UIN Suka Terbitkan Buku “Salam Pancasila sebagai Salam Kebangsaan-Memaknai Pemikiran BPIP
Kepala Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof. Yudian Wahyudi menyatakan 'Salam Pancasila'merupakan bentukjalan tengah kebangsaan yang terbebas dari dampak teologis. Salam Pancasila tidak dimaksudkan sebagai pengganti salam keagamaan. "Usai diperingatkan untuk tidak bikin kontroversi oleh DPR RI dan MPR awal tahun lalu, lewat buku ini saya ingin memberikan penjelasan mengenai Salam Pancasila yang menjadi pro kontra," kata Yudian di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jumat (21/1).
Hal tersebut disampaikan Prof. Yudian Wahyudi saat menghadiri acara bedah buku karya dosen UIN Sunan Kalijaga,Khoirul Anam, SHI., MSi., berjudul “Salam Pancasila: Sebagai Salam Kebangsaan, Memahami Pemikiran Kepala BPIP RI,” bertempat di gedung Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., kampus UIN Suka, 21/1/2022. Hadir pula dalam agenda ini Rektor UIN Suka, Prof. Phil Al Makin, para Wakil Rektor, dan Ketua Senat UIN Suka, Prof. Siswanto Masruri. Selain Civitas Akademika UIN Suka, acara ini juga diikuti secara luring segenap akademisi berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta.
Baca Juga :Kepala BPIP RI Tekankan Pentingnya Ideologi Pancasila bagi Keutuhan Bangsa
Di buku yang diterbitkan oleh Penerbit Suka Pers UIN Suka ini Prof. Yudian Wahyudi menjelaskan, pihaknya memberi jawaban untuk menjelaskan beberapa hal sensitif secara keagamaan. Prof. Yudian Wahyudi mengatakan ada dua hal yang ingin dijelaskan secara gamblang ke publik. Pertama, Prof. Yudian Wahyudi mengatakan Salam Pancasila bukan untuk mengganti salam Assallamu Alaikum yang termasuk ibadah mahdoh, melainkan ibadah ghairu mahdoh. "Salam dalam hubungan kemanusiaan. Jika kita menyapa pemeluk agama lain dengan salam agama kita, maka itu membebani mereka. Demikian juga mengucapkan salam Om Swastiastu, kita dituduh masuk Hindu,"jelasnya.
Maka, menurutnya, kondisi ini harus dicari jalan tengah. Prof. Yudian Wahyudi mengingatkan, Salam Pancasila pertama kali dikenalkan Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Dewan Pengarah BPIP di Istana Bogor pada 12 Agustus 2017. Salam Pancasila diadopsi dari Salam Merdeka yang diperkenalkan Bung Karno melalui Maklumat Pemerintah 31 Agustus 1945 dan berlaku 1 September 1945. Maklumat Pemerintah tersebut hingga kini belum pernah dicabut.
Salam Pancasila, kata Prof. Yudian Wahyudi adalah salam yang menjembatani dan menjadi titik temu bagi rakyat tanpa melihat latar belakang apapun. Pengucapannya di ranahpublic service, bertujuan agar bangsa Indonesia tetap bersatu, tidak pecah, dan mendapatkan pahala dari Allah SWT. "Salam Pancasila adalah perbuatan adat yang jika diniati ibadah akan mendapatkan pahala," katanya.
Sekretaris Utama BPIP, Karjono melihat kehadiran buku ini tepat sebagai sosialisasi Salam Pancasila. Hal ini bertepatan dengan keputusan pemerintah menjadikan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib dalamkurikulum pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. "Kalau kemarin materi Pancasila masuk dalam pendidikan kewarganegaran, maka nantinya di balik, dalam pendidikan Pancasila diajarkan materi kewarganegaraan. Ini yang betul-betul dipertegas dalam penerapan di pendidikan formal," katanya.
Menanggapi pemikiran Prof. Yudian Wahyudi tentang Salam Pancasila ini, Prof. Phil Al Makin menyampaikan bahwa Prof. Yudian Wahyudi memiliki penafsiran yang baik tentang agama dan kebangsaan. Pihaknya yakin Salam Pancasila sebagai Salam Kebangsaan sudah melalui laku spiritual Prof. Yudian Wahyudi untuk bangsa Indonesia. Seperti yang selalu dilakukan Prof. Yudian Wahyudi dalam setiap pemikirannya.
Sementara itu, penulis buku, Khoirul Anam, mengatakan bahwa buku ini adalah klarifikasi dari Prof. Yudian Wahyudi dalam pertarungan wacana Islam fundamentalis dengan ideologi Pancasila sebagai ideologi yang dianggap paling luhur. "Saya tidak masuk ke ranah politik, karena yang menyatakan kontra berada di sisi oposisi. Buku ini tidak bisa menghadirkan analisa mendalam soal itu,"Katanya. Namun menurut Khoirul Anam ada beberapa hal yang bisa diungkap dalam buku ini terkait pemikiran Prof. Yudian Wahyudi tentang Salam Pancasila, yang menjadi kontroversi di banyak media di Indonesia, setelah pihaknya melakukan wawancara mendalam dengan Prof. Yudian Wahyudi.
Pertama, kritik dari berbagai tokoh agama maupun politik. Mereka yang mengritik tidak melakukan konfirmasi kepada Prof. Yudian Wahyudi, tidak mencermati konteks dan substansi materi yang disampaikan Kepala BPIP, sikap mudah mempercayai berita tanpa melakukan kroscek, berbeda haluan politik, berbeda pemahaman agama, bahkan berbeda disiplin keilmuan. Berbagai perbedaan tersebut menjadikan tidak ada titik temu antara Kepala BPIP dengan para pengkiriknya.
Kedua, Berita bahwa Kepala BPIP ingin dan akan mengganti salam keagamaan umat Islam “Assallamu Alaikum Wr. Wb. Dengan Salam Pancasila sama sekali tidak benar. Karena Kepala BPIP hanya mengusulkan perlunya salam kebangsaan yang bisa menjadi titik temu semua agama, serta bisa diterima seluruh masyarakat Indonesia.
Ketiga, ada beberapa alasan yang menjadikan Kepala BPIP mengusulkan perlunya salam kebangsaan “Salam Pancasila” sebagai salam di ranahpublic service.Diantaranya: -Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum mengucapkan salam lintas agama dengan memakai redaksi 6 agama. Karena ada redaksi salam yang secara spesifik menyebut nama Tuhan versi 6 agama yang berbeda penyebutannya. – Adanya kesulitan dari pejabat publik ketika akan memberikan salam di ranahpublic serviceyang dihadiri lintas agama, sehingga harus menyebutkan minimal 6 redaksi salam lintas agama sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap semua agama di Indonesia. – Semakin memudarnya pemahaman, penghayatan, dan pengamalan Pancasila, terutama generasi milenial. – Menguatnya ideologisasi, formalisasi, dan simbolisasi agama yang bisa mengancam eksistensi Pancasila. – Menguatnya sikap intoleransi atas nama agama. Sikap ini bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Menurut Khoirul Anam, usulan Prof. Yudian Wahyudi selaku Kepala BPIP agar di ranahpublic serviceada salam yang bisa menjadi titit temu semua agama, serta bisa diterima seluruh masyarakat Indonesia sangat sesuai dengan maqhasid syari’ah dalam rangka menjaga Agama, menjaga jiwa, menjaga akal, dan menjaga keturunan. Usulan ini menjadi paripurna jika dilegitimasi dan dilegalisasi melalui ijmak Indonesia seperti yang dipahami Prof. Yudian Wahyudi.
Dalam acara bedah buku kali ini, tiga narasumber yang dihadirkan: Prof. Agus Moh Najib (Guru Besar Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Suka) mengupas pemikiran Prof Yudian Wahyudi dari sisi sejarah, kaitannya dengan nilai-nilai Pancasila dan argumen teologis. Dr. Munawar Ahmad (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Suka) menyampaikan bahwa Sapaan “Salam Pancasila” sebagigreetingyang berasal dari agama yang plural,greetingdari budaya yang plural,greetingdari komunitas yang plural yang nyata ada di Indonesia, untuk mencapai ketahanan komunikatif berdasar teori Hebermas. Dan Syaiful Arif (Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila/Staf Ahli MPR RI) berpandangan bahwa Salam Pancasila sebagai Salam Kebangsaan perlu terus disosialisasikan sebagai amalan ibadah ghoiru mahdloh. Karena ia menyerukan persatuan yang diperintahkan oleh Allah SWT, serta termasuk dalam maqashid al dlaruri dari Hukum Islam. (Weni/Alfan)