggal di Jetis RT. 03 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Sebuah daerah yang dikelilingi dengan seniman besar. Latar belakang pendidikan sarjana pada Sastra Jawa UGM memberikan bekal terkait khasanah budaya Jawa. Sedangkan pendidikan S2 di Interdisiplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara UIN Sunan Kalijaga memberikan pengerucutan terkait khasanah Islam di Jawa. Dengan profesinya sebagai guru Bahasa Jawa di SMAN 1 Pajangan Bantul dan dalang Wayang Kekayon Khalifah di masyarakat. Maka gelar karya ini dilakukan sebenarnya dipakai untuk uji validasi media wayang, bahasa dan sastra pedalangan, ahli agama Islam, budaya Jawa dan lain-lainnya. Hal tersebut dilakukan karena ia menggunakan teori riset dan pengembangan.
Kepada Humas UIN Sunan Kalijaga, Ki Lutfi menyampaikan, dunia wayang, lebih khusus Wayang Kekayon Khalifah karyanya ini muncul setelah mengikuti kongres wayang di PKKH UGM dan Hotel Garuda selama tiga hari yang diselenggarakan oleh UNESCO pada November tahun 2013. Setelah mengikuti kongres tersebut kemudian melakukan riset dan studi literatur maka muncullah ide Ki Lutfi untuk membuat wayang Kekayon Khalifah ini. Wayang dengan cerita dan tokoh khazanah kebudayaan Islam. Secara filosofi menurutnya, nama khalifah mengingatkan akan pesan yang Maha Kuasa terkait amanah manusia sebagai khalifah fil ardli/ khalifah di bumi. Selain itu khalifah juga mengingatkan akan amanah kepengurusan umat sepeninggal Nabi Muhammad Saw. Melanjutkan kepemimpinan Nabi Muhammad bukan pada kenabiannya.
Mengamati karya risetnya, kemudian mewujudkan satu persatu visualisasi sebagaimana pengerjaan wayang Purwa pada umumnya, terlihat Ki Lutfi Caritogomo (nama kerennya di panggung pewayangan) mempunyai passion yang luar biasa. Semangat untuk belajar dan berkarya seni terus menyala-nyala. Ia sendiri mengaku, gairah untuk mbiwarakake karya ciptaannya kepada publik tidak akan pernah padam. Baik di tengah masyarakat umum, di dunia pendidikan, bahkan kampus dalam event seminar maupun konferensi internasional. Termasuk juga di event para seniman dan sastrawan. Hingga karyanya sudah diakuisisi Museum Nasional/Museum Gajah Jakarta. Ini adalah pencapaian yang sungguh luar biasa. Seniman karyanya dikoleksi oleh seseorang itu biasa, namun kalau dikoleksi museum itu sungguh sangat luar biasa dan ini sekaligus menjadi kebanggaan kampus UIN Sunan Kalijaga mempunyai mahasiswa yang bisa mendialogkan Islam dan budaya Jawa. Maka tidak mengherankan ada sementara Dosenya yang menyebutnya sebagai salah satu penerus ajaran Sunan Kalijaga yang gigih.
Pada display wayang kekayon kali ini Lutfianto mengusung tema “Pendidikan Islam Berbasis Budaya Jawa, Mengapa Tidak?”. Ia menjelaskan akar permasalahan pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki keistimewaan dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Salah satunya adalah unsur budayanya yang sangat kuat. Unsur budaya berkembang seiring dengan laju pendidikan. Namun demikian produk budaya yang ada belum maksimal dipakai untuk pembelajaran. Terlebih pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti, tampaknya produk budaya seakan sesuatu yang berbeda bahkan terkesan kontradiktif dengan ajaran Islam.
Selain itu menurutnya patut diduga rendahnya pemahaman guru terkait kurikulum yang ada dalam hal metode pembelajaran dan bahar ajar. Kurangnya pemahaman model pembelajaran yang berbasis kearifan lokal Daerah Istimewa Yogyakarta. “Saya Melihat kesadaran akan inovasi pembelajaran yang menggunakan kearifan budaya lokal masih rendah. Sehingga menyebabkan pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti kurang dinamis, peserta didik kurang bisa memahami materi yang disampaikan, dan rendahnya keaktifan siswa. Pendidik lebih banyak menggunakan metode ceramah dalam menyampaikan materi. Juga terbatasnya sumber belajar yang berbasis lokalitas (budaya Jawa) di perpustakaan-perpustakaan sekolah,” ungkap Ki Lutfi.
Kondisi seperti ini menjadi permasalahan tersendiri di daerah yang menyandang gelar istimewa. Semestinya budaya Jawa (Ngayogyakarta) bisa dipakai untuk pendekatan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti. Setidaknya yang ada pada materi kisah inspiratif. Kisah ini bisa melengkapi kisah yang sudah ada dengan pendekatan budaya Jawa atau kearifan lokal Jawa. Pendekatan yang dimaksud salah satunya adalah dengan menggunakan media kreasi Wayang Kekayon Khalifah karyanya, imbuh Ki Lutfi.
Ada banyak lakon yang sudah diciptakan Ki Lutfi, diantaranya lakon Mulabukanipun Dakwah Rasul, Ja’far bin Abi Thalib Duta, Jumenenging Kanjeng Nabi ing Madinah, Rib’I bin Amir Ngajak Mardika kang Saknyata, Pandanarang Malik Grembyang, Bedhahipun Konstantinopel. Brubuhan Badar Kubro, Ranjaban Habib bin Zaid, Wewarah Sejati Ngadhepi Wulan Suci dan sebagainya.
Yang menarik lagi ada juga cerita yang dikemas dalam puisi jawa/ geguritan, seperti Musha’ab bin Umair, Linuwih tanpa pamrih, Salman Al-Farisi: Mbela Nabi kanthi damel kali, Abu Dzar Al Ghifari: Prasaja mboten neka-neka., Bilal bin Rabah: Sasmita drajating manungsa, Abdullah bin Umar: Sregep ngibadah ora angon wayah, Shuhaib bin Sinan: Dol tinuku ora tau rugi, Mu'adz bin Jabal: Pandoming ngulama sugih ngelmu agama dan lain sebagainya. Ada juga terjemahan ayat-ayat Al-Quran dengan tembang Jawa macapat seperti Dhandhanggula, Pangkur, Maskumambang dan sebagainya.
Tiga parameter dalam berkarya Ki Lutfi Caritogomo dalam mendialogkan Islam dan budaya Jawa ini Lutfianto menggunakan tiga parameter. Pertama ; Dalam berkarya tidak melanggar fiqih Islam. Dalam pembuatan, bahan, cara membuat sampai disuguhkan ke masyarakat. Kedua; Indah atau estetis, maka mas Lutfi secara serius untuk menghubungi beberapa orang yang ahli di dalam produk wayang. Desainer, penatah, penyungging/ pemberi warna wayang dan sebagainya Maka bisa kita lihat karyanya pada pameran kali ini yang sebagian sudah dikoleksi Museum Nasional Jakarta. Ketiga; mengandung ajakan kepada kebaikan atau dakwah.
Wayang Kekayon merupakan wayang baru dalam jagad pewayangan. Wayang ini tidak lagi menggunakan visualisasi boneka manusia tetapi menggunakan seni kaligrafi dan simbol watak di dalamnya. Model wayang seperti ini mendialogkan Islam dan budaya Jawa.
Wayang ini dimainkan dengan cara seperti membaca geguritan (puisi Jawa modern) dengan nada dhalang. Tidak ada penyanyi wanita/ sindhen dalam setiap pagelaran. Meskipun demikian tetap ada lagu tembang macapat yang menyertai setiap pagelaran. Musik yang ada adalah keprakan dan dhodhogan. Dalang maupun audien membawa teks yang dibacakan dalang sedangkan audien menyimak. Di dalam teks terdapat narasi dan lagu tembang macapat yang berisi sejarah perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW ketika di Makkah maupun di Madinah beserta para sahabatnya. Pembelajaran dengan pendekatan kearifan lokal seperti ini penting untuk dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebagai guru ia berpendapat untuk menjawab tantangan Era 4.0 yang penuh dengan innovative, critical thinking and problem solving skills, communication skill dan collaborative, dibutuhkan sumber daya manusia yang bisa beradaptasi. Dunia pendidikan menjadi ujung tombak dalam menghadapi banyak perubahan. Oleh karena itu kurikulum yang menjadi acuan dalam menjalankan pendidikan juga tidak luput mengalami perubahan. Sehingga saat ini, kurikulum 2013 berjalan di tengah program Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang dicanangkan pemerintah di tahun 2020. Meski demikian tujuan pendidikan, yaitu dalam hal perubahan tingkah laku intelektual, moral maupun sosial tetap terpenuhi. Maka, dibutuhkan pendidik yang bisa membimbing para peserta didik dalam berinteraksi dengan lingkungannya melalui proses pembelajaran.
Pendidik dituntut untuk menggunakan media yang menarik perhatian peserta didik terutama pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti. Pendidik wajib memiliki kualifikasi akademik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional. Pendidik juga harus mempunyai kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi professional yang ia peroleh melalui pendidikan profesi. Lebih khusus kompetensi pedagogis diperlukan untuk mengembangkan kurikulum terkait dengan bidang mata pelajaran yang diampu. Pengembangan tersebut hendaknya bisa dilakukan secara kreatif dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Media ataupun sumber belajar yang inovatif dan bernuansa lokalitas seperti seperti Wayang Kekayon karyanya ini penting untuk pendidik mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti di SMA/MA/SMK yang harus menjelaskan nilai-nilai keagamaan dan etika serta moralitas dengan bahasa simbol yang abstrak. Berbagai manfaat penggunaan media pembelajaran banyak dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Penggunaan media pembelajaran sebaiknya dibuat untuk kelancaran dalam proses belajar mengajar. Lebih khusus media pembelajaran yang menggunakan bahasa ibu sesuai dengan kurikulum lokal (Daerah Istimewa Yogyakarta). Inovasi pembelajaran dengan media lokal akan lebih mengena, terlebih menyangkut materi yang terkait cerita atau tarikh dan sebagainya. Ini rupanya yang ingin disampaikan oleh para ulama pada masa lalu, Ki Lutfi Caritogomo ingin meneruskannya di era milenial ini. (Weni/Ihza)